SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Minggu, 20 September 2015

RESPONSIBILITY OF MANAGER

Dalam sebuah organisasi terdapat unsur-unsur adanya perintah (command), kepemimpinan (leadership), pengawasan (controlling) dan management. Masing-masing unsur ini memiliki fungsi sendiri-sendiri di dalam organisasi dan bila fungsi-fungsi tersebut berjalan dengan baik maka berjalanlah mesin organisasi dengan baik pula.

Unsur perintah di dalam beberapa teori manajemen dilekatkan dalam unsur kepemimpinan sebab salah satu indikasi adanya kepemimpinan yaitu adanya perintah sebagai wujud dari kemampuan untuk mempengaruhi agar seseorang atau sekelompok orang mau melaksanakan tugas-tugas organisasi. Sebuah perintah harus diberikan oleh atasan kepada bawahan yang mengandung aspek memperlancar organisasi dalam mencapai tujuan.


Unsur management terdiri dari beberapa fungsi yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan dan pengawasan. Masing-masing fungsi management ini juga mengarah pada tercapainya tujuan organisasi. Bila management merupakan sistem maka fungsi-fungsi management merupakan sub sistem yang berkaitan satu sama lain menjadi satu rangkaian yang akan berputar terus menerus sampai dengan tujuan organisasi terwujud  baik tujuan mikro maupun tujuan makro.


Unsur pengawasan bukan hanya ada di dalam organisasi melainkan juga merupakan fungsi tersendiri di dalam unsur management. Artinya pengawasan bila dilihat sebagai fungsi management dan bisa juga dilihat sebagai unsur organisasi. Ini menandakan bahwa pengawasan merupakn satu hal tingkat kepentingannya jauh lebih besar dibanding unsur organisasi lainnya.

ORGANISASI BISNIS DAN ORGANISASI PUBLIK

Organisasi bisnis adalah organisasi yang beroreintasi pada laba. Dengan demikian, unsur-unsur organisasi dalam organisasi bisnis di arah kan pada pencapaian laba setinggi-tinggi dan ukuran keberhasilan organisasi adalah apabila memperoleh laba besar, bertahan dalam perubahan lingkungan dan mampu berkembang. Pada organisasi bisnis, pengawasan internal dalam management maupun pengawasan organisasi itu sendiri akan lebih mudah dilakukan sebab ukurannya adalh profit. Sehingga bila hasil sebuah pengawasan menyimpulkan bahwa suatu kegiatan atau sebuah sub sistem tidak menghasilkan laba atau profit maka bisa di reformulasi ulang dalam sebuah kebijakan organisasi. Implikasi kebijakan bisa bersifat internal bisa juga bersifat eksternal namun akan masih bisa dipertanggung jawabkan oleh organisasi sepanjang masih menghasilkan keuntungan bagi organisasi.


Berbeda dengan organisasi bisnis, organisasi publik lebih berorientasi pada pelayanan publik. Sedangkan ukuran keberhasilan dalam memberikan pelayanan sangat individual dan bersifat subyektif sehingga tidak bisa diukur secara tepat. Dalam organisasi publik, tidak mengenal istilah untung dan rugi sehingga penyempurnaan-penyempurnaan dalam pelaksanaan management dimana pengawasan merupakan bagian yang juga disempurnakan, pada akhirnya masih bersifat abu-abu. Dengan ketidak jelasan ukuran dan abu-abunya fungsi pengawasan dalam management di organisasi publik menjadi pintu masuknya penyalahgunaan wewenang, penyimpangan kebijakan dan penyelewengan sumber-sumber organisasi.


Penerapan kebijakan publik yang diharapkan mampu memenuhi tuntutan publik dalam mendapatkan pelayanan, tidak serta merta menjadikan pengawasan di dalam organisasi publik berlangsung secara efektif dan efisien.Banyaknya peraturan hukum yang diharapkan mampu menjadi saringan dari perbuatan penyalahgunaan wewenang, penyimpangan kebijakan dan penyelewengan sumber-sumebr organisasi boleh dikatakan belum berfungsi dengan baik. Bahkan, belum menimbulkan efek jera sehingga meskipun sudah jelas melakukan penyalahgunaan wewenang, penyimpangan kebijakan dan penyelewengan sumber-sumber organisasi banyak manager dalam organisasi publik tetap berada dalam jenjang jabatan yang dipertahankan.

TO THE POINT

Harus diakui bahwa memang sulit untuk melakukan pengawasan terhadap para manager di organisasi publik apalagi bila berlindung pada peraturan-peraturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan kebijakan publik. Akan tetapi, pengawasan terhadap manager organisasi publik justru bisa dengan mempergunakan sumber-sumber organisasi terutama machine dan money.

Machine atau peralatan bisa jadi merupakan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan kegiatan pada organisasi publik. Penyediaan sarana dan prasarana ini bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan organisasi dan sebagian besar diberikan kepada para manager sebagai bentuk prestise atas jabatan yang diemban oleh seorang manager.

Secara umum, sarana dan prasaran itu bisa berupa kendaraan dinas, rumah dinas, komputer, laptop dan tunjangan-tunjangan yang menyertai jabatan manager. Keberadaan rumah dan kendaraan dinas ini tidak semata-mata berupa fisiknya saja melainkan berupa non fisik yaitu pemeliharaan. Pada point ini, jelas bahwa pemeliharaan tidak berupa akses perbaikan saja melainkan pembiayaan untuk pembelian sarana dan pra sarana kendaraan, rumah, laptop, PC dan lainnya milik organisasi publik.

Hal yang paling mudah untuk diperhatikan adalah kondisi sarana prasarana dan kondisi keuangan. Apabila keuangan untuk pemeliharaan habis dipertanggung jawabkan sedangkan kondisi sarana dan prasarana makin hari makin bobrok maka perlu diperhatikan adanya penyalahgunaan wewenang, penyimpangan kebijakan dan penyelewengan sumber-sumber organisasi.

Dengan demikian, responsibility of manager tidak hanya sebatas menghabiskan anggaran dan mempergunakan sarana prasarana itu sampai hancur melainkan juga memelihara sarana dan prasarana dengan anggaran yang sudah dipergunakan. Bahkan lebih jauh dari itu, akan terjadi penghematan belanja apabila sarana dan prasarana ini diperlihara dengan baik sesuai dana yang tersedia sehingga tidak memerlukan pengadaan atau pembelian baru.

THE SAME OLD WAY

Tanggal 20 September 2015 pukul 07.00 wita tiba di sekitar Markas Besar Komando Resor Militer 101 Antasari. Mengajak suami tercinta serta kedua anak saya (anak saya memang sesuai slogan BKKBN 2 ANAK CUKUP dan ibunda yang berusia 70 tahun (sesuai dengan pembinaan ketahanan keluarga saya membina Anak, Remaja dan Lansia Tangguh dalam keluarga saya) mengikuti satu sessi dalam rangkaian Hari Keluarga Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu senam lintas generasi dan jalan sehat keluarga,

Masuk ke halaman Makorem 101 Antasari, rupanya saya terlambat dan senam sudah di mulai. Agak tidak enak hati pula karena saya sempat diprotes oleh petugas lapangan KB yang kenal baik sebab katanya Kecamatan Banjarmasin Tengah tidak dapat kaos Harganas. Saya menyarankan agar ke panitia sebab saya sendiri tidak mendapat pembagian kaos tersebut. Akhirnya, saya bisa berlalu dari petugas lapangan KB dan mengambil foto beberapa moment kegiatan senam.



Inilah peserta senam yang semula djadwalkan senam lintas generasi ternyata hanya di isi oleh petugas lapangan KB dan kader serta anggota Persatuan Isteri Tentara (Persit) Kartika Chandra Kirana. Ibu-ibu para isteri tentara ini senam dengan menggunakan seragam sendiri yakni berwarna hijau hingga ke jilbabnya. Ada diantara peserta senam, deputi Latbang dan Direktur Dittifdok bersama Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Kalsel. Setelah itu, saya keluar arena senam dan menunggu pengibaran bendera start yang menandakan jalan sehat keluarga berhadiah dan gowes berhadiah dalam rangka Harganas ini dimulai.



Sambil menunggu itulah saya mencoba membandingkan antara kerumunan senam dalam rangka harganas tingkat provinsi dengan kerumunan di seberang sungai Martapura. Di seberang sana, tampak lebih ramai dibandingkan yang senam di dalam Makorem tadi. Untung saja, saya tidak menerima kaos seragam yang disediakan panitia sehingga saya tidak punya beban moril bila "melarikan diri" dari rombongan jalan sehat keluarga. 

Saya hanya ingin tahu, mengapa kegiatan di Markas Korem 101 Antasari itu kalah pamor dengan kegiatan di seberang sungai bahkan tidak menjadi perhatian pada pejalan kaki di sekitar Masjid Sabhilal Muhtadin.


Beberapa diantara pejalan kaki dalam foto di atas saya coba tanyakan tentang momen yang ada di Makorem, tidak satupun yang tahu ada kegiatan jalan santai keluarga tersebut. Mereka melakukan jalan santai karena memang merupakan rutinitas mingguan dengan adanya Car Free Day. Biasanya dilanjutkan dengan senam pagi di depan gedung Mahligai Pacasila atau di lapangan kantor Gubenur lama.

Sangat menarik kalau warga masyarakat ini tidak mengetahui adanya kegiatan jalan santai keluarga dalam rangka Hari Keluarga Tingkat Provinsi Kalsel. Satu catatan buat saya, tentu terkait dengan penyebarluasan informasi.

Bersama suami, kedua anak dan bunda, sayaa meneruskan jalan santai keluarga ini. Ketika peserta akan melintasi Jembatan Merdeka, menuju ke Kampung Gadang, saya dan suami mencoba masuk di antara mereka hanya untuk melihat perbandingan antara penyebaran kaos dengan jumlah peserta yang ikut jalan. Sepertinya, lumayan lah.....tapi tunggu dulu......ada peserta yang berpesan pada temannya agar mengambilkan kupon undian sedangkan tiga orang ini berbelok ke kiri padahal rute jalan santai keluarga seharusnya terus...... 

Mencoba mengikuti ketertarikan tiga peserta yang mendapatkan kaos bertuliskan HARGANAS XXII ini maka saya dan suami pun berbelok ke arah yang sama. Ada beberapa foto yang bisa diambil dari jalur kiri, yang rupanya menjadi ketertarikan warga lain seperti yang saya lihat dari depan Masjid Raya Sabhilal Muhtadin.

Ketertarikan pertama adalah pasar terapung. Secara kasat mata pasar memang memiliki daya tarik sendiri, apalagi pasar terapung yang hanya seminggu sekali ada di siring yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Di lokasi ini pun berbagai hidangan khas Banjar tersedia sebagai wisata kuliner mingguan.

Ketertaikan kedua adalah hiburan yang juga disediakan oleh Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin. Untuk berada di arena musik panting ini, tidak mudah. Pengunjungnya berdesakan.  Ketertarikan itu juga terlihat dengan kerelaan pengunjung memasang handphone untuk merekam musik panting yang merupakan ciri khas Banjarmasin. Di dekat menara pantau sudah tersedia panggung besar untuk penampilan band-band bagi kawula muda. Ketertarikan dalam hiburan ini, mengalahkan perhatian terhadap momentum di Makorem. Ironis nya, justru pada keluarga berkumpul di sini padahal di seberang sana seremonial rangkaian peringatan hari keluarga tingkar provinsi.


Akhir perjalanan, saya berhenti di warung rombong sekitar Pasar Lama, untuk memastikan berapa banyak peserta yang kembali dan di tempat ini saya melihat ternyata banyak peserta naik kendaraan masing-masing mungkin pulang ke rumah masing-masing.

Dari apa yang saya sampaikan di atas, saya melihat ada banyak hal yang menyebabkan kegiatan di Makorem pagi ini tidak sesukses yang dibayangkan. It looks like, the same old way, that ever used dengan prinsip :

  1. Yang penting gugur kewajiban, meskipun hasilnya biasa-biasa saja tidak masalah
  2. Kegiatan rutin jadi kalau hasilnya biasa-biasa saja tidak masalah
  3. Tidak perlu terlalu di promosikan, yang penting rencana di atas kertas sudah benar sesuai harapan dan kalau hasilnya biasa-biasa saja yang penting gugur kewajiban
  4. Tidak perlu negosiasi dan koordinasi yang matang karena ini kegiatan rutin, bila gagal tahun ini penganggarannya masih ada tahun depan.
Pukul 10.30 wita saya dan keluarga pulang ke rumah. Tidak ingin menyaksikan penarikan undian yang saya perkirakan banyak didapat oleh internal juga. Hehehe....it's the same old way and the old same way.....just like it used to be.....

Kamis, 20 Agustus 2015

DATA : PUSAT DAN TERPUSAT

Ditulis sebagai bagian dari tanggung jawab moril

Data adalah bahan atau sesuatu yang masih memerlukan pengolahan untuk dapat mempunyai arti.  Data dapat berupa angka, gambar, huruf, formula, bahasa atau simbol-simbol. Data yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga memiliki makna atau arti bagi yang melihat atau membacanya akan menjadi informasi. Oleh karenanya, sebuah data lebih sering menjadi bahan dari sebuah informasi.

Pada awalnya, data merupakan hasil dari sebuah kegiatan bahkan lebih sering menjadi output dari kegiatan. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, data bukan lagi berperan sebagai output melainkan menjadi bahan pertimbangan utama bagi sebuah organisasi dan bagi sebuah kegiatan manajemen. Dalam beberapa teori tentang organisasi dan manajemen sudah mengaplikasi data sebagai salah satu sumber daya organisasi.

Sejalan dengan perubahan  fungsi data yang bukan lagi sekedar output melainkan juga sebagai bahan dasar pembuatan kebijakan dalam sistem manajemen maka hal ini juga berlaku dalam pelaksanaan kegiatan di pemerintahan. Lembaga pemerintahan merupakan organisasi publik yang berorientasi pada pelayanan dan bersifat non profit semula menempatkan data sebagai output kegiatan, namun sekarang juga menempatkan data sebagai sumber awal dalam kebijakan publik.

Organisasi pemerintahan yang tidak bisa terlepas dari peran dan fungsi data adalah Badan Kependudukan  dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sejarah pemanfaatan data pada program keluarga berencana ini juga tidak terlepas dari peran ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi inilah maka BKKBN berada di posisi paling depan dalam memanfaatkan tehnologi untuk mendapatkan data basis yang valid.

Perkembangan terakhir pada tahun 2015, BKKBN melaksanakan Pendataan Keluarga yang merupakan kegiatan penting karena dilaksanakan di awal penetapan RPJMN 2015-2019. Apalagi kegiatan ini kemudian dibarengi dengan penyiapan saran prasarana Informasi Tehnologi yang mampu menampung data sekitar 70.000.000 KK di Indonesia. Hampir seluruh lembaga pemerintah mengakui validitas pendataan keluarga ini sebab dilakukan dengan kunjungan dari rumah ke rumah, tanpa proyeksi melainkan satu per satu sehingga data mikro yang tersedia by name-by address. Hal ini memudahkan pemerintah untuk melakukan intervensi dalam rangka pembangunan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

PUSAT DATA

Pada PP 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan, Pembangunan Keluarga dan Sistem Informasi Keluarga jelas mengatur bahwa Pendataan Keluarga merupakan tugas dari BKKBN yang dilakukan bekerjasama dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Pasal yang mengatur hal ini tentunya di dasarkan pada kesadaran bahwa pusat data adalah kabupaten/kota. Bisa dimaklumi, sejak ditetapkannya hak otonomi sebagai salah satu azas dalam pelaksanaan pemerintahan di kabupaten/kota sehingga otoritas dalam mengelola penduduk berada di Kabupaten/Kota. Secara de jure dan de facto, pemerintah daerah kabupaten/kota lah yang memiliki wilayah sekaligus penduduk.

Hal ini sudah seharusnya menjadi tolok ukur mengapa kemudian PP 87 tahun 2014 menyebutkan peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendataan keluarga. Artinya, pusat data yang berkaitan dengan kependudukan sesungguhnya berada di Kabupaten/Kota. Disamping itu, pelaksana pembangunan sesungguhnya pun adalah pemerintah kabupaten/kota sebagai pemegang hak otonomi daerah yang memiliki wilayah dan penduduk.

Dengan melihat pentingnya sebuah data dan informasi dalam pengambilan kebijakan khususnya kebijakan publik yang diemban oleh pemerintah maka kabupaten/kota merupakan sumber data dan juga pengguna data.

DATA TERPUSAT

Harus dipahami bahwa pusat data adalah pemerintah daerah karena hak otonominya sebagai pemilik penduduk dan pemilik wilayah.

Akan tetapi, hak otonomi dalam hal data kependudukan ini dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah. Dalam lampiran N sub kegiatan kedua jelas disebutkan bahwa sistem informasi keluarga (SIGA) menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan di bidang ini tidak ada.

Ini menggambarkan bahwa data kependudukan dan keluarga berencana sifatnya terpusat dalam sistem informasi keluarga yang dibangun oleh BKKBN. Pada tataran ini sebenarnya juga bisa dipahami karena salah satu syarat dari terbentuknya negara adalah penduduk. Dalam hal ini, pemerintah pusat yang diwakili oleh BKKBN atas nama negara akan mengatur masalah kependudukan secara tersentralisir karena manjadi tanggung jawab moril atas syarat terbentuknya negara.

Pada akhirnya terjadi dualisme yang sepertinya satu sama lain saling bertolak belakang. Apalagi bila dilihat dari sudut pandang kepentingan institusi.

PERAN PERWAKILAN

BKKBN sebagai lembaga pemerintahan non departemen di dalam UU 23 tahun 2014 itu berada dalam bargaining position karena secara kelembagaan harus ada aturan untuk menetapkan sebagai SKPD di tingkat provinsi namun secara program karena menyangkut permasalahan penduduk harus tetap berada di skala nasional.

Bargaining position ini kemudian memungkinkan BKKBN menempatkan perwakilan kantornya di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah, apa peran perwakilan di provinsi terkait dengan data dan informasi ???

Sebagai sebuah perwakilan maka Perwakilan BKKBN di provinsi memiliki struktur dan cara kerja yang mengacu atau berpedoman pada cara kerja BKKBN Pusat. Dengan demikian, regulasi program-program dari BKKBN Pusat diterjemahkan oleh perwakilan di provinsi untuk ditindak lanjuti. Di sisi lain. sebagai perwakilan tentunya akan menjadi sumber informasi yang penting agar pembangunan kependudukan sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri.

Melihat pada peran ini maka sudah seharusnya peran perwakilan BKKBN di provinsi terkait dengan data harus dapat memuaskan kedua sisi yaitu pemerintah pusat yang memegang penuh atas hak sistem informasi keluarga dan pemerintah daerah yang memegang penuh atas hak penduduk dan wilayah. Dengan kata lain, perwakilan BKKBN Provinsi harus dapat berperan ganda.

PUSAT DATA YANG TERPUSAT

Salah satu hal penting yang harus dimainkan dalam peran perwakilan di provinsi yang berdekatan dengan sumber data adalah sebagai pusat data dimana BKKBN Pusat mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam pembangunan kependudukan dan KB dan sebagai perwakilan pusat dalam membangun data base sistem informasi keluarga. 

Artinya, ketika BKKBN Pusat akan menetapkan sebuah kebijakan dan memerlukan data dari sumber data maka Perwakilan BKKBN Provinsi dapat memberikan data tersebut sebagai bahan kebijakan dan startegi. Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan dan startegi di tingkat Kabupaten/Kota juga memerlukan data agar tidak salah sasaran maka perwakilan BKKBN provinsi dapat memberikan data tersebut sesegera mungkin sesuai kebutuhan daerah.

Peran ini merupakan peran yang sangat mengakar bagi BKKBN mengingat beberapa peran dari BKKBN sudah dibagi rata ke dalam tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah sesuai UU no 23 tahun 2014 tersebut. Secara kasat mata dapat digambarkan peran pelayanan KB yang diawal berdirinya BKKBN merupakan program utama saat ini dapat dilakukan oleh dinas kesehatan berikut penyuluhannya, peran pembinaan keluarga untuk ketahanan keluarga pun sebagian fungsi dan perannya sudah dilaksanakan oleh Tim Penggerak PKK, BP3A dan lain-lain.

Satu-satunya peran yang menjadi andalan adalah Sistem Informasi Keluarga (SIGA) dimana struktur data, performance dan tehnik pengumpulannya diatur oleh UU 52/2009 dan UU 23/2014 serta diatur dalam PP 87/2014. Belajar dari pengalaman selama tahun 2009 sampai dengan 2014 dalam pengelolaan data menggunakan IT ternyata masih mengalami kendala yang lebih pada tehnis pengelolaan maka sudah seharusnya BKKBN mulai menempatkan peran perwakilan di provinsi untuk membangun  sistem informasi keluarga di tingkat provinsi.

DARI ONLINE KE OFFLINE

Dalam beberapa kegiatan temu kerja nasional pengelola data dan informasi, seringkali ditayangkan sarana dan prasaran IT pendukung Recording dan Reporting di BKKBN sehingga terdapat pembagian wilayah provinsi yang kabupaten/kota nya online 100%, Online di atas 50% dan online di bawah 50%. Bila ini menjadi target yang dilaporkan sampai dengan tahun 2014 maka seharus target ini terjadi peningkatan yakni33 provinsi di Indonesia online 100%.

Sayang sekali, BKKBN yang sudah mengembangkan R/R secara online sejak tahun 2010 kembali pada pola lama yaitu mengandalkan offline untuk hasil pendataan keluarga tahun 2015. Padahal, bila diberikan kewenangan bagi provinsi untuk membangun aplikasi baik sendiri maupun secara regional, maka kekhawatiran terkait jaringan bisa diantisipasi dan target online 100% bisa direalisasikan.

Semoga peran perwakilan BKKBN di provinsi dalam menerapkan UU 23/2014 dan PP 87/2014 bisa dilakukan dengan baik di Kalimantan Selatan.

Tulisan ini diinspirasi pernyataan dalam kegiatan TOT minggu lalu : "jangan ikut menggunakan aplikasi yang dibangun Kalsel karena Kalsel sudah memulainya sejak tahun 2014". Berpedoman lah pada UU dan PP untuk bisa memahami.

Salam KB 2 Anak Cukup, aku bangga ikut KB
Berkualitas KB-ku makin berkualitas keluarga-ku

Rabu, 13 Mei 2015

ANALISIS IMPLEMENTASI URUSAN WAJIB KB DAN KS DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

A.   Pengertian-Pengertian
1.      Implementasi
Implementasi menurur Kamus Besar Bahasa Indonesia Online adalah merupakan kata kerja yang berarti pelaksanaan, penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004) juga mengungkapkan pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan. Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek tertentu seperti kebijakan publik.
2.      Kebijakan Publik
Menurut Wikipedia,  kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn adalah
a.       Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam penyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah kebijakan
b.      Formulasi kebijakan adalah pembahasan masalah yang sudah masuk dalam agenda untuk didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
c.       Adopsi atau legitimasi kebijakan untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
d.      Penilaian atau evaluasi kebijakansebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
3.      Implementasi Kebijakan Publik
Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the application by government`s administrative machinery to the problems.Kemudian Edward III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage of policy making between establishment of a policy…And the consequences of the policy for the people whom it affects”.
Tachjan (2006i:25) menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
B.   Proses Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan. Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino (2006:154) bahwa: “The execution of policies is as important if not more important than policy making. Policy will remain dreams or blue prints jackets unless they are implemented”.Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan dikenal dua pendekatan yaitu
1.      Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command and control (Lester Stewart, 2000:108). Pendekatan top down atau command and control dilakukan secara tersentralisasi dimulai di tingkat pusat dan keputusan-keputusan diambil di tingkat pusat.
2.      Pendekatan bottom up yang serupa dengan pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108) lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan selalu melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu
1.      Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006i:28) merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional, pengawasan serta penilaian
2.      Adanya program yang dilaksanakanMenurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan “A program can be defined as a comprehensive plan that includes future use of different resources in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a program can include objectives, policies, procedures, methods, standards and budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode, standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Sasaran yang dikehendaki,
b.      Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu,
c.       Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
d.      Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
e.       Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85)
3.      Target group atau kelompok sasaran dari Tachjan (2006i:35) mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya sebagai berikut:
a.       Bureaucraitic structure(struktur birokrasi)
b.      Resouces (sumber daya)
c.       Disposisition (sikap pelaksana)
d.      Communication (komunikasi).
C.   UU, PP dan Peraturan Daerah
Berdasar pada pengertian kebijakan publik yang diutarakan sebelumnya maka salah satu kebijakan publik yang dituangkan sebagai produk perundang-undang di Indonesia adalah terbitnya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini muncul didasarkan pada adanya issue pembangunan yang tidak merata pada masa Orde Baru dan banyak daerah yang menuntut diberlakukannya otonomi daerah atau pelaksanaan disentralisasi pemerintahan di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dengana melihat pada pendekatan dalam implementasi kebijakan publik maka implementasi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 bersifat Top down karena diterbitkan oleh pusat dan dilaksanakan oleh daerah.Undang-Undang ini memuat tentang urusan pemerintahan yang tidak dilakukan oleh Pemerintah Pusat namun dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan dibagi pada urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.Salah satu yang menjadi urusan wajib Pemerintah Daerah berdasar PP 38 tahun 2007 adalah penyelenggaraan keluarga berencana dan keluarga sejahtera seperti tercantum dalam  Bab II Pasal 2 ayat (4) huruf l.
UU 32 tahun 2004 tentang Pemerinta Daerah telah diimplementasikan ke dalam PP 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maka implementasi selanjutnya tertuang dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi. Demikian pula hal nya dengan Provinsi Kalimantan Selatan, sudah menjadi ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa implementasi PP 38 tahun 2007 terwujud dalam Peraturan Daerah atau Perda Provinsi Kalimantan Selatan. Bila berdasarkan pada unsur yang mutlak harus ada dalam implementasi kebijakan seperti dikemukakan oleh Tachjan yaitu adanya program yang dilaksanakan maka implementasi selanjutnya dari PP 38 tahun 2007 adalah Peraturan Daerah mengenai Rencana Kerja.
Konsideran dalam Peraturan Daerah yang memuat tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dan juga memuat tentang Rencana Kerja Daerah. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2009 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah tahun 2005 – 2025. Implementasi dari Perda nomor 17 tahun 2009 adalah Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2011 – 2015.

D.   Hasil Analisis Implementasi Urusan Wajib Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
1.    Pada Perda nomor 17 tahun 2009 tentang RPJPD Provinsi Kalimantan Selatan memuat klausul tentang pemberlakukan RPJMD sebagai implementasi dari RPJPD Provinsi Kalimantan Selatan ;
2.    Pada Perda nomor 02 Tahun 2011 RPJMD Provinsi Kalimantan Selatan dimaksudkan untuk menjadi acuan danpedoman resmi bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam penyusunanRencana Strategis SKPD, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), serta sekaligusmerupakan acuan penentuan program daerah yang akan dibahas dalam rangkaianforum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Daerah Provinsi. Implementasi Urusan Wajib Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera pada Peraturan Daerah dapat dilihat sebagai berikut :
a.    Bab II Gambaran Umum Kondisi Daerah pada Sub Judul Demografis dengan menyebutkan tentang :
1)      Laju Pertumbuhan Penduduk
2)      Peserta KB Aktif
3)      Peserta KB Baru
b.    Bab III Gambaran Pengelolaan Keuangan dan Kerangka Pendanaan tidak tergambar dana-dana yang berkaitan dengan pelaksanaan urusan wajib bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
c.    Bab IV Analisis Issu-Issu Startegis pada Sub Judul Demografi tidak tergambar adanya issu tentang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera dan seluruh issue hanya mengenai kesehatan bagi masyarakat dalam rangka meningkat Indeks Pembangunan Masyarakat
d.    Bab V Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran tidak menggambarkan adanya program yang berkaitan dengan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
e.    Bab VI  Strategi dan Arah Kebijakan tidak menggambarkan adanya strategi dan arah kebijakan pembangunan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Kalimantan Selatan.
f.     Bab VII Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah pada Sub Judul Misi Kedua Meningkatkan Sumber Daya Manusia Yang Produktif dan Berdaya Saing  pada Bidang Kesehatan  Arah Kebijakan ke-9 menyebutkan Pengendalian Pertumbuhan Penduduk dengan kebijakan fasilitasi revitalisasi Keluarga Berencana.
E.   Permasalahan
Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2011 ditanda tangani pada tanggal 11 Pebruari 2011. Diantara tahun ditanda tangani Perda nomor 17 tahun 2009 dan terbitnya Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2011 tersebut, Pemerintah Pusat telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang secara tegas menyebutkan bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana memiliki tugas pokok dan fungsi mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Undang-Undang ini sudah diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Kepala BKKBN Pusat Nomor 82/PER/B-5/2011 tentang Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional di Provinsi seluruh Indonesia yang menjadi landasan ditempatkannya Perwakilan BKKBN Provinsi di Kalimantan Selatan.
Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan merupakan mitra Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana. Namun pada matrik dalam Bab VII disebutkan bahwa kebijakan fasilitasi revitalisasi Keluarga Berencana merupakan urusan Kesehatan.
Permasalahan tersebut menggambarkan adanya ketidak sesuaian dalam implementasi kebijakan publik mengenai urusan wajib bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera.
Bagan di atas menunjukkan unsur-unsur dalam implementasi kebijakan publik dan terkait dengan kebijakan di bidang KB dan KS di Provinsi Kalimantan Selatan tidak secara substansi ada dalam Perda Kalsel lebih disebabkan tidak terlaksananya unsur komunikasi khususnya dengan lembaga legislatif sebab selama ini komunikasi secara intens hanya dilakukan terhadap eksekutif dan sebagian besar mengenai pelaksanaan program. Bukan pada yuridis forma.
Hal ini terjadi dikarenakan Struktur Birokrasi Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan tidak berada dalam lingkup Pemerintah Daerah.

Demikian analisis kebijakan publik yang dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah KEBIJAKAN PUBLIK. Semoga bermanfaat.

Senin, 30 Maret 2015

KELUARGA BERENCANA DAN PELAYANAN DASAR


Berikut rangkuman tentang pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 yang saya unduh dari situs resmi Otonomi Daerah baru saja.


Pembagian Urusan

Dari skema tentang urusan pemerintaha tersebut sangat jelas bahwa untuk urusan wajib yang merupakan pelayanan dasar diperlukan standar pelayanan minimal atau SPM. Bagaimana dengan pembangunan kependudukan dan keluarg'll.a berencana ?

Pasal 11 membedakan antara urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar maupun yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam  pasal 12 ayat 2 huruf h pengendalian penduduk dan keluarga berencana merupakan urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar.

Dalam hal ini berarti, program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga tidak memerlukan Standar Pelayanan Minimal sebab merupakan urusan wajib yang bukan pelayanan dasar.

PROGRAM KB DAN KEBUTUHAN DASAR

Pada Bab I Pasal 1 ayat 16 berbunyi Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. Pertanyaannya adalah apakah Keluarga Berencana bukan merupakan kebutuhan dasar ?

Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar dalam diagram berikut:


Fisiologi menurut  wikipedia adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang berlangsungnya sistem kehidupan. Sementara ini, kebutuhan fisiologis mengambil pada konsep yang terbatas pada kebutuhan untuk bertahan hidup seperti makan, minum dan tempat tinggal.

Dengan melihat definisi fisiologi tersebut maka sebenarnya kebutuhan untuk berlangsungnya sistem kehidupan tidak semata-mata membicarakan tentang kebutuhan dasar berupa sangdang, pangan dan papan melainkan termasuk di dalamnya adalah mengenai anak atau keturunan yang akan meneruskan sistem kehidupan manusia secara umum atau individu secara khusus. Ini menjadi poin penting dalam program Kependudukan dan Keluarga Berencana.

PERAN PEMERINTAH

Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur keberlangsungan hidup warga negaranya terutama dalam jumlah dan kualitas sehingga tidak mengganggu keberlangsungan hidup lingkungan yang menjadi penopang kehidupan manusia. Kewenangan itu dilakukan dengan memberikan pengaturan kelahiran pada setiap keluarga agar tidak terjadi ledakan penduduk yang berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tingkatan di atas kebutuhan fisiologis yang terlihat pada diagram di atas.

Kewajiban pemerintah untuk menempatkan Kependudukan dan Keluarga Berencana sebagai salah satu kegiatan pelayanan dasar bukannya hanya didasarkan pada teori tentang kebutuhan dan definis tentang fisiologi melainkan juga didasarkan pada unsur terbentuknya negara.

Berdasarkan konvensi Montevideo tahun 1933 yang  merupakan konvensi hukum internasional bahwa negara harus mempunyai empat unsur konstitutif salah saltunya adalah harus ada penghuni yaitu penduduk. Dengan demikian, kependudukan dan segala hal yang berkaitan dengan pengaturan berlangsungnya sistem kehidupan penduduk dalam sebuah negara sudah seharusnya menjadi kebutuhan dasar bagi pemerintah untuk dikelola dengan baik.


Tulisan ini hanya sumbangsih pemikiran bagi siapapun yang berminat untuk membacanya.

Selasa, 24 Februari 2015

NILAI dan ASPEK HUKUM PK

NILAI PENDATAAN KELUARGA


Langsung saja pada pokok pembahasan mengenai nilai biaya untuk pendataan keluarga pada satu provinsi. Bila di sebuah provinsi terdapat 500.000 Kepala Keluarga maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut :

  1. Pengambilan data pada keluarga dimana 1 kepala keluarga diberi bantuan mendata sebesar Rp. 3000,- maka akan dibutuhkan dana sebesar  Rp.  1.500.000.000,-. Dana satu setengah milyar ini diperuntukkan bagi kader yang menjadi petugas pendata dari rumah ke rumah. Sistem pembayarannya adalah menggunakan claim dimana data yang sudah terkumpul akan diberikan ganti berupa dana sesuai jumlah kepala keluarga yang di data. Dari kegiatan ini maka tidak akan ada peluang untuk melakukan penyimpangan terhadap pelaksanaan pengambilan data dari keluarga-keluarga.
  2. Penginputan data dimana data 1 keluarga akan diinput ke aplikasi dengan 2 opsi yaitu scanner dan entry. Misalkan pada proses scanner maupun entry dibutuhkan dana sebesar Rp. 1.400,- maka total dana input untuk 500.000 kepala keluarga menjadi sebesar Rp. 700.000.000,- Makna dari nilai tujuh ratus juta rupiah ini akan berbeda analisis dan perlakuannya. Hal ini tergantung pada pemilihan atas opsi yang ditawarkan dari proses input data baik scanner maupun entry data keluarga.
OPSI SCANNER-ENTRY DENGAN SWAKELOLA-ALIH DAYA

Opsi yang diberlakukan untuk proses input adalah swakelola atau alih daya. Pengertian swakelola adalah anggaran yang ada di dalam rencana kerja alokasi kegiatan kementerian dan lembaga dipergunakan sendiri oleh pengguna anggaran dengan pengawasan dilakukan intern pengguna anggaran. Sedangkan alih daya adalah menggunakan sewa tenaga dari pihak ketiga untuk melakukan input data.

Ketika sebuah provinsi memilih input data menggunakan scanner dengan swakelola maka proses input data dengan cara scanner dilakukan dengan menggunakan tenaga dalam pengawasan sendiri. Begitu pula dengan provinsi yang memilih input data menggunakan entry dengan swakelola maka proses input data dengan cara entry ke aplikasi dengan menggunakan tenaga dalam pengawasan sendiri. Dalam hal ini, tenaga yang dipergunakan tentunya tenaga yang terkait dengan pendataan keluarga seperti misalkan kader dari PIK Remaja yang ditunjuk atau petugas lapangan KB atau staff di provinsi yang bersangkutan. Ini tentunya bersifat sama dengan proses pengambilan data oleh kader sehingga bisa menggunakan sistem claim terhadap data yang sudah diinput ke aplikasi.

Akan berbeda dengan entry maupun scanner yang menggunakan opsi alih daya. Pada angka tujuh ratus juta rupiah, karena alih daya adalah menggunakan sewa tenaga dari pihak ketiga. Bahkan ketika dana untuk alih daya ditekan menjadi angka Rp. 700,- per keluarga tetap menggunakan lelang terbuka karena nilai dana yang disiapkan untuk input data untuk 500.000 kepala keluarga menjadi sebesar Rp. 350.000.000,- sedangkan batas minimal pengadaan barang dan jasa dengan penunjukkan langsung atau lelang sederhana maksimal sebesar Rp. 200.000.000,-

PROSES LELANG

Dari penggambaran besarnya nilai untuk pekerjaan input data menggunakan pihak ketiga ini maka berdasar Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Untuk prosedur lelang sudah jelas disebutkan dalam Bab III Pasal 7 ayat 1 yakni adanya organisasi pengadaan barang dan jasa swakelola terdiri dari Kuasa Pengguna Anggara, Pejabat Pembuat Komitmen, ULP atau Pejabat Pengadaan dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan. Yang membedakan dengan pengadaan melalui swakelola adalah pada ULP atau pejabat pengadaan.

Dengan dana melihat pada kelengkapan organisasi pengadaan barang dan jasa juga ketersediaan anggaran pada RKAKL di tingkat Provinsi maka pengadaan barang dan jasa untuk input data bisa dilakukan di tingkat provinsi. Proses lelang tentunya berada di tingkat provinsi dan pihak ketiga yang akan menjadi rekanan tentunya bergantung pada hasil lelang di tingkat provinsi. Namun untuk melaksanakan proses lelang tersebut, provinsi mengalami kendala dikarenakan spesifikasi untuk aplikasi yang dipergunakan tidak diserahkan kewenangannya pada perwakilan pusat di provinsi. Dengan sendirinya, proses lelang tidak akan terlaksana di tingkat provinsi. Atau bahkan kemungkinan besar yang terjadi adalah terpilihnya rekanan dengan spesifikasi aplikasi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pusat.

Adanya kendala pada spesifikasi aplikasi mengharuskan provinsi mengadakan lelang di tingkat pusat karena pusat memiliki spesifikasi aplikasi tersebut. Bisa dibayangkan, pada proses lelang di tingkat pusat yang diikuti setidaknya 30 provinsi di Indonesia maka membutuhkan kerja keras bagi unit layanan pengadaan di pusat. Dalam proses lelang itu sendiri yang dipakai tentunya sesuai dengan kriteria  efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan tidak deskriminatif serta akuntabel. Sehingga sangat besar kemungkinan terpilihnya rekanan yang justru tidak sama antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Dalam hal ini pun mau tidak mau spesifikasi aplikasi harus diberikan kepada rekanan yang akan menyediakan jasa  kepada provinsi yang ikut lelang di ULP Pusat.

AZAS PRADUGA KETERLIBATAN

Dari gambaran tersebut sangat jelas yang menjadi praduga kegagalan pelaksanaan pendataan keluarga adalah pada tidak diberikannya spesifikasi aplikasi yang dibutuhkan untuk proses input data guna memudahkan lelang pengadaan jasa scanner ataupun entry data di provinsi. Padahal untuk formulir pengadaan, spesifikasi barang diberikan kepada provinsi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, praduga yang juga perlu dipertimbangkan untuk dikaji lebih jauh adalah keterlibatan dalam penetapan pemenang lelang yang harus seragam, menunjuk pada satu badan usaha yang sudah memegang spesifikasi atas aplikasi yang akan dipergunakan oleh pusat.

Agar bisa menyeragamkan pemenang lelang pada satu badan usaha mikro saja maka para pihak pelaksana pengadaan barang dan jasa pada ULP yang ditunjuk oleh provinsi-provinsi tersebut adalah dengan mengabaikan etika yang tercantum dalam pasal 6 huruf a sampai dengan h pada Perpres 54 tahun 2010 sehingga akan menghasilkan satu rekanan yang akan mengerjakan proses input data di 30 provinsi yang ikut lelang melalui unit layanan pengadaan di pusat tersebut.

Bila dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 pada UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan ayat 2 yaitu praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat  merugikan kepentingan umum maka unsur-unsur tersebut bisa diduga ada dalam penyediaan jasa input data dengan alih daya dimaksud.

Bahkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih memfokuskan pada perilaku pegawai negeri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Pasal-pasal yang tertuang dalam UU nomor 31 tahun 1999 berkaitan erat dengan pasal-pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

AZAS DEKONSENTRASI

Memperhatikan pada UU nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan PP 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Sistem Informasi Keluarga dimana pembahasan mengenai pendataan keluarga lebih fokus sejak dari perencanaan hingga penerima manfaat dari hasil pendataan itu sendiri yakni pemerintah dan pemerintah daerah.

Pada tataran ini, ada baiknya mempertimbangkan peng-aplikasi-an azas dekonsentrasi dalam  hal pelaksanaan pendataan keluarga tahun 2015 yaitu dengan memberdayakan perwakilan yang ada di provinsi. Hal ini tidak harus dengan memberikan spesifikasi aplikasi pendataan keluarga secara menyeluruh karena dalam bagian  lampiran huruf N menempatkan sistem informasi keluarga menjadi kewenangan pusat. Pelaksanaan azas dekonsentrasi dalam pendataan keluarga dapat dilakukan dengan memberikan spesifikasi output dari proses input data baik menggunakan scanner maupun entry kepada seluruh perwakilan provinsi. Hal ini akan lebih memudahkan provinsi untuk melakukan lelang dan mendapatkan rekanan sesuai prosedur pengadaan barang dan jasa.

Dengan menerapkan azas dekonsentrasi ini bukan hanya pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang diselamatkan melainkan juga organisasi pelaksana pengadaan barang dan jasa seperti Kuasa Pengguna Anggaran, PPK, ULP dan pejabat atau panitia penerima barang dan jasa.

Demikian sumbangsih saya yang kedua tentang PK 2015. Semoga bermanfaat.

Salam KB 2 Anak Cukup !!

Minggu, 22 Februari 2015

LELANG JABATAN

Open bidding merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pemimpin sebuah organisasi dengan cara sistematis, logis dan ilmiah. Hal ini dikarenakan adanya syarat dan  ketentuan dalam menetapkan calon pimpinan, bahkan proses penetapan pimpinan organisasi dengan disesuaikan pada perubahan kebutuhan lingkungan internal dan eksternal.

Salah satu organisasi publik yang sudah melaksanakan proses pemilihan pimpinan organisasi di tingkat middle manager dengan menggunakan open bidding adalah BKKBN dan ini sangat membuka peluang untuk pengingkatan karier eselonisasi PNS di luar BKKBN untuk berkarier di BKKBN. Pada instansi di luar BKKBN, belum terdengar proses open bidding ini. Open Bidding di organisasi publik lainnya adalah di lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Akan tetapi ketika open bidding dilakukan untuk pemilihan Kepala BKKBN oleh Menteri Kesehatan, hal ini sangat mengusik berbagai pihak.  Pertanyaan-pertanyaan yang muncul bukan dikarenakan BKKBN tidak siap menerima open bidding sebab kenyataannya untuk mengisi jabatan eselon I di BKKBN sudah dilakukan dengan open bidding bahkan bukan juga disebabkan syarat dan ketentuan yang diberlakukan untuk menjaring calon pimpinan BKKBN. Keterusikan ini dikarenakan sudut pandang akibat terbitnya surat pengumuman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor TU.02.06/II/214/2015 tentang Seleksi Terbuka Jabatan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang ditanda tangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan selaku Ketua Panitia Seleksi.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak adalah tidak ditetapkannya landasan hukum dari terbitnya surat pengumuman seleksi tersebut, padahal sebagai sebuah organisasi publik dalam sistem pemerintahan, Undang-Undang menjadi landasan untuk pembuatan sebuah kebijakan. Apalagi kebijakan yang sangat penting, menyangkut posisi kepala atau pimpinan lembaga pemerintahan. Dengan menetapkan konsideran hukum yang menjadi landasan dibukanya pengumuman tersebut maka keterusikan tidak akan muncul. Dampak dari terbitnya pengumuman yang terbuka secara umum ini adalah adanya asumsi yang nyata-nyata menyebutkan bahwa BKKBN berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan.

DIMANA LETAK KEWENANGAN KEMENTERIAN KESEHATAN ?

Landasan hukum dari kelembagaan BKKBN adalah Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009. Pada landasan hukum ini, paragraf 2 Keluarga Berencana pasal 23 ayat 2 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai akses, kualitas, informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan alat kontrasepsi sebagaimana di atur pada ayat 1 diatur dengan peraturan menterti yangbertanggung jawab di bidang kesehatan. Pada pasal 26 ayat 3 disebutkan ketentutan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan alat, obat dan cara kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 di atur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Dari 63 pasal yang ada di dalam Undang-Undang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ini, hanya 2 pasal saja yang mengkaitkan dengan menteri yang menangani bidang kesehatan yakni mengenai akses KIE dan pelayanan KB juga mengenai alat dan obat kontrasepsi.

Pada Bab IX Kelembagaan Bagian Kesatu Nama dan Kedudukan Pasal 53 UU 52 tahun 2009 ayat 1 dan 2 berbunyi sebagai berikut (1) Dalam rangka pengendalian penduduk dan pembangunan keluarga dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang selanjutnya disingkat BKKBN. (2) BKKBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam hal ini sangat jelas sekali disebutkan kelembagaan dan kedudukan BKKBN bukan di bawah kewenangan Menteri Kesehatan.

Setelah lahirnya UU nomor 52 tahun 2009, terbit Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa BKKBN di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Peraturan Presiden tersebut sudah tidak diberlakukan lagi sesuai dengan pasal 117D yang berbunyi Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini maka Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Adapaun pasal 117C yang berbunyi peraturan pelaksanaan peraturan presiden nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional masih tetapi berlaku sepanjang belum diubah dan atau diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Presiden ini maksudnya adalah peraturan yang tingkatnya di bawah peraturan presiden ini berupa peraturan Kepala BKKBN yang kedudukannya berdasar Undang-Undang 52 Tahun 2009 berada langsung di bawah Presiden atau setingkat menteri.

Posisi Menteri Kesehatan dalam Peraturan Presiden nomor 3 tahun 2013 ini ada dalam pasal 106 ayat 1 berbunyi Dalam melaksanakan tugasnya, masing-masing LPNK dikoordinasikan oleh Menteri yang meliputu (dlanjut pada huruf b) Menteri kesehatan bagi BKKBN dan BPOM. Pada ayat 2 berbunyi Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi koordinasi dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya serta penyelesaian permasalahn yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud.

Dari dasar hukum yang ditanda tangani pada 4 Januari 2013 ini jelas kedudukan BKKBN bukan di bawah Menteri Kesehatan sebab kelembagaannya setingkat menteri. Posisi menteri kesehatan hanya sebatas pada koordinator dimana pengertian koordinator dalam Perpres ini sangat jelas bukan pada kewenangan memilih dan mengangkat Kepala BKKBN.

Dengan melihat pada landasan hukum ini, maka sudah seharusnya Panitia Seleksi Kepala BKKBN harus dikaji ulang karena tidak ada landasan hukum yang menaungi bahkan lebih cenderung tidak sesuai dengan Undang-Undang 52 tahun 2009 dan Peraturan Presdien Nomor 3 tahun 2013.

Tulisan ini hanya sumbang pemikiran yang dilandaskan pada keinginan agar program KKBPK berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

SALAM KB 2 ANAK CUKUP !!

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...