SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Jumat, 16 November 2012

MEMAHAMI ASSESSMENT

Demi pengembangan mutu kompetensi para pekerjanya, banyak organisasi yang kini mengembangkan apa yang disebut sebagai competency-based Human Resource Development.  Pendekatan ini seharusnya menjadikan elemen kompetensi sebagai salah satu pilar dalam mendongkrak produktivitas karyawan  sekaligus memekarkan kinerja bisnis. Pengembangan kompetensi karyawan secara konstan dengan demikian merupakan sebuah rute panjang yang mesti ditempuh dengan penuh kesungguhan. Tantangannya adalah bagaimana cara mengukur level kompetensi seorang karyawan, dan metode apa yang sebaiknya digunakan untuk keperluan itu. Disinilah kita kemudian bersinggungan dengan sebuah metode yang acap disebut sebagai assessment center.
Assessment center sejatinya bukan merujuk pada sebuah bangunan, atau center, namun pada sebuah metode pengukuran kompetensi. Secara spesifik, assessment center mencoba menggali level kompetensi seseorang melalui serangkain jenis tes (multiple test), dan biasanya juga dilakukan oleh lebih dari satu penilai (rater). Berdasar sejumlah riset empirik, assessment center diketahui memiliki validitas yang tinggi dalam memprediksi level kompetensi individu.
Perlu juga segera ditambahkan bahwa metode assessment center ini hanya digunakan untuk menguji jenis kompetensi soft (soft competency) atau sering juga disebut sebagai managerial competencies (contohnya kompetensi leadership, communication skills, problem solving skills, team skills, dan sejenisnya); dan tidak ditujukan untuk mengukur kompetensi fungsional (seperti marketing research skills, interviewing skills, programming skills, dan sejenisnya).

Jenis tes yang digunakan dalam metode assessment center bervariasi, dan biasanya mencakup sejumlah tes berikut. Yang pertama dan lazim digunakan adalah apa yang disebut sebagai Inbox Tes (atau sering juga disebut sebagai in basket test). Dalam tes ini, peserta dihadapkan pada sejumlah email yang masuk ke dalam inbox-nya. Isi email identik dengan situasi sehari-hari yang dihadapi oleh peserta (jika level peserta adalah manajer, maka tipikal isi emailnya tentu juga akan relevan dengan keseharian mereka).

Sebagai misal isi emailnya bisa berupa instruksi dari atasan untuk menyiapkan bahan meeting manajemen bulanan; atau juga keluhan dari rekan kerja tentang lemahnya koordinasi antar bidang; atau juga sekedar undangan seminar dari event organizer di luar. Tugas peserta adalah memilah, menganalisa dan kemudian memberikan respon terhadap serangkaian email tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk menguji kompetensi peserta dalam melakukan pemilahan prioritas dan juga kemampuan dalam analytical thinking and decision making.

Jenis tes lain yang acap digunakan adalah group discussion, dimana para peserta (biasanya lima hingga enam orang) diminta duduk berkelompok dan mendiskusikan tema tertentu yang telah ditentukan oleh penilai. Dari tes ini penilai akan melakukan observasi dan kemudian menilai kompetensi peserta dalam aspek communication skills dan juga interpersonal skills.

Selain itu dalam asessment center, para peserta juga diberi tes case analysis. Jenis tes ini biasanya berupa kasus yang identik dengan situasi yang dihadapi oleh sebuah perusahaan – misal kasus tentang cara melakukan proses change management di sebuah perusahaan yang hampir kolaps. Para peserta kemudian diminta untuk menganalisa dan merumuskan rekomendasi secara tertulis. Melalui tes ini para peserta diuji kompetensinya dalam melakukan analytical thinking, dan juga writing skills mereka (melalui rekomendasi yang mereka susun secara tertulis).

Biasanya, hasil rekomendasi case analysis ini juga harus dipresentasikan oleh peserta, sehingga penilai juga bisa menguji kompetensi mereka dalam aspek presentation skills dan influencing skills (mempengaruhi orang lain untuk percaya dengan rekomendasi dan argumentasi yang disusunnya).

Demikianlah, melalui serangkain tes tersebut para penilai (biasanya berjumlah tiga orang) akan melakukan observasi dan penilaian menyeluruh mengenai sejumlah kompetensi yang dianggap kritikal. Keseluruhan proses assessment center ini biasanya memakan waktu antara satu hingga dua hari, tergantung jumlah dan tingkat kesulitas tes yang digunakan.

Melalui metode assessment center inilah, pihak manajemen kemudian bisa mengetahui dengan cukup akurat potret kompetensi para karyawannya. Dan dari sinilah kemudian bisa disusun sejumlah employee development plan yang relevan. Ujungnya tentu agar segenap karyawan bisa terus berkembang  level kompetensinya.

Berdasar pada keseluruhan uraian mengenai assessment di atas memberikan indikasi bahwa organisasi-organisasi modern akan menggunakan assessment pada saat melakukan perencanaan Sumber Daya Manusia. Namun tidak semua hasil assessment kemudian bisa dijadikan landasan dalam penetapan seseorang dalam sebuah kedudukan dan jabatan. Ini disebabkan, hasil assessment masih dipengaruhi kondisi kesehatan saat seseorang di tes assessment.

Kamis, 15 November 2012

LEGAL ASPECT 4 LINI LAPANGAN



Legal aspek bukanlah konsep baru dan selama Diklat PIM III konsep ini semakin sering didengar dalam materi-materi yang disampaikan Drs. Sugiyanto, widyaiswara BKKBN Pusat, terutama tentang Pemerintahan, Pembangunan dan Administrasi Publik.

Amandemen UUD 45 pada pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan Indonesia adalah negara hukum memberikan kepastian bahwa tindakan berdasarkan hukum akan lebih diakui di Indonesia. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan kalau saat ini, legal aspek atau aspek legalisasi dari sudut pandang hukum menjadi satu hal yang penting di Indonesia.

DAMPAK OTONOMI

Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah diberlakukan dalam rangka menjawab tantangan pemerataan pembangunan di Indonesia. Ini dikarenakan secara geografis Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas terbagi dalam beberapa pulau besar, kecil dan kepulauan. Undang-Undang ini memberikan kebebasan bagi tiap-tiap daerah untuk memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia sesuai kearifan lokal untuk kepentingan masyarakat di daerah itu sendiri.

Pemberlakuan Undang-Undang ini diikuti dengan penetapan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagi an Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Konsekwensi penyerahan kewenangan ini tentunya berdampak pada komponen pelaksana kewenangan itu sendiri.

Program Keluarga Berencana merupakan salah satu yang kewenangannya termasuk diserahkan ke Pemerintah Daerah. Ketika program Keluarga Berencana diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah maka komponen pelaksana program itu sendiri juga menjadi bagian yang diserahkan ke Pemerintah Daerah. Komponen pelaksana program yang menjadi kewenangan daerah adalah dari organisasi unit kerja di tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan petugas di lini lapangan.

Ideal-nya, dengan dilaksanakan otonomi daerah dan penyerahan kewenangan ke daerah maka program keluarga berencana akan lebih baik lagi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pasca program Keluarga Berencana di otonomi-kan, banyak hal yang kemudian muncul sebagai dampaknya. Hal yang paling nyata terlihat adalah menurunnya angka kehadiran keluarga dalam kegiatan pembinaan melalui kelompok kegiatan. Padahal dari kesertaan dalam kelompok kegiatan ini ada banyak manfaat bagi keluarga yang bermuara pada pelayanan KB dalam rangka pengendalian TFR sebagai target Pembangunan Kependudukan dan KB secara nasional.

Menurunnya angka kehadiran keluarga dalam kelompok kegiatan disebabkan banyak faktor namun yang lebih dominan adalah ketidak tersediaannya anggaran atau yang bersifat operasional guna mendukung berjalannya institusi measyarakatan itu sendiri.


PERUBAHAN MINDSET

Penerapan UU no 32 tahun 2007 dan PP no 38 tahun 2007 berakibat adanya perubahan lingkungan intern maupun ekstern dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana. Dengan lahirnya UU no 52 tahun 2009 tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana yang ditindak lanjuti dengan lahirnya Peraturan Presiden no 62 tahun 2010 tentang BKKBN memberikan kepastian bahwa program KB terkait dengan masalah kependudukan sehingga sebagian besar kewenangannya juga masih berada di BKKBN Pusat. Hal ini bila dikaitkan dengan ketersediaan anggaran akan tetap memiliki permasalahan sebab dari APBN tidak lagi untuk memberikan dana operasional sampai di level lini lapangan. 

Perubahan lingkungan ini seharusnya diikuti pula dengan perubahan mindset di tingkat pembuatan kebijakan terutama dalam melahirkan kebijakan disesuaikan pula dengan perubahan yang terjadi di negara Indonesia.

Dengan dibuatnya kepastian bahwa Indonesia adalah negara hukum maka dalam pelaksanaan program KB yang menyangkut lini lapangan haruslah memperhatikan legal aspect. Beberapa kebijakan dalam menanggulangi permasalahan terkait dengan lini lapangan pasca otonomi yang dapat dilakukan oleh para pengambil kebijakan adalah :

  1. Membuat instrumen legal aspect mengenai mekanisme pengelolaan program sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni dengan menggunakan UU 52/2009 sebagai landasan hukum untuk melahirkan peraturan atau keputusan Presiden mengenai program kegiatan. Ini didasarkan pada asumsi bahwa BKKBN adalah lembaga non departemen yang dalam peraturan Hukum Administrasi Negara hanya akan memiliki legal aspect kalau didasarkan pada Keputusan Presiden. Berikutnya, menggunakan Perpres no 62/2010 sebagai landasan hukum untuk melahirkan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota. Ini didasarkan pada asumsi bahwa peraturan gubernur dan peraturan bupati/walikota memiliki kekuatan dalam legal aspect pelaksanaan program KB di tingkat Kabupaten/Kota.
  2. Membuat instrumen legal aspect untuk institusi penunjang program Kependudukan dan KB dengan mendaftarkan institusi-institusi tersebut ke Pemerintah Daerah khususnya ke Badan Kesatuan Bangsa dan Pelindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) di Kabupaten/Kota. Institusi tersebut bisa dimasukkan ke dalam kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Ikatan Penyuluh KB,    Kelompok Kegiatan (Poktan) seperti BKB, BKR, BKL dan UPPKS,  Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) seperti PPKBD maupun Sub PPKBD. Dengan terdaftarnya institusi-institusi tersebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat sangat memungkinkan untuk mendapatkan dukungan operasional melalui anggaran yang tersedia.
Tulisan ini dibuat atas dasar kepedulian terhadap program Kependudukan dan KB di lapangan yang terengah-engah pasca otonomi daerah karena mindset pengelolaannya yang belum berubah. Hal-hal penting terkait tulisan ini adalah 
  • Ikatan Penyuluh KB yang sudah memiliki ketetapan organisasi dari tingkat Kabupate/Kota. Propinsi dan Pusat dapat membuat legal aspect sesuai dengan posisi institusi ini berada
  • Institusi lainnya harus didahului dengan pembuatan organisasi induk di Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.
SEMOGA BERMANFAAT

PROGRAM UNTUK SEMUA LAPISAN



KB UNTUK SIAPA ?

Berdasar Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyebutkan bahwa program Keluarga Berencana dilaksanakan dalam rangka mengendalikan kuantitas, peningkatan kualitas dan mobilitas penduduk. Penempatan nomenklatur Kependudukan dimaksudkan bahwa pengendalian kuantitas penduduk dilakukan melalui pelayanan alat kontrasepsi, peningkatan kualitas penduduk melalui pembinaan keluarga sesuai dengan siklus usia seperti BKB bagi keluarga yang punya Balita, BKR bagi keluarga yang punya remaja dan persiapan berkeluarga bagi remaja, BKL bagi keluarga yang punya lansia dan persiapan lansia peduli, UPPKS bagi PUS yang memiliki kegiatan usaha. Pembinaan keluarga ini pada akhirnya juga mengarah pada kesertaan ber-KB bagi keluarga yang menjadi anggota kelompok kegiatan.
Idealnya menurut UU No. 52 tahun 2009, program KB diperuntukkan bagi semua keluarga Indonesia dari segala lapisan. Namun sesuai kebijakan yang telah ditetapkan, implementasi program KB lebih di arahkan pada keluarga Pra Sejahtera I dan Keluarga Sejahtera I. Hal ini memberikan gambaran bahwa program KB lebih terfokus pada Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Bahkan secara geografis program KB ini lebih diarahkan pada wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan.
Dengan kondisi tersebut maka bisa diambil kesimpulan bahwa program KB hanya diperuntukkan bagi  keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I yang berada di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Melihat pada hal tersebut, ada pernyataan yang cukup menggelitik yaitu bahwa program KB tidak diperuntukkan bagi keluarga mampu.

HAK AZASI MANUSIA

Memiliki anak adalah hak azasi setiap pasangan usia subur. Akan tetapi, hak pasangan usia subur ini juga dihadapkan pada hak azasi perempuan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan di bidang kesehatan reproduksi. Oleh karenanya, kesehatan reproduksi bagi perempuan diupayakan menjadi dasar bagi PUS saat membuat kesepakatan mengenai jumlah anak diinginkan. Dalam konteks kesehatan reproduksi bagi perempuan maka jumlah kelahiran sehat adalah saat perempuan berusia dia atas 20 tahun dan di bawah 35 tahun sedangkan jarak kehamilan satu dengan yang lain minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun. Dengan demikian, idelanya setiap Pasangan Usia Subur hanya akan memiliki 2 sampai dengan 3 orang anak.
Berdasar kesehatan reproduksi ini jelas bahwa sebenarnya program KB dalam hal pengaturan jumlah penduduk bukan hanya diperuntukkan bagi keluarga pra sejahtera dan KS I di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan melainkan untuk semua lapisan.
Hal lain harus dipertimbangkan adalah kemampuan sarana dan prasarana sosial yang mampu disediakan pemerintah sangat terbatas. Keterbatasan sarana dan prasarana sosial ini mengharuskan setiap keluarga untuk memperhatikan hak azasi manusia satu sama lain. 
Logika berpikir yang bisa dipergunakan adalah bahwa ketika sebuah keluarga mampu memiliki 4 (empat) orang anak maka dengan kemampuan finansial akan memungkinkan anak-anak tersebut mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini tentunya menggeser anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan fasilitas sarana dan prasarana pendidikan sehingga walaupun keluarga tidak mampu hanya memiliki 2 (dua) orang anak tetap tidak akan bisa mendapat fasilitas pendidikan karena dikalahkan secara finansial oleh keluarga mampu.
Dengan logika berpikir semacam ini maka jelas bahwa toleransi keluarga mampu terhadap keluarga tidak mampu ( baca : pra sejahtera dan keluarga sejahtera I ) adalah dengan memberikan hak azasi anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah anak dari keluarga mampu secara ideal dan tepat.
Dari keseluruhan uraian ini menjawab pernyataan bahwa program Keluarga Berencana tidak diperuntukkan bagi keluarga mampu dapat dibantah.

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman di lapangan dalam menggarap program KB di wilayahnya masing-masing.

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...