KB UNTUK SIAPA
?
Berdasar
Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana (BKKBN) menyebutkan bahwa program Keluarga Berencana dilaksanakan
dalam rangka mengendalikan kuantitas, peningkatan kualitas dan mobilitas
penduduk. Penempatan nomenklatur Kependudukan dimaksudkan bahwa pengendalian
kuantitas penduduk dilakukan melalui pelayanan alat kontrasepsi, peningkatan
kualitas penduduk melalui pembinaan keluarga sesuai dengan siklus usia seperti
BKB bagi keluarga yang punya Balita, BKR bagi keluarga yang punya remaja dan
persiapan berkeluarga bagi remaja, BKL bagi keluarga yang punya lansia dan
persiapan lansia peduli, UPPKS bagi PUS yang memiliki kegiatan usaha. Pembinaan
keluarga ini pada akhirnya juga mengarah pada kesertaan ber-KB bagi keluarga
yang menjadi anggota kelompok kegiatan.
Idealnya
menurut UU No. 52 tahun 2009, program KB diperuntukkan bagi semua keluarga
Indonesia dari segala lapisan. Namun sesuai kebijakan yang telah ditetapkan,
implementasi program KB lebih di arahkan pada keluarga Pra Sejahtera I dan
Keluarga Sejahtera I. Hal ini memberikan gambaran bahwa program KB lebih
terfokus pada Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Bahkan secara
geografis program KB ini lebih diarahkan pada wilayah tertinggal, terpencil dan
perbatasan.
Dengan
kondisi tersebut maka bisa diambil kesimpulan bahwa program KB hanya diperuntukkan
bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera I yang berada di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan.
Melihat pada hal tersebut, ada pernyataan yang cukup menggelitik yaitu bahwa program
KB tidak diperuntukkan bagi keluarga mampu.
HAK
AZASI MANUSIA
Memiliki
anak adalah hak azasi setiap pasangan usia subur. Akan tetapi, hak pasangan
usia subur ini juga dihadapkan pada hak azasi perempuan untuk mendapatkan
informasi dan pelayanan di bidang kesehatan reproduksi. Oleh karenanya,
kesehatan reproduksi bagi perempuan diupayakan menjadi dasar bagi PUS saat
membuat kesepakatan mengenai jumlah anak diinginkan. Dalam konteks kesehatan
reproduksi bagi perempuan maka jumlah kelahiran sehat adalah saat perempuan
berusia dia atas 20 tahun dan di bawah 35 tahun sedangkan jarak kehamilan satu
dengan yang lain minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun. Dengan demikian, idelanya
setiap Pasangan Usia Subur hanya akan memiliki 2 sampai dengan 3 orang anak.
Berdasar
kesehatan reproduksi ini jelas bahwa sebenarnya program KB dalam hal pengaturan
jumlah penduduk bukan hanya diperuntukkan bagi keluarga pra sejahtera dan KS I
di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan melainkan untuk semua lapisan.
Hal
lain harus dipertimbangkan adalah kemampuan sarana dan prasarana sosial yang
mampu disediakan pemerintah sangat terbatas. Keterbatasan sarana dan prasarana
sosial ini mengharuskan setiap keluarga untuk memperhatikan hak azasi manusia
satu sama lain.
Logika
berpikir yang bisa dipergunakan adalah bahwa ketika sebuah keluarga mampu
memiliki 4 (empat) orang anak maka dengan kemampuan finansial akan memungkinkan
anak-anak tersebut mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini
tentunya menggeser anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan
fasilitas sarana dan prasarana pendidikan sehingga walaupun keluarga tidak
mampu hanya memiliki 2 (dua) orang anak tetap tidak akan bisa mendapat
fasilitas pendidikan karena dikalahkan secara finansial oleh keluarga mampu.
Dengan
logika berpikir semacam ini maka jelas bahwa toleransi keluarga mampu terhadap
keluarga tidak mampu ( baca : pra sejahtera dan keluarga sejahtera I ) adalah
dengan memberikan hak azasi anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan
sarana dan prasarana pendidikan. Ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah
anak dari keluarga mampu secara ideal dan tepat.
Dari
keseluruhan uraian ini menjawab pernyataan bahwa program Keluarga Berencana
tidak diperuntukkan bagi keluarga mampu dapat dibantah.
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman di lapangan dalam menggarap program KB di wilayahnya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Email