SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Senin, 27 Mei 2013

KEGIATAN dan ANGGARAN PRORITAS

BKKBD dan SPM

Berdasar pada tulisan dengan judul MEMAHAMI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN diketahui bahwa BKKBN Pusat dan Provinsi memiliki tugas yang cukup berat yakni membentuk BKKBD dan melakukan evaluasi pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal. Kedua tugas ini terfokus di Kabupaten/Kota sebagaimana amanat dalam UU no. 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan UU no 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang KB dan KS diketahui ternyata banyak Kabupaten/Kota yang belum dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal Bidang KB dan KS yang berisi 9 (sembilan) kewenangan terutama dalam kewenang untuk penyediaan anggaran dalam pemenuhan PPM dan ratio jumlah PLKB/PKB terhadap desa/kelurahan. Ini baru dari satu SPM dibidang KB dan KS sedangkan urusan wajib yang diserahkan ke pemerintah daerah sebanyak 25 bidang dan masing-masing bidang memiliki kewenangan yang berbeda-beda. Pelaksanaan SPM ini dianalisa setiap tahunnya dan menjadi bahan laporan yang disampaikan ke Presiden selaku Kepala Pemerintahan.

Hasil analisis terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota bukanlah satu hal yang bisa anggap sepele sebab finalisasi dari hasil analisa itu akan menentukan apakah Kabupaten/Kota sudah mampu melaksanakan otonomi atau belum. Kalau sebagian besar dari Kabupaten/Kota termasuk katagori belum sanggup melaksanakan Standar Pelayanan Minimal maka besar kemungkinan hak otonomi yang saat ini dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota akan dipertimbangkan. Pertimbangan ini tentu mengarah pada diberlakukan atau tidak diberlakukannya otonomi daerah dimasa yang akan datang.

Bagi sebagian pihak yang menginginkan agar kewenangan kembali ke pusat maka akan mengabaikan pelaksanaan SPM disemua bidang yang menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah. Namun amanat Undang-Undang bukanlah ke pemerintah daerah melainkan lembaga pemerintahan di pusat sehingga terealisasi atau tidaknya SPM menjadi beban tanggung jawab lembaga pemerintahan departemen atau non departemen, termasuk BKKBN.

Program Prioritas

Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa BKKBN memiliki dua tugas besar yakni membentuk BKKBD dan menjalankan fungsi evaluasi pemantauan pelaksanaan SPM Bidang KB dan KS. Berdasarkan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 82/PER/B5/2011 ternyata beban kedua kegiatan penting ini berada di Perwakilan BKKBN Provinsi khususnya Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi.

Baik tugas fasilitasi pembentukan BKKBD di Kabupaten/Kota maupun evaluasi pelaksanaan SPM di Kabupaten/Kota memiliki kekuatan yang menentukan kelembagaan BKKBN diera otonomi daerah. Apabila penempatan kedua kegiatan ini tidak dalam skala prioritas utama bagi BKKBN tentunya akan berdampak pada kelembagaan BKKBN pada tahun-tahun kedepan. Padahal pembentukan BKKBD merupakan bagian penting dalam pasal kelembagaan dalam UU no 52 tahun 2009.

Dengan hasil SDKI mengenai TFR yang stagnan di angka 2,6 secara nasional mengakibatkan fokus perhatian BKKBN hanya mengarah pada penurunan TFR dengan menggenjot pelayanan KB yang akhirnya mengesampingkan tugas dari Undang-Undang, Peraturan Presiden maupun Peraturan Kepala yang menjadi landasan hukum atas tugas pokok dan fungsi BKKBN khususnya Perwakilan BKKBN di Provinsi yakni penguatan kelembagaan melalui pembentukan BKKBD dan penerapan SPM Bidang KB-KS.

Peran Perwakilan BKKBN di Provinsi adalah memfasilitasi dan meregulasi program Kependudukan dan KB dari provinsi sampai dengan kabupaten/kota. Peran ini bila dikaitkan dengan pembentukan BKKBD dan pelaksanaan SPM Bidang KB-KS sebenarnya hanya mengarah pada satu lembaga saja yakni pemerintah daerah yang terdiri dari eksekutif dan legislatif.

Pemerintah Daerah dalam tataran peraturan perundang-undangan di Indonesia memiliki kekuatan secara hukum sebab peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan terendah di Indonesia. Peraturan Daerah harus menjabarkan kegiatan pembangunan yang tertuang baik dalam Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang. Oleh karenaya, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berada pada hierarchi di atasnya.

Peraturan Daerah berdasar UU no. 12 ahun 2011 adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Sebagaimana tertulis dalam pasal 57 ayat (3) UU no 52 tahun 2009 bahwa pembentukan BKKBD diatur dalam Peraturan Daerah, maka sudah barang tentu yang menjadi prioritas bagi Perwakilan BKKBN di Provinsi adalah memfasilitasi hingga terbentuknya BKKBD yakni dengan`melakukan pendekatan ke eksekutif yakni Bupati atau Walikota beserta jajaran seperti staf ahli ataupun para asisten pemerintah daerah juga ke lembaga legislatif seperti komisi yang membidangi kesehatan dan KB, fraksi yang menjadi bagian dari DPRD dan sebagainya.

Oleh karenanya, penempatan kegiatan prioritas tahun 2014 di Bidang ADPIN Perwakilan BKKBN Provinsi hendaknya mengarah pada penguatan kelembagaan dengan memanfaatkan hubungan antar lembaga. Ini tentunya akan berkaitan dengan penyediaan anggaran yang ditujukan pada penguatan kelembagaan seperti :
  1. Melakukan sosialisasi disseminasi program Kependudukan dan KB ke Bupati/Walikota beserta jajarannya dalam upaya memberikan informasi-informasi mengenai Srandar Pelayanan Minimal yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota secara de jure maupun de facto berdasar ketetapan hukum yang ada ;
  2. Melakukan intensive meeting dengan DPRD Kabupaten/Kota dalam upaya advokasi program Kependudukan dan KB sehingga masuk dalam rencana pembahasan Perda oleh DPRD ;
  3. Melakukan hearing di DPRD dengan Bupati/Walikota dalam rangka mendapatkan tanggapan secara formal atas masukan-masukan Perwakilan BKKBN di Provinsi terhadap pembentukan BKKBD dan penerapan SPM Bidang KB-KS.
UU no 52 tahun 2009 sejak ditetapkan hingga sekarang sudah diberlakukan selama 3 tahun dan memasuki tahun ke-4 merupakan momen yang tepat untuk mengoptimalkan pendekatan ke eksekutif dan legislatif dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang itu sendiri. Oleh karenanya, penyediaan anggaran sebaiknya bukan hanya terfokus pada pelayanan KB melainkan juga pada penguatan kelembagaan yakni pembentukan BKKBD dan Penerapan SPM Bidang KB-KS.

Keberhasilan fasilitasi pembentukan BKKBD adalah apabila terbit Peraturan Daerah mengenai BKKBD. Dengan terbitnya Peraturan daerah mengenai pembentukan BKKBD  maka penerapan SPM Bidang KB-KS akan mudah dilakukan. Dampak terhadap itu semua bukan hanya tertuju pada BKKBN selaku penanggung jawab atas pelaksanaan UU No 52 tahun 2009 melainkan juga Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka memaksimalkan hak otonomi daerah sebagaimana amanat UU no 32 tahun 2004, PP 38 tahun 2007 dan UU np 65 tahun 2005.
Tulisan ini hanya sumbangsih pemikiran, semoga bermanfaat.

Salam KB, 2 Anak CUKUP !!

Minggu, 26 Mei 2013

Foto-Foto TOF ITP di Jogjakarta

Kegiatan sejak tanggal 20 sampai dengan 25 Mei 2013
Bertempat di Hotel Ibis Style Jogjakarta
Peserta : 10 Provinsi
                5 Pusat
                5 Mitra kerja
Bahasa : Inggris
Kesan  : Belepotan tapi dapat banyak ilmu menjadi fasilitator dan terutama interpretator
Pesan   : Jangan takut salah, jangan malu belajar, jangan lupa mencatat !!

















MEMAHAMI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Menurut id.wikipedia.org disebutkan Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Perundang-undangan memiliki sifat dan hierarki. Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  1. UU D 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah (PP)
  5. Peraturan Presiden (Perpres)
  6. Peraturan Daerah (Perda), 
Berdasarkan hierarchie-nya maka peraturan yang terakhir haruslah tidak bertentangan dengan peraturan yang di atasnya. Sedangkan peraturan yang tingkatannya di bawah merupakan penjabaran dari peraturan yang di atasnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi tabrakan kepentingan dalam penetapan sebuah peraturan.

Tulisan ini akan mengulas tentang implementasi program Keluarga Berencana berdasar Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia.


OTONOMI DAERAH


Undang-Undang  no 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah yang pada konsideran menimbang bagian c menyebutkan bahwa Undang-Undang nomor Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti. Hal ini memberi arahan bahwa keberadaan UU no 32 tahun 2004 adalah menggantikan UU no 22 Tahun 1999. Hal ini dipertegas pada Bab XVI Ketentutan Penutup Pasal 239 yang menyebutkan Pada saat berlakukan Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku.

Setelah UU nomor 32 tahun 2004 diberlakukan, pemerintah mengeluarkan Peraturan-Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dimana pada konsideran menimbang disebutkan bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 30 ayat (9) UU  Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Ini berarti, terbitnya PP merupakan penjabaran dari dua buah UU yang terkait satu sama lain. 

Pada PP 38 tahun 2007 Bab II Urusan Pemerintahan pasal 2 ayat (4) menyebutkan urusan pemerintahan disebutkan ada 31 urusan pemerintahan salah satunya yakni huruf (l) adalah Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Pada Bab III Pembagian Urusan Pemerintahan bagian Kedua pasal 6 ayat (2) dikatakan bahwa urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Sedangkan pada pasal 7 ayat (2) disebutkan yang menjadi urusan wajib bagi pemerintahan di provinsi maupun kabupaten/kota sebanyak 25 dan salah satunya adalah Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Di sisi lain, pasal 7 ayat (4) menyebutkan bahwa kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan dan ketransmigrasian  merupakan urusan pilihan yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena ini merupakan urusan pilihan maka kewenangan masih berada di level pusat baik kebijakan tentang program maupun kepegawaiannya.

Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan wajib dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap. Tata cara ini akan diatur dengan Peraturan Presiden. Namun dengan melihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 TAHUN 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal pada Bab II pasal 2 ayat (2) menyebutkan SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian jelas bahwa yang menerapkan SPM adalah Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Bab IV pasal 1 ayat (1) menyebutkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun SPM sesuai dengan urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Untuk urusan wajib ini maka pemerintah daerah kembali pada PP 38 tahun 2007. 
Khusus untuk urusan wajib Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen mana yang bertanggung jawab ? Dengan serta merta, semua pihak akan menyebutkan BKKBN yang memiliki tanggung jawab untuk menyusun SPM Bidang KB dan KS.

UNDANG-UNDANG KEPENDUDUKAN



Sampai dengan lahirnya UU No 32 tahun 2004 dan terbitnya PP Nomor 38 tahun 2007 yang dipergunakan sebagai dasar hukum untuk BKKBN adalah UU no. 10 tahun 1992 mengenai Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. UU ini menyebutkan konsep Kependudukan dalam program Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera hampir di semua Bab, Pasal dan Ayat nya. 

Namun demikian, perubahan lingkungan dengan adanya reformasi yang salah satunya diwujudkan dengan menerapkan UU Otonomi Daerah dan PP 38 tahun 2007 maka pemerintah yakni DPR bersama-sama Presiden menerbitkan UU No 52 tahun 2009 dengan alasan terlihat pada konsideran menimbang pada huruf c sampai dengan f. 

Undang-Undang ini secara substansi memuat tentang hak dan kewajiban Pemerintah terhadap Kuantitas dan Kualitas Kependudukan serta hak dan kewajiban penduduk dalam peningkatan kualitas dan kuantitas-nya. Hal lain yang diatur dalam UU tentang PKPK ini adalah Bab IX Kelembagaan pasal 53 ayat (1) yang mengubah nomenklatur BKKBN dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 

Sedangkan kedudukan pada ayat (2) menyebutkan langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pada pasal 56 ayat (2) memuat tentang fungsi BKKBN yang terkait dengan penyelenggaraan pemantauan dan evaluasi dimana penyusunan SPM Bidang KB dan KS merupakan bagian dari pemantaua dan evaluasi.

Keterkaitan pada pemerintah daerah yang berdasar PP 38 tahun 2007 memiliki urusan wajib menyelenggarakan pembangunan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, UU ini mengamanatkan agar pemerintah daerah membentuk BKKBD di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota seperti tertuang pada pasal 54 ayat (1).  

Berdasar pada pasal 57 ayat (1) sampai dengan (3) yang memberikan garisan tegas bahwa kelembagaan BKKBD di Kabupaten/Kota masih mengacu pada kebutuhan daerah sebab diatur dengan Peraturan Daerah.

PERPRES dan PERKA

Berdasarkan UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (3) disebutkan Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Posisi UU berada di bawah TAP MPR dan pada ayat  (5) disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 

Posisi peraturan pemerintah ini berada di bawah UU. Sedangkan Peraturan Presiden berada bawah Peraturan Pemerintah yang pada ayat (2) disebutkan Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Penjabaran UU no 52 tahun 2009 tidak diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah melainkan dalam bentuk Peraturan Presiden.  Hal ini didasarkan pada Bab IX Kelembagaan Bagian Kedua pasal 56 ayat (3) yang berbunyi bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi dan susunan organisasi BKKBN diatur dengan Peraturan Presiden. 

Dalam pengertian bahwa lahirnya UU tidak terlepas dari peran DPR maka dapat diartikan bahwa bab dan pasal serta ayat mengenai hal tersebut merupakan amanat DPR kepada Presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden mengenai BKKBN. Peraturan Presiden No 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional terdiri dari 8 Bab dimana pada Bab II terdiri dari 10 bagian, 59  pasal. 

Peraturan Presiden ini bukan hanya sebagai landasan hukum atas berubahnya kelembagaan BKKBN dari nomenklatur Koordinasi menjadi Kependudukan melainkan juga tentang kedudukan BKKBN dimana pada Bab I pasal 1 ayat (1) adalah sebagai Lembaga Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang bertanggung jawab di bidang Kesehatan. Ketentuan tentang tugas pokok dan fungsi kelembagaan yang menjadi struktur organisasi BKKBN di tingkat Pusat, dituangkan dalam pasal 4 sampai dengan pasal 38.

Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 55 ayat (1) sampai dengan (6) menyebutkan tentang tugas pokok dan fungsi Perwakilan BKKBN di provinsi termasuk salah satunya adalah memfasilitasi terbentuknya BKKBD di Kabupaten/Kota kecuali Provinsi DKI Jakarta.

Pada Bab VIII Ketentuan Penutup Pasal 58 Perpres tersebut memuat hal sebagai berikut : 
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka :
  1. Ketentuan mengenai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005; 
  2. Ketentuan mengenai Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dikarenakan Perpres hanya mengikat Perwakilan BKKBN di Provinsi dalam satu pasal saja, maka perlu diterbitkan peraturan hukum yang mengikat ke dalam organisasi BKKBN yakni berbentuk Peraturan Kepala BKKBN. 

Terbitnya Peraturan Kepala BKKBN Nomor 82/PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan BKKBN Provinsi merupakan landasan de jure pelaksanaan kegiatan Kependudukan dan Keluarga Berencana  di provinsi. Perka ini mengatur tugas pokok dan fungsi Perwakilan BKKBN di Provinsi, salah satunya adalah pada Bab I Kedudukan, Tugas Fungsi dan Tipologi pasal 3 huruf h yaitu pembinaan dan fasilitasi terbentukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Pada Bab II Susunan Organisasi Bagian Kesatu Paragraf 5 Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi pasal 23 huruf (b) menyebutkan penyiapan bahan pembinaan, pembimbingan dan fasilitasi pelaksanaan  kebijakan teknis, norma, prosedur, kriteria dan pemantauan, evaluasi di bidang hubungan antar lembaga dan bina lini lapangan, serta fasilitasi pembentukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah sebagai salah satu fungsi dari Bidang ADPIN. Hal ini menjadi tugas pokok dan fungsi pada Sub Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Bina Lini Lapangan sesuai dengan pasal 25 ayat (2). Sedangkan untuk penilaian SPM Bidang KB dan KS merupakan tugas pokok dan fungsi Sub Bidang Data dan Informasi sesuai pasal 25 ayat (3).

Pada bab yang sama bagian Kedua Paragraf 4 pasal 44 huruf (a) berbunyi sama persis dengan tugas pokok Bidang ADPIN di atas dan pasal 46 ayat (1) menyebutkan hal tersebut merupakan bagian dari tugas pada Sub Bidang Penggerakan, Advokasi dan Komunikasi Informasi dan Edukasi.

Pada Bab VII Ketentuan Peralihan pasal 62 berbunyi Dengan berlakunya Peraturan Kepala BKKBN ini, maka segala ketentuan dan peraturan pelaksanaan dari:
  1. Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 70/HK-010/B5/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Provinsi dan Kabupaten/Kota; 
  2. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 182/HK-010/B5/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Barat; 
  3. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 159/HK-010/B5/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Provinsi Irian Jaya Barat;
dinyatakan masih berlaku sepanjang belum diubah atau diganti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun pemberlakukan ini kemudian berakhir setelah terbitnya Perpres no 3 tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mengacu pada perubahan nomenklatur Koordinasi menjadi Kependudukan pada BKKBN sehingga Presiden harus melakukan perubahan konsideran pada nama lembaga BKKBN. Disamping itu, perubahan Kepres nomor 103 tahun 2001 sudah mengalami enam kali perubahan dan perubahan terakhir dengan nomor 3 tahun 2013 ini hanya menyisipkan tugas poko dan fungsi BKKBN pada setiap pasal yang sudah ada.

Kembali pada Perka BKKBN nomor 82 tahun 2011, Pasal 64 berbunyi sebagai berikut Dengan berlakunya Peraturan Kepala BKKBN ini, maka :
  1. Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 70/HK-010/B5/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Provinsi dan Kabupaten/Kota, kecuali ketentuan yang mengatur Balai Pendidikan dan Pelatihan; 
  2. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 182/HK-010/B5/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Barat; dan 
  3. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 159/HK-010/B5/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Provinsi Irian Jaya Barat;
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Demikian, implementasi peraturan perundang-undangan tentang Kependudukan dan Keluarga Berencana. Ide penulisan ini dari dialog-dialog dengan teman-teman di facebook mengenai Kependudukan dan Keluarga Berencana.

Dengan melihat bahwa beban tugas pembentukan BKKBD dan Penerapan SPM berada di Bidang ADPIN maka sudah selayaknya semua Provinsi di Indonesia mencermati kembali Undang-Undang no 52 tahun 2009, Peraturan Presiden No 62 tahun 2010 dan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 82 tahun 2011.

Akan bersambung dengan topik lain tetapi pada dasar pemikiran yang sama.

Semoga bermanfaat. Salam KB 2 Anak CUKUP !!

Selasa, 14 Mei 2013

PROTOKOLER ACARA RESMI

Sudah hal yang sangat lazim apabila dalam sebuah event akan dilakukan acara pembukaan secara resmi dalam bentuk seremonial. Ini berlaku bukan hanya di lingkungan pemerintahan melainkan juga di lingkungan swasta. Khusus untuk lingkungan pemerintahan, acara resmi memiliki tata cara dengan peraturan hukum yakni berdasar pada UU No. 09 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.
 
Undang-Undang ini mengatur secara resmi bagaimana sebuah acara berlangsung dengan satu asumsi mendasar adalah bahwa dalam suatu acara kenegaraan atau acara resmi, pejabat negara, pejabat pemerintah dan Tomatsu yang tidak memperoleh penghormatan dan perlakukan protokil sesuai dengan kedudukannya adalah merupakan pelanggaran dengan tuduhan pelecehan jabatan. Dengan mengambil pada asumsi ini maka jelas peraturan keprotokolan tidak boleh dipandang enteng.

Definisi Protokol menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2010 berbunyi “Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam Negara, pemerintahan atau masyarakat.”

Sedangkan pada Pasal 3 UU Nomor 9 Tahun 2010 yaitu 
  • Memberikan Penghormatan Kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, Perwakilan Negara Asing dan/atau Organisasi Internasional, serta tokoh masyarakat tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam Negara, pemerintahan dan masyarakat.
  • Memberikan Pedoman Penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku baik secara nasional maupun internasional; dan
  • Menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antar bangsa.

Di dalam peraturan keprotokolan ditetapkan ranah-ranah keprotokolan seperti :
  1. Bahwa yang diatur dalam keprotokolan adalah Lambang Kehormatan NKRI, Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah dan Tokoh Masyarakat Tertentu 
  2. Alasan pengaturan terhadap Lambang Kehormatan NKRI agar selaras dengan kedudukannya sebagai lambang kedaulatan, tanda kehormatan dan symbol-simbol Negara ;terhadap Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah Tomastu untuk menciptakan ketertiban, memelihara kehormatan diri dan kedudukan serta Efektif dan Effisien 
  3. Yang melakukan pengaturan adalah pimpinan dengan otoritasnya dan pejabat protokol yang kompeten (bukan pembawa acara atau MC)  
  4. Cara pengaturannya adalah dengan  tata cara yaitu tertib, khidmat, bernuansa agung dan sesuai aturan, tata krama yaitu etiket dalam pengaturan, pelayanan dan ungkapan terakhir adalah aplikasi regulasi yang terkait dengan keprotokolan 
  5. Pengaturan dilakukan pada :
          -   Acara Kenegaraan
          -   Acara Resmi
          -   Pertemuan Resmi
          -   Kunjungan (State Visit, Official Visit dan Kunjungan Kerja).
          -   Audiensi dan Penerimaan Tamu
          -   Acara Perjamuan

Susunan acara yang ditata pada sebuah acara resmi berdasar UU No 09 tahun 2010 tentang Keprotokolan adalah :
  1. Pembukaan
  2. Menyanyikan lagu Indonesia Raya 
  3. Laporan Panitia Penyelenggara 
  4. Sambutan-Sambutan 
  5. Pembukaan Secara Resmi 
  6. Do'a 
  7. Ramah Tamah

Susunan di atas nampaknya sangat sepele sehingga terkesan tidak masalah bila diubah. Namun apabila dikaitkan dengan peraturan hukum yang menjadi landasan pelaksanaan sebuah kegiatan resmi maka perubahan susunan acara tidak dapat dianggap sepele. 
Pada sebuah acara seremonial di lingkup sebuah instansi pemerintahan, telah terjadi perubahan susunan acara tidak sebagaimana diatur oleh Undang-Undang. Hal ini dikarenakan seremonial kepemerintahan dipandu oleh pihak non pemerintah yang tidak memahami keprotokolan. Semoga kita belajar dari sebuah kesalahan untuk menjadi lebih baik lagi.
Salam KB !! 

Jumat, 10 Mei 2013

"TIDAK TAHU"

Pejabat

Arti jabatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online adalah 1 pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi: 2 fungsi; 3 dinas; jawatan sedangkan pejabat adalah 1 pegawai pemerintah yg memegang jabatan penting (unsur pimpinan):2  kl kantor; markas; jawata.

PP Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural menyebutkan bahwa Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam jabatan struktural antara lain dimaksudkan untuk membina karier PNS dalam jabatan struktural dan kepangkatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan.

Berdasar Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara nomor 43/KEP/2001 tanggal 20 Juli 2001 tentang Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai Negeri pada lampiran I sampai dengan IV disebutkan standar kompetensi yang menjadi syarat pengangkatan PNS ke dalam jabatan eselon I, II, III dan IV.

Khusus untuk jabatan eselon IV indikator dalam standar kompetensi-nya adalah sebagai berikut :
  1. Mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik (goodgovernance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasinya
  2. Mampu memberikan pelayanan prima terhadap publik sesuai dengan tugas dantanggung jawab unit organisasinya
  3. Mampu melaksanakan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan tugas dantanggung jawab unit organisasinya
  4. Mampu mengatur/mendayagunakan sumberdaya sumberdaya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas unit organisasi
  5. Mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang berlaku di unit kerjanya
  6. Mampu membangun jaringan kerja/melakukan kerjasama dengan unit-unit terkait baik dalam organisasi maupun di luar organisasi untuk meningkatkan kinerja unit organisasinya
  7. Mampu melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam unit organisasinya
  8. Mampu menumbuh kembangkan inovasi, kreasi dan motivasi pegawai untuk mengoptimalkan kinerja unit organisasinya
  9. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam unit organisasinya
  10. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan dan pengendalian dalam unit organisasinya
  11. Mampu memberikan akuntabilitas kinerja unit organisasinya
  12. Mampu melakukan evaluasi kinerja unit organisasi dan para bawahannya dan menetapkan tindak lanjut yang diperlukan.
  13. Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan-perbaikan/pengembangan-pengembangan kegiatan-kegiatan kepada pejabatdiatasny.
Apabila dikaitkan dengan good governance maka standar kompetensi kedua  menjadi tolok ukur bagi pejabat bersangkutan sebab hal ini terkait dengan pihak ekstern organisasi.


Jawaban : Tidak Tahu
Pejabat akan selalu terkait dengan kepemimpinan sedangkan kepemimpinan akan terkait dengan pengambilan keputusan kemudian yang paling dibutuhkan da lam hal ini adalah komunikasi. Bentuk komunikasi inilah yang menjadi bagian atas tolok ukur pelaksanaan standar kompetensi kedua bagi seorang pejabat struktural.

Pemahaman terhadap pentingnya komunikasi ini seharusnya dimiliki oleh seseorang yang sudah diangkat menjadi pejabat struktural. Namun justru seringkali, komunikasi dianggap bukan hal penting dalam kepemimpinan sehingga kerap diabaikan. Ini terlihat saat seorang menjawab sebuah pertanyaan atau permasalahan dengan serangkaian kata : "tidak tahu".

Ilustrasinya sebagai berikut :
Seorang Kepala Sub Bidang di sebuah organisasi pemerintahan didatangi oleh mitra kerja dari lintas sektor untuk menanyakan tentang kegiatan yang kan diselenggarakan oleh di wilayahnya. Jawaban dari si pejabat adalah "tidak tahu". Jawaban yang paling mudah diucapkan dan si penanya tidak akan meneruskan percakapan mengenai hal yang ditanyakan melainkan hal lainnya.

Tanpa disadari bahwa jawaban ini tidak etis diucapkan oleh seorang pejabat yang sudah definitif duduk dalam jabatan struktural. Apalagi kalau pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan tugas pokok dan fungsi dari jabatan yang diembannya. Dampak yang tidak dipikirkan oleh pejabat dalam ilustrasi tersebut saat mengucapkan kalimat "tidak tahu" adalah
  • Adanya pemikiran tentang kapabilitas pejabat yang melantik sebab sudah mengangkat pejabat yang tidak memahami tugas pokok dan fungsi  jabatannya
  • Adanya pemikiran tentang pejabat yang digantikan sebab tidak meninggalkan satu informasi dan materi pun tentang tugas pokok dan fungsi jabatan yang digantikan.
Dengan adanya pejabat yang memiliki senjata pamungkas "tidak tahu" menjadi tugas khusus bagi atasan untuk memberikan pembinaan, agar organisasi mampu mewujudkan good governance.

Salam KB !!

Rabu, 08 Mei 2013

POTENSIAL bagi PENSIUNAN

Dalam sebuah rapat pembentukan organisasi di kantor setahun yang lalu, saya diundang untuk hadir sebab ini terkait dengan kegemaran saya dibidang tulis menulis. Tentu yang hadir adalah mereka yang memiliki kegemaran yang sama atau memang pekerjaannya dibidang tulis menulis. Yang cukup menarik adalah hadirnya beberapa pensiunan. Bukan hanya itu, pada saat rapat itu dibacakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang sudah disusun ditingkat pusat. Kalimat yang cukup menarik adalah, pembentukan organisasi ini juga dengan memanfaatkan tenaga pensiunan potensial.

Pertanyaan mendasar adalah apakah semua pensiunan akan menjadi Penduduk Lanjut Usia Potensial ? Jawaban atas pertanyaan ini masih mengambang karena walaupun seseorang pensiun dalam sebuah jabatan struktural bukan jaminan bahwa yang bersangkutan akan menjadi penduduk Lansia yang potensial. Untuk mengetahui potensial atau tidaknya penduduk lanjut usia dapat dilihat pada pengertian potensi sebagai  sesuatu yang mesti dikenali dan diwujudkan. Selain itu dapat dilihat pada output dan outcome yang dihasilkan oleh penduduk Lanjut Usia tersebut.

Pengertian

Pengertian potensial menurut kamus bahasa indonesia adalah mempunyai potensi berupa kekuatan, kemampuan, kesanggupan dan daya berkemampuan. Sedangkan pengertian potensi itu sendiri adalah sebagai berikut :
  • Potensi adalah menemukan perubahan dan kecenderungan seseorang dalam menggunakan media pada proses tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (djohani,1996:78).
  • Potensi adalah sebagai sesuatu yang mesti dikenali dan diwujudkan. Potensi yang tidak ditampakkan tidak akan mampu menciptakan reputasi, potensi yang tersembunyi apabila diusahakan untuk ditampakkan akan menjadi kekuatan dan kelebihan. 
  • Potensi merupakan sesuatu yang mungkin dicapai atau dikembangkan atau dimiliki atau terjadi pada seseorang maupun pada sesuatu
Dari pengertian potensi dan potensial ini sangat jelas indikator apabila seseorang dimasukkan ke dalam kriteria "potensial" akan memenuhi unsur-unsur :
  1. Kekuatan
  2. Kemampuan
  3. Kesanggupan
  4. Daya untuk memiliki kemampuan (berkemampuan)
  5. Inovatif
  6. Dapat diwujudkan dan dikembangkan
Dengan kriteria mendasar ini maka jelas, sangat terbatas orang-orang yang mampu berada dalam kelompok "potensial" di bidang tertentu. Potensial bukan hanya merupakan bakat dalam diri individu melainkan juga hasil dari pengembangan kualitas diri. Ada banyak orang yang kemudian menjadi potensial setelah rutin melakukan aktifitas yang semula bukan merupakan bakatnya namun di lain pihak ada juga orang yang justru mengembangkan bakatnya untuk menjadi potensial. Dalam hal ini, untuk menjadi potensial harus melalui long term period in the circle of life.



Pensiunan Potensial



Pemenuhan kriteria potensial diatas dilakukan secara individual bisa mengarahkan seseorang yang sudah pensiun masuk kriteria pensiun potensial. Sebagai contoh ketika seorang lurah di Banjarmasin pensiun, kemudian mampu membentuk Bank Sampah di tempat tinggalnya yang dengan Bank Sampah-nya tersebut pemerintah merasa terbantu maka dapat dikatakan bahwa pensiunan lurah ini adalah lanjut usia yang potensial. Atau misalnya ada pensiunan BKKBN yang kemudian secara mandiri membentuk kelompok Bina-Bina di lokasi tempat tinggalnya sehingga program Kependudukan dan KB bisa terbantu karena aktifitasnya maka boleh jadi disebut pensiunan potensial.

Upaya pengembangan yang dilakukan pensiunan lurah dan pensiunan BKKBN dalam contoh diatas tidak dengan memanfaatkan sarana dan dana dari pemerintah (kekuatan) namun mengandalkan hubungan kerja semasa masih aktif (kemampuan) diiringi dengan aktualisasi (kesanggupan dan daya) perencanaan. Ini bentuk inovasi dan bila berjalan maka akan menjadi kegiatan yang positif (dapat diwujudkan).

Akan berbeda dengan aplikasi pensiunan potensial yang selama ini disematkan pada pensiunan pegawai baik negeri maupun swasta. Kriteria potensial itu hanya bisa diaktualisasikan bila masih "menyusu" pada induk kedinasan tanpa mengaktualisasikan kriteria potensial yang sesungguhnya. 

Munculnya program-program baru menjadi lahan bagi para pensiunan untuk aktualisasi dalam sebutan "pensiunan potensial". Misalnya Ikatan Penulis yang seharusnya diisi oleh para penulis atau pensiunan yang punya kegemaran menulis namun ternyata ada pensiunan yang masuk ke dalam kegiatan ini padahal sepanjang  masa dinasannya tidak pernah membuat artikel. Atau asosiasi kegiatan usaha ekonomi yang seharusnya formula-nya lebih banyak dari dunia usaha agar mampu membantu memberikan modal usaha bagi kelompok usaha ekonomi keluarga namun ternyata diisi oleh pensiunan yang tidak memiliki kegiatan usaha apalagi modal. Namun ketika organisasi yang membawahi para pensiunan ini diajak kerja sama untuk menumbuhkan satu kegiatan usaha ekonomi produktif bagi anggota-nya dengan serta merta justru ditolak dengan alasan anggota-nya sudah ingin istirahat dari rutinitas kedinasan.

Tidak mudah untuk menjadi pensiunan potensial walau sebenarnya juga tidak teramat sulit untuk bisa potensial diusia pensiun, sebab itu kembali pada kompetensi diri sebagai individu, bukan kompetensi sebagai pegawai. Setidaknya, saat masih aktif dalam kedinasan sudah melakukan persiapan-persiapan individu sehingga benar-benar potensial sesuai karakteristiknya disaat pensiun. Dengan demikian, sebutan pensiunan potensial, melekat dengan tepat.

Tulisan ini hanya sumbangsih pemikiran semoga bermanfaat.


Muda Berkarya
Tua Bermanfaat
Salam KB !!

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...