SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Selasa, 24 Februari 2015

NILAI dan ASPEK HUKUM PK

NILAI PENDATAAN KELUARGA


Langsung saja pada pokok pembahasan mengenai nilai biaya untuk pendataan keluarga pada satu provinsi. Bila di sebuah provinsi terdapat 500.000 Kepala Keluarga maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut :

  1. Pengambilan data pada keluarga dimana 1 kepala keluarga diberi bantuan mendata sebesar Rp. 3000,- maka akan dibutuhkan dana sebesar  Rp.  1.500.000.000,-. Dana satu setengah milyar ini diperuntukkan bagi kader yang menjadi petugas pendata dari rumah ke rumah. Sistem pembayarannya adalah menggunakan claim dimana data yang sudah terkumpul akan diberikan ganti berupa dana sesuai jumlah kepala keluarga yang di data. Dari kegiatan ini maka tidak akan ada peluang untuk melakukan penyimpangan terhadap pelaksanaan pengambilan data dari keluarga-keluarga.
  2. Penginputan data dimana data 1 keluarga akan diinput ke aplikasi dengan 2 opsi yaitu scanner dan entry. Misalkan pada proses scanner maupun entry dibutuhkan dana sebesar Rp. 1.400,- maka total dana input untuk 500.000 kepala keluarga menjadi sebesar Rp. 700.000.000,- Makna dari nilai tujuh ratus juta rupiah ini akan berbeda analisis dan perlakuannya. Hal ini tergantung pada pemilihan atas opsi yang ditawarkan dari proses input data baik scanner maupun entry data keluarga.
OPSI SCANNER-ENTRY DENGAN SWAKELOLA-ALIH DAYA

Opsi yang diberlakukan untuk proses input adalah swakelola atau alih daya. Pengertian swakelola adalah anggaran yang ada di dalam rencana kerja alokasi kegiatan kementerian dan lembaga dipergunakan sendiri oleh pengguna anggaran dengan pengawasan dilakukan intern pengguna anggaran. Sedangkan alih daya adalah menggunakan sewa tenaga dari pihak ketiga untuk melakukan input data.

Ketika sebuah provinsi memilih input data menggunakan scanner dengan swakelola maka proses input data dengan cara scanner dilakukan dengan menggunakan tenaga dalam pengawasan sendiri. Begitu pula dengan provinsi yang memilih input data menggunakan entry dengan swakelola maka proses input data dengan cara entry ke aplikasi dengan menggunakan tenaga dalam pengawasan sendiri. Dalam hal ini, tenaga yang dipergunakan tentunya tenaga yang terkait dengan pendataan keluarga seperti misalkan kader dari PIK Remaja yang ditunjuk atau petugas lapangan KB atau staff di provinsi yang bersangkutan. Ini tentunya bersifat sama dengan proses pengambilan data oleh kader sehingga bisa menggunakan sistem claim terhadap data yang sudah diinput ke aplikasi.

Akan berbeda dengan entry maupun scanner yang menggunakan opsi alih daya. Pada angka tujuh ratus juta rupiah, karena alih daya adalah menggunakan sewa tenaga dari pihak ketiga. Bahkan ketika dana untuk alih daya ditekan menjadi angka Rp. 700,- per keluarga tetap menggunakan lelang terbuka karena nilai dana yang disiapkan untuk input data untuk 500.000 kepala keluarga menjadi sebesar Rp. 350.000.000,- sedangkan batas minimal pengadaan barang dan jasa dengan penunjukkan langsung atau lelang sederhana maksimal sebesar Rp. 200.000.000,-

PROSES LELANG

Dari penggambaran besarnya nilai untuk pekerjaan input data menggunakan pihak ketiga ini maka berdasar Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Untuk prosedur lelang sudah jelas disebutkan dalam Bab III Pasal 7 ayat 1 yakni adanya organisasi pengadaan barang dan jasa swakelola terdiri dari Kuasa Pengguna Anggara, Pejabat Pembuat Komitmen, ULP atau Pejabat Pengadaan dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan. Yang membedakan dengan pengadaan melalui swakelola adalah pada ULP atau pejabat pengadaan.

Dengan dana melihat pada kelengkapan organisasi pengadaan barang dan jasa juga ketersediaan anggaran pada RKAKL di tingkat Provinsi maka pengadaan barang dan jasa untuk input data bisa dilakukan di tingkat provinsi. Proses lelang tentunya berada di tingkat provinsi dan pihak ketiga yang akan menjadi rekanan tentunya bergantung pada hasil lelang di tingkat provinsi. Namun untuk melaksanakan proses lelang tersebut, provinsi mengalami kendala dikarenakan spesifikasi untuk aplikasi yang dipergunakan tidak diserahkan kewenangannya pada perwakilan pusat di provinsi. Dengan sendirinya, proses lelang tidak akan terlaksana di tingkat provinsi. Atau bahkan kemungkinan besar yang terjadi adalah terpilihnya rekanan dengan spesifikasi aplikasi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pusat.

Adanya kendala pada spesifikasi aplikasi mengharuskan provinsi mengadakan lelang di tingkat pusat karena pusat memiliki spesifikasi aplikasi tersebut. Bisa dibayangkan, pada proses lelang di tingkat pusat yang diikuti setidaknya 30 provinsi di Indonesia maka membutuhkan kerja keras bagi unit layanan pengadaan di pusat. Dalam proses lelang itu sendiri yang dipakai tentunya sesuai dengan kriteria  efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan tidak deskriminatif serta akuntabel. Sehingga sangat besar kemungkinan terpilihnya rekanan yang justru tidak sama antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Dalam hal ini pun mau tidak mau spesifikasi aplikasi harus diberikan kepada rekanan yang akan menyediakan jasa  kepada provinsi yang ikut lelang di ULP Pusat.

AZAS PRADUGA KETERLIBATAN

Dari gambaran tersebut sangat jelas yang menjadi praduga kegagalan pelaksanaan pendataan keluarga adalah pada tidak diberikannya spesifikasi aplikasi yang dibutuhkan untuk proses input data guna memudahkan lelang pengadaan jasa scanner ataupun entry data di provinsi. Padahal untuk formulir pengadaan, spesifikasi barang diberikan kepada provinsi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, praduga yang juga perlu dipertimbangkan untuk dikaji lebih jauh adalah keterlibatan dalam penetapan pemenang lelang yang harus seragam, menunjuk pada satu badan usaha yang sudah memegang spesifikasi atas aplikasi yang akan dipergunakan oleh pusat.

Agar bisa menyeragamkan pemenang lelang pada satu badan usaha mikro saja maka para pihak pelaksana pengadaan barang dan jasa pada ULP yang ditunjuk oleh provinsi-provinsi tersebut adalah dengan mengabaikan etika yang tercantum dalam pasal 6 huruf a sampai dengan h pada Perpres 54 tahun 2010 sehingga akan menghasilkan satu rekanan yang akan mengerjakan proses input data di 30 provinsi yang ikut lelang melalui unit layanan pengadaan di pusat tersebut.

Bila dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 pada UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan ayat 2 yaitu praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat  merugikan kepentingan umum maka unsur-unsur tersebut bisa diduga ada dalam penyediaan jasa input data dengan alih daya dimaksud.

Bahkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih memfokuskan pada perilaku pegawai negeri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Pasal-pasal yang tertuang dalam UU nomor 31 tahun 1999 berkaitan erat dengan pasal-pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

AZAS DEKONSENTRASI

Memperhatikan pada UU nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan PP 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Sistem Informasi Keluarga dimana pembahasan mengenai pendataan keluarga lebih fokus sejak dari perencanaan hingga penerima manfaat dari hasil pendataan itu sendiri yakni pemerintah dan pemerintah daerah.

Pada tataran ini, ada baiknya mempertimbangkan peng-aplikasi-an azas dekonsentrasi dalam  hal pelaksanaan pendataan keluarga tahun 2015 yaitu dengan memberdayakan perwakilan yang ada di provinsi. Hal ini tidak harus dengan memberikan spesifikasi aplikasi pendataan keluarga secara menyeluruh karena dalam bagian  lampiran huruf N menempatkan sistem informasi keluarga menjadi kewenangan pusat. Pelaksanaan azas dekonsentrasi dalam pendataan keluarga dapat dilakukan dengan memberikan spesifikasi output dari proses input data baik menggunakan scanner maupun entry kepada seluruh perwakilan provinsi. Hal ini akan lebih memudahkan provinsi untuk melakukan lelang dan mendapatkan rekanan sesuai prosedur pengadaan barang dan jasa.

Dengan menerapkan azas dekonsentrasi ini bukan hanya pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang diselamatkan melainkan juga organisasi pelaksana pengadaan barang dan jasa seperti Kuasa Pengguna Anggaran, PPK, ULP dan pejabat atau panitia penerima barang dan jasa.

Demikian sumbangsih saya yang kedua tentang PK 2015. Semoga bermanfaat.

Salam KB 2 Anak Cukup !!

Minggu, 22 Februari 2015

LELANG JABATAN

Open bidding merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pemimpin sebuah organisasi dengan cara sistematis, logis dan ilmiah. Hal ini dikarenakan adanya syarat dan  ketentuan dalam menetapkan calon pimpinan, bahkan proses penetapan pimpinan organisasi dengan disesuaikan pada perubahan kebutuhan lingkungan internal dan eksternal.

Salah satu organisasi publik yang sudah melaksanakan proses pemilihan pimpinan organisasi di tingkat middle manager dengan menggunakan open bidding adalah BKKBN dan ini sangat membuka peluang untuk pengingkatan karier eselonisasi PNS di luar BKKBN untuk berkarier di BKKBN. Pada instansi di luar BKKBN, belum terdengar proses open bidding ini. Open Bidding di organisasi publik lainnya adalah di lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Akan tetapi ketika open bidding dilakukan untuk pemilihan Kepala BKKBN oleh Menteri Kesehatan, hal ini sangat mengusik berbagai pihak.  Pertanyaan-pertanyaan yang muncul bukan dikarenakan BKKBN tidak siap menerima open bidding sebab kenyataannya untuk mengisi jabatan eselon I di BKKBN sudah dilakukan dengan open bidding bahkan bukan juga disebabkan syarat dan ketentuan yang diberlakukan untuk menjaring calon pimpinan BKKBN. Keterusikan ini dikarenakan sudut pandang akibat terbitnya surat pengumuman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor TU.02.06/II/214/2015 tentang Seleksi Terbuka Jabatan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang ditanda tangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan selaku Ketua Panitia Seleksi.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak adalah tidak ditetapkannya landasan hukum dari terbitnya surat pengumuman seleksi tersebut, padahal sebagai sebuah organisasi publik dalam sistem pemerintahan, Undang-Undang menjadi landasan untuk pembuatan sebuah kebijakan. Apalagi kebijakan yang sangat penting, menyangkut posisi kepala atau pimpinan lembaga pemerintahan. Dengan menetapkan konsideran hukum yang menjadi landasan dibukanya pengumuman tersebut maka keterusikan tidak akan muncul. Dampak dari terbitnya pengumuman yang terbuka secara umum ini adalah adanya asumsi yang nyata-nyata menyebutkan bahwa BKKBN berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan.

DIMANA LETAK KEWENANGAN KEMENTERIAN KESEHATAN ?

Landasan hukum dari kelembagaan BKKBN adalah Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009. Pada landasan hukum ini, paragraf 2 Keluarga Berencana pasal 23 ayat 2 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai akses, kualitas, informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan alat kontrasepsi sebagaimana di atur pada ayat 1 diatur dengan peraturan menterti yangbertanggung jawab di bidang kesehatan. Pada pasal 26 ayat 3 disebutkan ketentutan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan alat, obat dan cara kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 di atur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Dari 63 pasal yang ada di dalam Undang-Undang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ini, hanya 2 pasal saja yang mengkaitkan dengan menteri yang menangani bidang kesehatan yakni mengenai akses KIE dan pelayanan KB juga mengenai alat dan obat kontrasepsi.

Pada Bab IX Kelembagaan Bagian Kesatu Nama dan Kedudukan Pasal 53 UU 52 tahun 2009 ayat 1 dan 2 berbunyi sebagai berikut (1) Dalam rangka pengendalian penduduk dan pembangunan keluarga dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang selanjutnya disingkat BKKBN. (2) BKKBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam hal ini sangat jelas sekali disebutkan kelembagaan dan kedudukan BKKBN bukan di bawah kewenangan Menteri Kesehatan.

Setelah lahirnya UU nomor 52 tahun 2009, terbit Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa BKKBN di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Peraturan Presiden tersebut sudah tidak diberlakukan lagi sesuai dengan pasal 117D yang berbunyi Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini maka Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Adapaun pasal 117C yang berbunyi peraturan pelaksanaan peraturan presiden nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional masih tetapi berlaku sepanjang belum diubah dan atau diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Presiden ini maksudnya adalah peraturan yang tingkatnya di bawah peraturan presiden ini berupa peraturan Kepala BKKBN yang kedudukannya berdasar Undang-Undang 52 Tahun 2009 berada langsung di bawah Presiden atau setingkat menteri.

Posisi Menteri Kesehatan dalam Peraturan Presiden nomor 3 tahun 2013 ini ada dalam pasal 106 ayat 1 berbunyi Dalam melaksanakan tugasnya, masing-masing LPNK dikoordinasikan oleh Menteri yang meliputu (dlanjut pada huruf b) Menteri kesehatan bagi BKKBN dan BPOM. Pada ayat 2 berbunyi Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi koordinasi dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya serta penyelesaian permasalahn yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan dimaksud.

Dari dasar hukum yang ditanda tangani pada 4 Januari 2013 ini jelas kedudukan BKKBN bukan di bawah Menteri Kesehatan sebab kelembagaannya setingkat menteri. Posisi menteri kesehatan hanya sebatas pada koordinator dimana pengertian koordinator dalam Perpres ini sangat jelas bukan pada kewenangan memilih dan mengangkat Kepala BKKBN.

Dengan melihat pada landasan hukum ini, maka sudah seharusnya Panitia Seleksi Kepala BKKBN harus dikaji ulang karena tidak ada landasan hukum yang menaungi bahkan lebih cenderung tidak sesuai dengan Undang-Undang 52 tahun 2009 dan Peraturan Presdien Nomor 3 tahun 2013.

Tulisan ini hanya sumbang pemikiran yang dilandaskan pada keinginan agar program KKBPK berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

SALAM KB 2 ANAK CUKUP !!

PENDATAAN KELUARGA > BERDASAR HUKUM

Membicarakan pendataan  keluarga tentunya tidak akan lepas dari BKKBN sebab sejak tahun 1991 Pendataan Keluarga menjadi ikon kegiatan KB. Dari pendataan keluarga ini akan didapat informasi tentang kependudukan seperti kelompok umur penduduk, wanita usia subur, penduduk usia di bawah 1 tahun, penduduk usia produktif dan penduduk berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, akan ada pula data mengenai kondisi anak usia sekolah, jumlah pasangan usia subur, PUS ber-KB dan tidak ber KB. Data lain yang tercover adalah kondisi kepala keluarga berdasar tahapan KS-nya yakni sesuai dengan indikator-indikator yang menentukan apakah keluarga tersebut tergolong pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III atau sejahtera III Plus.

Data-data tersebut sudah barang tentu sangat diperlukan saat pemerintah akan melaksanakan kegiatan pengentasan kemiskinan. Misalkan saat diberlakukannya wajib belajar 9 tahun maka data anak usia sekolah yang tidak bersekolah akan menjadi acuan dalam menetapkan langkah kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Atau adanya kebijakan imunisasi secara nasional maka data jumlah Balita sangat diperlukan dalam mendukung pelaksanaan imunisasi terhadap Balita. Bahkan ketika kebijakan pemberian Beras Miskin (Raskin) yang ditujukan pada keluarga yang tidak mampu maka data keluarga berdasar tahapan KS ini sangat membantu dalam menetapkan calon penerima Raskin. Penggunaan data ini yang utamanya memang untuk program Keluarga Berencana namun sifat multi fungsi dalam varibale pendataan itulah yang menjadikan kegiatan ini ditunggu banyak pihak walaupun ada yang menyatakan datanya tidak akurat karena tidak menggunakan metoda ilmiah.

Apa sebenarnya pendataan keluarga ?

Bab VIII Data dan Informasi Kependudukan, UU 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana pasal 49 ayat 1 dan 2 menjadi dasar untuk memahami tentang pendataan keluarga. Bila bersandar pada dua pasal ini maka yang dimaksudkan pendataan keluarga adalah merupakan salah satu cara pemerintah da n pemerintah daerag untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data dan informasi mengenai kependudukan dan keluarga. Tujuan dari pendataan keluarga disebutkan dalam ayat 3 yaitu untuk digunakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai dasar penetapan kebijakan, penyelenggaraan dan pembangunan. Sedangkan pada pasal 50 ayat 4 disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem informasi kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam tatanan hukum perundang-undangan di Indonesia, setelah  lahirnya Undang-Undang akan di lahirkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Sejak diundangkan pada tahun 2009, UU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ini tidak serta merta diikuti dengan lahirnya Peraturan Pemerintah. Hal ini dikarenakan proses sosialisasi UU tersebut dimulai pada tahun 2011 setelah terbit Peraturan Kepala BKKBN Nomor 72 tahun Organisasi dan Tata Kerja Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dan Perka Nomor 82 tentang Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi di Seluruh Indonesia yang berlandaskan pada Peraturan Presiden nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Perpres nomor 62 tahun 2010 ini kemudian tidak diberlakukan lagi setelah terbitnya Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh dari Peraturan Presiden Nomor 103 tahun 2001. Dengan demikian, secara de jure baru setelah 5 tahun lahir UU 52/2009 baru diterbitkan Peraturan Pemerintah nomor 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan, Pembangunan Keluarga da n Sistem Informasi Keluarga. Akan tetapi, secara di facto PP 87 tahun 2014 ini lahir setelah 2 tahun UU 52 tahun 2009 dapat diaplikasikan di seluruh Indonesia.

PP 87 tahun 2014 Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 17 disebutkan  Pendataan keluarga adalah tata cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan pemanfaatan data demografi, data Keluarga Berencana, data keluarga sejahtera, dan data anggota keluarga yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat secara serentak setiap 5 (lima) tahun dan data yang dihasilkan akurat, valid, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bab IV Pasal 41 ayat 1 menyebutkan Penyelenggaraan Sistem Informasi Keluarga sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 bertujuan menyediakan Data dan Informasi Keluarga melalui pendataan keluarga, untuk dapat digunakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai dasar penetapan kebijakan, penyelenggaraan perkembangan kependudukan, pembangunan keluarga, Keluarga Berencana, dan pembangunan lain.

Sampai pada batas pasal ini maka sudah sangat jelas akan apa yang dimaksud dengan pendataan keluarga, siapa yang memegang peranan dalam pelaksanaan pendataan keluarga dan apa tujuan dilaksanakannya pendataan keluarga. 

Hanya sayangnya, dasar hukum yang tertulis di dalam PP 87 tahun 2014 ini tidak sejalan dengan lampiran UU 23 tahun 2014 huruf N pada sub urusan keluarga berencana bagian sistem informasi keluarga dimana pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan dalam pengelolaan sistem informasi keluarga. Artinya, berdasar UU 23 tahun 2014, dalam hal pengelolaan sistem isnformasi keluarga (baca : pendataan keluarga) masih menjadi kewenangan pemerintah pusat  sehingga boleh jadi pemerintah daerah tidak mengambil peranan besar dalam pelaksanaan pendataan keluarga melainkan bergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat, notabene pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Uraian di atas menjadi acuan untuk lebih bijaksana lagi dalam membuat sebuah keputusan terutama yang terkait dengan pendataan keluarga. Lebih penting lagi bila keputusan ini ditujukan kepada Kabupaten/Kota terutama yang mendukung berupa anggaran di APBD untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data keluarga. Bahkan di beberapa daerah, sudah ada yang menciptakan sistem informasi kependudukan sehingga mendukung tugas pokok dan fungsi BKKBN sebagaimana tertuang dalam UU 52 tahun 2009.. 

Secara de facto Pemerintah Daerah telah melaksanakan UU 52 tahun 2009 di wilayahnya padahal secara de jure tidak terakomodir pada lampiran dan pasal-pasal dalam Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah. Di sisi lain, UU 23 tahun 2014 lebih memiliki kekuatan hukum karena kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah sehingga ketika ada pasal dalam Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan peraturan di atasnya dapat gugur demi hukum.

Oleh karena itu,  sangat penting untuk dilakukan sinkronisasai dan sinergisitas pelaksanaan pendataan keluarga tahun 2015 di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota agar tidak terjadi benturan hukum yakni dengan menghargai kebijakan daerah terhadap proses pendataan keluarga di Kabupaten/Kota dan memberikan informasi formula yang dibutuhkan oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah dapat menyesuaikan output datanya dengan kebutuhan pemerintah pusat.


Tulisan ini, bagian pertama edisi pendataan keluarga tahun 2015....sampai bertemu dalam edisi pendataan keluarga tahun 2015 lainnya

SALAM KB 2 ANAK CUKUP, SEMOGA PENDATAAN KELUARGA TAHUN 2015 SUKSES !!

Kamis, 19 Februari 2015

MEMAHAMI POLA PEMBANGUNAN DAERAH

Sebuah pembangunan terjadi dikarenakan adanya legalitas dalam sistem pemerintahan dan juga adanya peraturan hukum yang memayungi pelaksanaan sistem di dalam pemerintahan itu sendiri. Sisitem yang dimaksud disini terkait dengan sumber daya organisasi berupa manusa, peralatan, metoda, keuangan dan pasar atau target pelayanan yang masing-masing bergerak dan berfungsi namun satu sama lain saling berpengaruh.

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan diukur melalui berbagai macam tolok ukur namun pada dasarnya mengacu pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Saat sebuah lembaga memfokuskan kegiatan pada sarana dan prasarana maka kriteria meningkatnya kesejahteraan masyarakat diukur dari tingkat kemudahan sarana dan prasarana tersebut dalam mendukung masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder dan bahkan kebutuhan tertier-nya. Demikian pula dengan fokus-fokus kegiatan lembaga lainnya seperti perikanan, perkebunan, pertanian, tenaga kerja dan lain-lain.

Dalam sisitem pembangunan di Indonesia. pernah dilaksanakan pembangunan sentralistik. Pembangunan ini baik dari segi perencanaan maupun pelaksanaannya sangat bergntung pada pemerintah pusat. Pemerintahan di pusat negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menjadi haluan pelaksanaan pembangunan dengan mengacu pada kebutuhan negara. Oleh karenanya, sebuah kebijakan akan dikeluarkan dan mengikat secara hukum masyarakat yang ada dalam negara dari tingkat nasional sampai dengan tingkat terendah yaitu kelurahan dan desa. Pada sistem ini, seringkali terjadi penyeragaman kebijakan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh daerah tertentu meskipun daerah lain sudah tepat guna.

Reformasi kemudian mengambil peran dengan mengatur ulang formasi pembangunan. Pembangunan dipandang tidak lagi bisa bersifat sentralistik sebab kebutuhan setiap daerah berbeda. Oleh karenanya, otonomi diberlakuan dan daerah dapat melakukan pembangunan sesuai dengan kondisi sumber daya yang dimiliki daerah untuk memenuhi kebutuhan yang memang menjadi kebutuhan masyarakat di daerah. Otonomi yang tepat adalah bila diberlakukan hanya untuk tingkat Kabupaten/Kota dengan asumsi, tingkat Kabupaten/Kota lah yang memiliki masyarakat sebenarnya. Akan tetapi kenyataannya, pemerintah juga menempatkan otonomi untuk provinsi yang notabene tidak memiliki kedekatan emosional sebagaimana Kabupaten/Kota terhadap masyarakatnya.

Pemerintah provinsi seharusnya hanya mengemban tugas sebagai perpanjangan pemerintah pusat sehingga pimpinan daerahnya tidak berasal dari partai-partai politik agar tugas regulasi, koordinasi dan fasilitasi tidak diabaikan akibat adanya perbedaan kepentingan politik. Dengan pimpinan provinsi berasal dari birokrat memungkinkan sebagai pemersatu dari kabupaten/kota yang ada sehingga kebijakan pusat yang seharusnya bisa diturunkan ke tingkat kabupaten/kota tetap dapat dikaji dengan lebih seksama. Selama dua periode pemerintahan pasca reformasi, konflik kepentingan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota tidak jarang terjadi dikarenakan pimpinan daerah mengemban visi dan misi partai yang jelas berbeda satu sama lain.

Pengubahan status penetapan pimpinan daerah provinsi tentunya akan jauh lebih penting daripada pengubahan status penetapan pimpinan daerah kabupaten/kota. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kabupaten/kota lah yang secara de jure dan de facto memiliki luas wilayah dan penduduk, pemerintah daerah lah yang lebih memiliki keterikatan emosional dengan masyarakatnya. Oleh karena itu sudah seharusnya pula pimpinan daerah kabupaten/kota dipilih oleh masyarakat di wilayah tersebut.

Argumentasi  di atas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap wilayah Kalimantan Selatan setelah Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan memutuskan untuk menggunakan aplikasi mutasi data keluarga online dalam upaya membuat peta keluarga agar pembangunan keluarga bisa lebih terfokus dan tepat sasaran sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan keluarga.

Pemerintahan adalah sistem besar yang terdiri dari banyak sub sistem. Berjalannya sub sistem juga sangat dipengaruhi oleh sub sistem yang lain. Diantara sekian banyak sub sistem yang bergerak, yang paling besar pengaruhnya adalah sub sistem pemerintahan itu sendiri. Dari proses input data diketahui kondisi-kondisi sebagai berikut :
  1. Wilayah Kelurahan dan desa tidak memiliki dusun atau rukun warga tetapi memiliki RT. Di Kalimantan Selatan terdapat 1 kabupaten yang tidak memiliki Dusun atau Rukun Warga. Padahal dilihat dari segi luas wilayah dan jumlah penduduknya sangat memungkinkan untuk membentuk RW atau Dusun.
  2. Wilayah Kelurahan dan desa dengan RW atau Dusun yang memiliki RT kurang dari 2 buah 
Perbedaan-perbedaan dalam menentapkan dusun/ruknn warga dan rukun tetangga ini berhubungan erat dengan peraturan hukum mengenai pembentukan RW/Dusun dan RT. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang  desa (“PP Desa”). Pasal 3 ayat (1) PP Desa menyatakan“Dalam wilayah desa dapat dibentuk dusun atau sebutan lain yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa.” Pembentukan Dusun/Rukun Warga didasarkan pada pelaksanaan pembangunan yang efektif dan efisien. 
Dikarenakan pembangunan merupakan sesuatu yang kompleks maka pengorganisasian masyarakat mutlak diperlukan agar pelaksanaan yang kompleks tersebut menjadi lebih mudah dilakukan. Oleh karenanya, ketika sebuah daerah tidak membentuk rukun warga atau dusun melainkan langsung ke rukun tetangga maka pengorganisasian-nya tidak semudah apabila ada rukun warga / dusun sebelum rukun tetangga. Komunikasi lebih efektif menggunakan RW baru ke RT daripada langsung ke RT dengan jumlah yang banyak.
Sebaliknya dengan daerah yang jumlah RT-nya sedikit kalau dibentuk RW/Dusun maka jelas tidak akan menjadikan efektif.
 

UU NO 23 TAHUN 2014 DAN KKBPK

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah disyahkan pada 30 September 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan keadaaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan daerah.

Pada Bab IV Urusan Pemerintahan Bagian Kesatu Klasifikasi Urusan Pemerintahan pada pasal 9 jelas membagi urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, urusan pemerintahan konkuren yaitu urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan provinsi berdasar pelaksanaan otonomi daerah dan urusan pemerintahan umum merupakan kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Pada pasal 10 merupakan rincian urusan yang dimaksud dalam pasal 9.

Pasal 11 membedakan antara urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar maupun yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam  pasal 12 ayat 2 huruf h pengendalian penduduk dan keluarga berencana merupakan urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Jenis urusan pemerintahan konkuren disebutkan dalam lampiran sesuai dengan pasal 15.

Pada pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa urusan pemerintah konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah pusat diselenggarakan a) sendiri oleh Pemerintah Pusat adalah apabila urusan pemerintahan absolut dilaksanakan langsung oleh kementerian atau lembaga pemerintah nom kementerian, b)melimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau kepada instansi vertikal yang ada di daerah berdasarkan azas dekonsentrasi c) menugasi daerah berdasar azas tugas pembantuan. Pada ayat 2 disebutkan bahwa instansi vertikal dibentukan setelah mendapat persetujuan dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ayat 3 justru pada urusan pemerintahan absolut dan pembentukan instansu vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945b tidak memerlukan persetujuan dari Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat. Urusan tersebut terdapat dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai f terdiri dari urusan luar negeri, urusan pertahanan, urusan keamanan, urusan yustisi, urusan moneter dan fiskal nasional serta urusan agama.

Untuk melihat pelaksanaan urusan pada Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dapat dilihat pada Lampiran UU nomor 23 tahun 2014.

ISI LAMPIRAN

Dalam lampiran UU nomor 23 tahun 2014 huruf N disebutkan pembagian urusan pemerintahan bidang pengendalian penduduk  dan keluarga berencana dibagi ke dalam 3 sub urusan yaitu sub urusan pengendalian penduduk, sub urusan keluarga berencana dan sub urusan keluarga sejahtera.

Pada sub urusan pengendalian penduduk, pemerintah pusat melalui BKKBN dan Perwakilan BKKBN di Provinsi melakukan pemaduan dan sinkronisasi kebijakan juga penetapan perkiraan pengendalian penduduk secara nasional. Pemaduan dan sinkronisasi kebijakan inipun dilakukan oleh pemerintah daerah sedangkan di tingkat provinsi perkiraan pengendalian penduduk tidak diberikan kewenangannya melainnya menjadi pemetaan perkiraan pengendalian penduduk cakupan daerah provinsi. Pada level pemerintah kabupaten juga hanya melakukan pemetaan perkiraan pengendalian penduduk selain pemaduan dan sinkronisasi kebijakan kependudukan.

Pada sub urusan keluarga berencana, pemerintah pusat melalui BKKBN memiliki lima urusan menyangkut 1) penyusunan desain program dan pengelolaan advokasi-KIE pengendalian penduduk; 2) pengelolaan tenaga penyuluh KB/Petugas Lapangan KB 3) Pengelolaan dan penyedeiaan alokon untuk kebutuhan PUS 4) pengelolaan dan pengendalian sistem informasi keluarga dan 5) pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian pelayanan dan pembinaan kesertaan ber-KB. Dari 5 urusan yang dilaksanakan pemerintah pusat, yang diserahkan kewenangan urusannya kepada pemerintah daerah provinsi sebanyak 2 urusan yaitu pengembangan desain program, pengelolaan dan pelaksanaan advokasi, KIE dan pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan di provinsi dalam pengelolaan pelayanan dan pembinaan kesertaan ber-KB. Sedangkan ke pemerintah daerah kabupaten/kota, kewenangan yang diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah Kabupaten/Kota sebanyak 4 urusan yaitu pelaksanaan advokasi-KIE pengendalian kependudukan,  pendayagunaan tenaga penyuluh KB, pengendalian dan pendistribusian alokon serta pelaksanaan pelayanan KB di daerah juga memberdayakan dan meningkatkan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam pelaksanaan pelayanan dan pembinaan.

Pada sub urusan keluarga sejahtera kewenangan yang menjadi urusan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sama sebanyak 2 kewenangan hanya saja memiliki tingkat kewenangan yang berbeda dimana pusat melakukan pengembangan desain program pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan keluarga, provinsi melakukan pengelolaan pelaksanaan desain tersebut dan Kabupaten/Kota melakukan pelaksanaan.
Pada sub urursan standardisasi dan sertifikasi hanya berada di tingkat pusat berupa standardisasi pelayanan KB dan sertifikasi tenaga penyuluh KB.

KEDUDUKAN PROGRAM KB

Dari pembahasan pada pasal per pasal terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini jelas tergambar bahwa program pengendalian penduduk dan keluarga merupakan urusan wajib yang terbagi merata (konkuren) dari tingkat pusat sampai dengan Kabupaten/Kota. Akan tetapi, Undang-Undang ini masih memberi batasan dalam hal kewenangan dari pengelolaan pengendalian penduduk dan keluarga berencana seperti berikut ini 

  1. kewenangan bagi pemerintah pusat namun tidak diserahkan ke pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yaitu standardisasi pelayanan KB dan sertifikasi PLKB/PKB serta pengelolaan dan pengendalian sistem informasi keluarga
  2. kewenangan bagi pemerintah pusat bukan kewenangan bagi pemerintah provinsi namun menjadi kewenangan bagi pemerintah kabupaten/kota yaitu mengenai distribusi alokon dan pelaksanaan pelayanan KB
  3. kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan tingkatan kewenangan yang berbeda seperti a) pemerintah pusat melakukan penyusunan, pemerintah provinsi melakukan pengem bangan dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pelaksanaan, b) pemerintah pusat melakukan penetapan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melakukan pemetaan; c) pemerintah pusat melakukan pengelolaan, pemerintah kabupaten/kota melakukan pendayagunaan.

Dari rincian pelaksanaan urusan pemerintahan ini sudah sangat jelas, Undang-Undang Pemerintahan Daerah memberi garis yang lebih tegas lagi di dalam melaksanakan pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga oleh pemerintah.

STATUS BERDASAR  UU 23 TAHUN 2014

Sudah bisa dipastikan bahwa UU nomor 23 tahun 2014 tidak berbicara mengenai kelembagaan BKKBN melainkan menguraikan tentang urusan pemerintahan dalam pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga. Kelembagaan yang 

Secara kelembagaan pelaksanaan pembangunan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga lebih tepat mengacu pada UU nomor 52 tahun 2009 yang kemudian ditetapkan pula dalam Peraturan Pemerintah nomor 87 tahun 2014 ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal  17 Oktober 2014 atau hanya 2 minggu sesudah UU nomor 23 tahun 2014 diundangkan tanggal 2 Oktober 2014.

UU 23 tahun 2014 menjadi landasan pelaksanaan keuangan yang dikelola oleh pemerintahan dan ini yang menjadi dasar pemikiran untuk menempatkan pengelolaan penyuluh keluarga berencana sebagai urusan pemerintah pusat sehingga pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk memberikan dukungan anggaran bagi pelaksanaan penyuluhan KB di lini lapangan.

Dengan asumsi tersebut maka yang menyangkut sarana dan prasarana bagi penyuluh keluarga berencana  tidak diserahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melainkan menjadi pengelolaan pemerintah pusat yang ditujukan pada pemberian daya dukung yang mengungkit kinerja penyuluh keluarga berencana seperti :

1.    Perubahan terhadap pedoman pembuatan angka kredit
2.    Tim penilaian angka kredit
3.    Penentapan tunjangan kinerja
4.    Pemenuhan sarana dan prasarana penyuluhan.

Undang-Undang 23 tahun 2014 juga tidak mengatur tentang perubahan status kepegawaian para pelaksana urusan pemerintahan melainkan mengatur hal tersebut pada peraturan pemerintah dan peraturan kementerian yang menangani urusan pemerintahan itu sendiri seperti tersebut dalam pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa perubahan terhadap pembagian urusan pemerintah konkuren antara pemerintah pusat da daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Dengan  melihat pada lembaran N dapat diketahui tingkatan penyerahan urusan pemerintah konkuren di bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana. Oleh karenanyaa, perubahan-perubahan yang terjadi akibat diterbitkannya UU 23 tahun 2014 ini masih harus ditindak lanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah.

Terbitnya UU nomor 23 tahun 2014 ini harus diikuti dengan lahirnya Peraturan Pemerintah. Hal ini tercantum dalam pasal 410 dari UU nomor 23 tahun 2014 tersebut. Yang dicabut dari pemberlakuannya akibat diterbitkannya UU 23 tahun 2014 terlihat pada pasal 409. 
Yang menarik adalah pasal 405 dimana serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana serta dokumen sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota di atur berdasarkan Undang-Undang ini diberlakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. 

UU ini dapat dijadikan landasan hukum sektoral yakni yang berlaku hanya di lingkup wilayah sektor tertentu seperti terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang hanya mengikat secara hukum di sektor kementerian dalam negeri.

Sepertinya, hanya ini yang bisa diuraikan dari lahirnya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 bila dikaitkan dengan Pembangunan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga.  Kalaupun ada pemikiran untuk menyerahkan kelembagaan menjadi BKKBD sesuai amanat UU 52 tahun 2009 maka sebaiknya dikaji kembali unsur-unsur terbentuknya negara. 

Berdasarkan konvensi Montevideo tahun 1933 yang  merupakan konvensi hukum internasional bahwa negara harus mempunyai empat unsur konstitutif salah saltunya adalah harus ada penghuni yaitu penduduk. Oleh karena itu sudah seharusnya urusan penduduk menjadi urusan negara dalam hal ini pemerintah dan termasuk urusan absolut karena mempengaruhi dalam pembentukan negara.

Salam KB, 2 anak cukup.

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...