Data adalah bahan atau sesuatu yang masih memerlukan pengolahan untuk dapat mempunyai arti. Data dapat berupa angka, gambar, huruf, formula, bahasa atau simbol-simbol. Data yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga memiliki makna atau arti bagi yang melihat atau membacanya akan menjadi informasi. Oleh karenanya, sebuah data lebih sering menjadi bahan dari sebuah informasi.
Pada awalnya, data merupakan hasil dari sebuah kegiatan bahkan lebih sering menjadi output dari kegiatan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, data bukan lagi berperan sebagai output melainkan menjadi bahan pertimbangan utama bagi sebuah organisasi dan bagi sebuah kegiatan manajemen. Dalam beberapa teori tentang organisasi dan manajemen sudah mengaplikasi data sebagai salah satu sumber daya organisasi.
Sejalan dengan perubahan fungsi data yang bukan lagi sekedar output melainkan juga sebagai bahan dasar pembuatan kebijakan dalam sistem manajemen maka hal ini juga berlaku dalam pelaksanaan kegiatan di pemerintahan. Lembaga pemerintahan merupakan organisasi publik yang berorientasi pada pelayanan dan bersifat non profit semula menempatkan data sebagai output kegiatan, namun sekarang juga menempatkan data sebagai sumber awal dalam kebijakan publik.
Organisasi pemerintahan yang tidak bisa terlepas dari peran dan fungsi data adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sejarah pemanfaatan data pada program keluarga berencana ini juga tidak terlepas dari peran ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi inilah maka BKKBN berada di posisi paling depan dalam memanfaatkan tehnologi untuk mendapatkan data basis yang valid.
Perkembangan terakhir pada tahun 2015, BKKBN melaksanakan Pendataan Keluarga yang merupakan kegiatan penting karena dilaksanakan di awal penetapan RPJMN 2015-2019. Apalagi kegiatan ini kemudian dibarengi dengan penyiapan saran prasarana Informasi Tehnologi yang mampu menampung data sekitar 70.000.000 KK di Indonesia. Hampir seluruh lembaga pemerintah mengakui validitas pendataan keluarga ini sebab dilakukan dengan kunjungan dari rumah ke rumah, tanpa proyeksi melainkan satu per satu sehingga data mikro yang tersedia by name-by address. Hal ini memudahkan pemerintah untuk melakukan intervensi dalam rangka pembangunan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
PUSAT DATA
Pada PP 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan, Pembangunan Keluarga dan Sistem Informasi Keluarga jelas mengatur bahwa Pendataan Keluarga merupakan tugas dari BKKBN yang dilakukan bekerjasama dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Pasal yang mengatur hal ini tentunya di dasarkan pada kesadaran bahwa pusat data adalah kabupaten/kota. Bisa dimaklumi, sejak ditetapkannya hak otonomi sebagai salah satu azas dalam pelaksanaan pemerintahan di kabupaten/kota sehingga otoritas dalam mengelola penduduk berada di Kabupaten/Kota. Secara de jure dan de facto, pemerintah daerah kabupaten/kota lah yang memiliki wilayah sekaligus penduduk.
Hal ini sudah seharusnya menjadi tolok ukur mengapa kemudian PP 87 tahun 2014 menyebutkan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendataan keluarga. Artinya, pusat data yang berkaitan dengan kependudukan sesungguhnya berada di Kabupaten/Kota. Disamping itu, pelaksana pembangunan sesungguhnya pun adalah pemerintah kabupaten/kota sebagai pemegang hak otonomi daerah yang memiliki wilayah dan penduduk.
Dengan melihat pentingnya sebuah data dan informasi dalam pengambilan kebijakan khususnya kebijakan publik yang diemban oleh pemerintah maka kabupaten/kota merupakan sumber data dan juga pengguna data.
DATA TERPUSAT
Harus dipahami bahwa pusat data adalah pemerintah daerah karena hak otonominya sebagai pemilik penduduk dan pemilik wilayah.
Akan tetapi, hak otonomi dalam hal data kependudukan ini dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah. Dalam lampiran N sub kegiatan kedua jelas disebutkan bahwa sistem informasi keluarga (SIGA) menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan di bidang ini tidak ada.
Ini menggambarkan bahwa data kependudukan dan keluarga berencana sifatnya terpusat dalam sistem informasi keluarga yang dibangun oleh BKKBN. Pada tataran ini sebenarnya juga bisa dipahami karena salah satu syarat dari terbentuknya negara adalah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah pusat yang diwakili oleh BKKBN atas nama negara akan mengatur masalah kependudukan secara tersentralisir karena manjadi tanggung jawab moril atas syarat terbentuknya negara.
Pada akhirnya terjadi dualisme yang sepertinya satu sama lain saling bertolak belakang. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang kepentingan institusi.
PERAN PERWAKILAN
BKKBN sebagai lembaga pemerintahan non departemen di dalam UU 23 tahun 2014 itu berada dalam bargaining position karena secara kelembagaan harus ada aturan untuk menetapkan sebagai SKPD di tingkat provinsi namun secara program karena menyangkut permasalahan penduduk harus tetap berada di skala nasional.
Bargaining position ini kemudian memungkinkan BKKBN menempatkan perwakilan kantornya di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah, apa peran perwakilan di provinsi terkait dengan data dan informasi ???
Sebagai sebuah perwakilan maka Perwakilan BKKBN di provinsi memiliki struktur dan cara kerja yang mengacu atau berpedoman pada cara kerja BKKBN Pusat. Dengan demikian, regulasi program-program dari BKKBN Pusat diterjemahkan oleh perwakilan di provinsi untuk ditindak lanjuti. Di sisi lain. sebagai perwakilan tentunya akan menjadi sumber informasi yang penting agar pembangunan kependudukan sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.
Melihat pada peran ini maka sudah seharusnya peran perwakilan BKKBN di provinsi terkait dengan data harus dapat memuaskan kedua sisi yaitu pemerintah pusat yang memegang penuh atas hak sistem informasi keluarga dan pemerintah daerah yang memegang penuh atas hak penduduk dan wilayah. Dengan kata lain, perwakilan BKKBN Provinsi harus dapat berperan ganda.
PUSAT DATA YANG TERPUSAT
Salah satu hal penting yang harus dimainkan dalam peran perwakilan di provinsi yang berdekatan dengan sumber data adalah sebagai pusat data dimana BKKBN Pusat mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam pembangunan kependudukan dan KB dan sebagai perwakilan pusat dalam membangun data base sistem informasi keluarga.
Artinya, ketika BKKBN Pusat akan menetapkan sebuah kebijakan dan memerlukan data dari sumber data maka Perwakilan BKKBN Provinsi dapat memberikan data tersebut sebagai bahan kebijakan dan startegi. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan dan startegi di tingkat Kabupaten/Kota juga memerlukan data agar tidak salah sasaran maka perwakilan BKKBN provinsi dapat memberikan data tersebut sesegera mungkin sesuai kebutuhan daerah.
Peran ini merupakan peran yang sangat mengakar bagi BKKBN mengingat beberapa peran dari BKKBN sudah dibagi rata ke dalam tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah sesuai UU no 23 tahun 2014 tersebut. Secara kasat mata dapat digambarkan peran pelayanan KB yang diawal berdirinya BKKBN merupakan program utama saat ini dapat dilakukan oleh dinas kesehatan berikut penyuluhannya, peran pembinaan keluarga untuk ketahanan keluarga pun sebagian fungsi dan perannya sudah dilaksanakan oleh Tim Penggerak PKK, BP3A dan lain-lain.
Satu-satunya peran yang menjadi andalan adalah Sistem Informasi Keluarga (SIGA) dimana struktur data, performance dan tehnik pengumpulannya diatur oleh UU 52/2009 dan UU 23/2014 serta diatur dalam PP 87/2014. Belajar dari pengalaman selama tahun 2009 sampai dengan 2014 dalam pengelolaan data menggunakan IT ternyata masih mengalami kendala yang lebih pada tehnis pengelolaan maka sudah seharusnya BKKBN mulai menempatkan peran perwakilan di provinsi untuk membangun sistem informasi keluarga di tingkat provinsi.
DARI ONLINE KE OFFLINE
Dalam beberapa kegiatan temu kerja nasional pengelola data dan informasi, seringkali ditayangkan sarana dan prasaran IT pendukung Recording dan Reporting di BKKBN sehingga terdapat pembagian wilayah provinsi yang kabupaten/kota nya online 100%, Online di atas 50% dan online di bawah 50%. Bila ini menjadi target yang dilaporkan sampai dengan tahun 2014 maka seharus target ini terjadi peningkatan yakni33 provinsi di Indonesia online 100%.
Sayang sekali, BKKBN yang sudah mengembangkan R/R secara online sejak tahun 2010 kembali pada pola lama yaitu mengandalkan offline untuk hasil pendataan keluarga tahun 2015. Padahal, bila diberikan kewenangan bagi provinsi untuk membangun aplikasi baik sendiri maupun secara regional, maka kekhawatiran terkait jaringan bisa diantisipasi dan target online 100% bisa direalisasikan.
Semoga peran perwakilan BKKBN di provinsi dalam menerapkan UU 23/2014 dan PP 87/2014 bisa dilakukan dengan baik di Kalimantan Selatan.
Tulisan ini diinspirasi pernyataan dalam kegiatan TOT minggu lalu : "jangan ikut menggunakan aplikasi yang dibangun Kalsel karena Kalsel sudah memulainya sejak tahun 2014". Berpedoman lah pada UU dan PP untuk bisa memahami.
Salam KB 2 Anak Cukup, aku bangga ikut KB
Berkualitas KB-ku makin berkualitas keluarga-ku
Hal ini sudah seharusnya menjadi tolok ukur mengapa kemudian PP 87 tahun 2014 menyebutkan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendataan keluarga. Artinya, pusat data yang berkaitan dengan kependudukan sesungguhnya berada di Kabupaten/Kota. Disamping itu, pelaksana pembangunan sesungguhnya pun adalah pemerintah kabupaten/kota sebagai pemegang hak otonomi daerah yang memiliki wilayah dan penduduk.
Dengan melihat pentingnya sebuah data dan informasi dalam pengambilan kebijakan khususnya kebijakan publik yang diemban oleh pemerintah maka kabupaten/kota merupakan sumber data dan juga pengguna data.
DATA TERPUSAT
Harus dipahami bahwa pusat data adalah pemerintah daerah karena hak otonominya sebagai pemilik penduduk dan pemilik wilayah.
Akan tetapi, hak otonomi dalam hal data kependudukan ini dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah. Dalam lampiran N sub kegiatan kedua jelas disebutkan bahwa sistem informasi keluarga (SIGA) menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan di bidang ini tidak ada.
Ini menggambarkan bahwa data kependudukan dan keluarga berencana sifatnya terpusat dalam sistem informasi keluarga yang dibangun oleh BKKBN. Pada tataran ini sebenarnya juga bisa dipahami karena salah satu syarat dari terbentuknya negara adalah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah pusat yang diwakili oleh BKKBN atas nama negara akan mengatur masalah kependudukan secara tersentralisir karena manjadi tanggung jawab moril atas syarat terbentuknya negara.
Pada akhirnya terjadi dualisme yang sepertinya satu sama lain saling bertolak belakang. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang kepentingan institusi.
PERAN PERWAKILAN
BKKBN sebagai lembaga pemerintahan non departemen di dalam UU 23 tahun 2014 itu berada dalam bargaining position karena secara kelembagaan harus ada aturan untuk menetapkan sebagai SKPD di tingkat provinsi namun secara program karena menyangkut permasalahan penduduk harus tetap berada di skala nasional.
Bargaining position ini kemudian memungkinkan BKKBN menempatkan perwakilan kantornya di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah, apa peran perwakilan di provinsi terkait dengan data dan informasi ???
Sebagai sebuah perwakilan maka Perwakilan BKKBN di provinsi memiliki struktur dan cara kerja yang mengacu atau berpedoman pada cara kerja BKKBN Pusat. Dengan demikian, regulasi program-program dari BKKBN Pusat diterjemahkan oleh perwakilan di provinsi untuk ditindak lanjuti. Di sisi lain. sebagai perwakilan tentunya akan menjadi sumber informasi yang penting agar pembangunan kependudukan sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.
Melihat pada peran ini maka sudah seharusnya peran perwakilan BKKBN di provinsi terkait dengan data harus dapat memuaskan kedua sisi yaitu pemerintah pusat yang memegang penuh atas hak sistem informasi keluarga dan pemerintah daerah yang memegang penuh atas hak penduduk dan wilayah. Dengan kata lain, perwakilan BKKBN Provinsi harus dapat berperan ganda.
PUSAT DATA YANG TERPUSAT
Salah satu hal penting yang harus dimainkan dalam peran perwakilan di provinsi yang berdekatan dengan sumber data adalah sebagai pusat data dimana BKKBN Pusat mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam pembangunan kependudukan dan KB dan sebagai perwakilan pusat dalam membangun data base sistem informasi keluarga.
Artinya, ketika BKKBN Pusat akan menetapkan sebuah kebijakan dan memerlukan data dari sumber data maka Perwakilan BKKBN Provinsi dapat memberikan data tersebut sebagai bahan kebijakan dan startegi. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan dan startegi di tingkat Kabupaten/Kota juga memerlukan data agar tidak salah sasaran maka perwakilan BKKBN provinsi dapat memberikan data tersebut sesegera mungkin sesuai kebutuhan daerah.
Peran ini merupakan peran yang sangat mengakar bagi BKKBN mengingat beberapa peran dari BKKBN sudah dibagi rata ke dalam tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah sesuai UU no 23 tahun 2014 tersebut. Secara kasat mata dapat digambarkan peran pelayanan KB yang diawal berdirinya BKKBN merupakan program utama saat ini dapat dilakukan oleh dinas kesehatan berikut penyuluhannya, peran pembinaan keluarga untuk ketahanan keluarga pun sebagian fungsi dan perannya sudah dilaksanakan oleh Tim Penggerak PKK, BP3A dan lain-lain.
Satu-satunya peran yang menjadi andalan adalah Sistem Informasi Keluarga (SIGA) dimana struktur data, performance dan tehnik pengumpulannya diatur oleh UU 52/2009 dan UU 23/2014 serta diatur dalam PP 87/2014. Belajar dari pengalaman selama tahun 2009 sampai dengan 2014 dalam pengelolaan data menggunakan IT ternyata masih mengalami kendala yang lebih pada tehnis pengelolaan maka sudah seharusnya BKKBN mulai menempatkan peran perwakilan di provinsi untuk membangun sistem informasi keluarga di tingkat provinsi.
DARI ONLINE KE OFFLINE
Dalam beberapa kegiatan temu kerja nasional pengelola data dan informasi, seringkali ditayangkan sarana dan prasaran IT pendukung Recording dan Reporting di BKKBN sehingga terdapat pembagian wilayah provinsi yang kabupaten/kota nya online 100%, Online di atas 50% dan online di bawah 50%. Bila ini menjadi target yang dilaporkan sampai dengan tahun 2014 maka seharus target ini terjadi peningkatan yakni33 provinsi di Indonesia online 100%.
Sayang sekali, BKKBN yang sudah mengembangkan R/R secara online sejak tahun 2010 kembali pada pola lama yaitu mengandalkan offline untuk hasil pendataan keluarga tahun 2015. Padahal, bila diberikan kewenangan bagi provinsi untuk membangun aplikasi baik sendiri maupun secara regional, maka kekhawatiran terkait jaringan bisa diantisipasi dan target online 100% bisa direalisasikan.
Semoga peran perwakilan BKKBN di provinsi dalam menerapkan UU 23/2014 dan PP 87/2014 bisa dilakukan dengan baik di Kalimantan Selatan.
Tulisan ini diinspirasi pernyataan dalam kegiatan TOT minggu lalu : "jangan ikut menggunakan aplikasi yang dibangun Kalsel karena Kalsel sudah memulainya sejak tahun 2014". Berpedoman lah pada UU dan PP untuk bisa memahami.
Salam KB 2 Anak Cukup, aku bangga ikut KB
Berkualitas KB-ku makin berkualitas keluarga-ku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Email