Langsung saja pada pokok pembahasan mengenai nilai biaya untuk pendataan keluarga pada satu provinsi. Bila di sebuah provinsi terdapat 500.000 Kepala Keluarga maka akan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
- Pengambilan data pada keluarga dimana 1 kepala keluarga diberi bantuan mendata sebesar Rp. 3000,- maka akan dibutuhkan dana sebesar Rp. 1.500.000.000,-. Dana satu setengah milyar ini diperuntukkan bagi kader yang menjadi petugas pendata dari rumah ke rumah. Sistem pembayarannya adalah menggunakan claim dimana data yang sudah terkumpul akan diberikan ganti berupa dana sesuai jumlah kepala keluarga yang di data. Dari kegiatan ini maka tidak akan ada peluang untuk melakukan penyimpangan terhadap pelaksanaan pengambilan data dari keluarga-keluarga.
- Penginputan data dimana data 1 keluarga akan diinput ke aplikasi dengan 2 opsi yaitu scanner dan entry. Misalkan pada proses scanner maupun entry dibutuhkan dana sebesar Rp. 1.400,- maka total dana input untuk 500.000 kepala keluarga menjadi sebesar Rp. 700.000.000,- Makna dari nilai tujuh ratus juta rupiah ini akan berbeda analisis dan perlakuannya. Hal ini tergantung pada pemilihan atas opsi yang ditawarkan dari proses input data baik scanner maupun entry data keluarga.
OPSI SCANNER-ENTRY DENGAN SWAKELOLA-ALIH DAYA
Opsi yang diberlakukan untuk proses input adalah swakelola atau alih daya. Pengertian swakelola adalah anggaran yang ada di dalam rencana kerja alokasi kegiatan kementerian dan lembaga dipergunakan sendiri oleh pengguna anggaran dengan pengawasan dilakukan intern pengguna anggaran. Sedangkan alih daya adalah menggunakan sewa tenaga dari pihak ketiga untuk melakukan input data.
Ketika sebuah provinsi memilih input data menggunakan scanner dengan swakelola maka proses input data dengan cara scanner dilakukan dengan menggunakan tenaga dalam pengawasan sendiri. Begitu pula dengan provinsi yang memilih input data menggunakan entry dengan swakelola maka proses input data dengan cara entry ke aplikasi dengan menggunakan tenaga dalam pengawasan sendiri. Dalam hal ini, tenaga yang dipergunakan tentunya tenaga yang terkait dengan pendataan keluarga seperti misalkan kader dari PIK Remaja yang ditunjuk atau petugas lapangan KB atau staff di provinsi yang bersangkutan. Ini tentunya bersifat sama dengan proses pengambilan data oleh kader sehingga bisa menggunakan sistem claim terhadap data yang sudah diinput ke aplikasi.
Akan berbeda dengan entry maupun scanner yang menggunakan opsi alih daya. Pada angka tujuh ratus juta rupiah, karena alih daya adalah menggunakan sewa tenaga dari pihak ketiga. Bahkan ketika dana untuk alih daya ditekan menjadi angka Rp. 700,- per keluarga tetap menggunakan lelang terbuka karena nilai dana yang disiapkan untuk input data untuk 500.000 kepala keluarga menjadi sebesar Rp. 350.000.000,- sedangkan batas minimal pengadaan barang dan jasa dengan penunjukkan langsung atau lelang sederhana maksimal sebesar Rp. 200.000.000,-
PROSES LELANG
Dari penggambaran besarnya nilai untuk pekerjaan input data menggunakan pihak ketiga ini maka berdasar Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Untuk prosedur lelang sudah jelas disebutkan dalam Bab III Pasal 7 ayat 1 yakni adanya organisasi pengadaan barang dan jasa swakelola terdiri dari Kuasa Pengguna Anggara, Pejabat Pembuat Komitmen, ULP atau Pejabat Pengadaan dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan. Yang membedakan dengan pengadaan melalui swakelola adalah pada ULP atau pejabat pengadaan.
Dengan dana melihat pada kelengkapan organisasi pengadaan barang dan jasa juga ketersediaan anggaran pada RKAKL di tingkat Provinsi maka pengadaan barang dan jasa untuk input data bisa dilakukan di tingkat provinsi. Proses lelang tentunya berada di tingkat provinsi dan pihak ketiga yang akan menjadi rekanan tentunya bergantung pada hasil lelang di tingkat provinsi. Namun untuk melaksanakan proses lelang tersebut, provinsi mengalami kendala dikarenakan spesifikasi untuk aplikasi yang dipergunakan tidak diserahkan kewenangannya pada perwakilan pusat di provinsi. Dengan sendirinya, proses lelang tidak akan terlaksana di tingkat provinsi. Atau bahkan kemungkinan besar yang terjadi adalah terpilihnya rekanan dengan spesifikasi aplikasi yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pusat.
Adanya kendala pada spesifikasi aplikasi mengharuskan provinsi mengadakan lelang di tingkat pusat karena pusat memiliki spesifikasi aplikasi tersebut. Bisa dibayangkan, pada proses lelang di tingkat pusat yang diikuti setidaknya 30 provinsi di Indonesia maka membutuhkan kerja keras bagi unit layanan pengadaan di pusat. Dalam proses lelang itu sendiri yang dipakai tentunya sesuai dengan kriteria efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan tidak deskriminatif serta akuntabel. Sehingga sangat besar kemungkinan terpilihnya rekanan yang justru tidak sama antara satu provinsi dengan provinsi lainnya. Dalam hal ini pun mau tidak mau spesifikasi aplikasi harus diberikan kepada rekanan yang akan menyediakan jasa kepada provinsi yang ikut lelang di ULP Pusat.
AZAS PRADUGA KETERLIBATAN
Dari gambaran tersebut sangat jelas yang menjadi praduga kegagalan pelaksanaan pendataan keluarga adalah pada tidak diberikannya spesifikasi aplikasi yang dibutuhkan untuk proses input data guna memudahkan lelang pengadaan jasa scanner ataupun entry data di provinsi. Padahal untuk formulir pengadaan, spesifikasi barang diberikan kepada provinsi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, praduga yang juga perlu dipertimbangkan untuk dikaji lebih jauh adalah keterlibatan dalam penetapan pemenang lelang yang harus seragam, menunjuk pada satu badan usaha yang sudah memegang spesifikasi atas aplikasi yang akan dipergunakan oleh pusat.
Agar bisa menyeragamkan pemenang lelang pada satu badan usaha mikro saja maka para pihak pelaksana pengadaan barang dan jasa pada ULP yang ditunjuk oleh provinsi-provinsi tersebut adalah dengan mengabaikan etika yang tercantum dalam pasal 6 huruf a sampai dengan h pada Perpres 54 tahun 2010 sehingga akan menghasilkan satu rekanan yang akan mengerjakan proses input data di 30 provinsi yang ikut lelang melalui unit layanan pengadaan di pusat tersebut.
Bila dikaitkan dengan pasal 1 ayat 1 pada UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan ayat 2 yaitu praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum maka unsur-unsur tersebut bisa diduga ada dalam penyediaan jasa input data dengan alih daya dimaksud.
Bahkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih memfokuskan pada perilaku pegawai negeri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Pasal-pasal yang tertuang dalam UU nomor 31 tahun 1999 berkaitan erat dengan pasal-pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
AZAS DEKONSENTRASI
Memperhatikan pada UU nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan PP 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Sistem Informasi Keluarga dimana pembahasan mengenai pendataan keluarga lebih fokus sejak dari perencanaan hingga penerima manfaat dari hasil pendataan itu sendiri yakni pemerintah dan pemerintah daerah.
Pada tataran ini, ada baiknya mempertimbangkan peng-aplikasi-an azas dekonsentrasi dalam hal pelaksanaan pendataan keluarga tahun 2015 yaitu dengan memberdayakan perwakilan yang ada di provinsi. Hal ini tidak harus dengan memberikan spesifikasi aplikasi pendataan keluarga secara menyeluruh karena dalam bagian lampiran huruf N menempatkan sistem informasi keluarga menjadi kewenangan pusat. Pelaksanaan azas dekonsentrasi dalam pendataan keluarga dapat dilakukan dengan memberikan spesifikasi output dari proses input data baik menggunakan scanner maupun entry kepada seluruh perwakilan provinsi. Hal ini akan lebih memudahkan provinsi untuk melakukan lelang dan mendapatkan rekanan sesuai prosedur pengadaan barang dan jasa.
Dengan menerapkan azas dekonsentrasi ini bukan hanya pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang diselamatkan melainkan juga organisasi pelaksana pengadaan barang dan jasa seperti Kuasa Pengguna Anggaran, PPK, ULP dan pejabat atau panitia penerima barang dan jasa.
Demikian sumbangsih saya yang kedua tentang PK 2015. Semoga bermanfaat.
Salam KB 2 Anak Cukup !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Email