Keputusan Remunerasi
Remunerasi atau Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2008 yakni dengan terbitnya Perpres No 19 tahun 2008 dan Surat Keputusan: 70/KMA/SK/V/2008 pada
bulan Mei 2008 MA mulai membayar tunjangan khusus kinerja Hakim dan PNS
di lingkungan MA. Dan Perpres tersebut berlaku surut mulai September
2007. Setelah itu diikuti dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2009 tentang tunjangan
kinerja pegawai negeri sipil atau PNS di lingkungan Sekretariat Negara
dan Sekretariat Kabinet. Selanjutnya terbit Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden di tahun 2010 yang terkait dengan Remunerasi yaitu
- Nomor 69 untuk Kemenko Perekonomian
- Nomor 70 untuk Kemenko Polhukam
- Nomor 71 untuk Kemenko Kesra
- Nomor 72 untuk TNI
- Nomor 73 untuk POLRI
- Nomor 75 untuk Kemen PAN
- Nomor 76 untuk Bappenas
- Nomor 77 untuk BPKP
Sedangkan selama tahun 2011 sudah diterbitkan Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden untuk Kemenkumham dan Kejaksaan. Terakhir, pada tahun 2012 Presiden sudah menanda tangani 20 Keputusan Presiden untuk remunerasi di 20 Kementerian dan Lembaga Negara. Salah satu lembaga non kementerian yang mendapat remunerasi adalah BKKBN dengan nomor Keputusan Presiden Nomor 115 tahun 2012 yang ditanda tangani tanggal 17 Nopember 2012.
Tolok Ukur Remunerasi
Pemberian remunerasi di Kementerian dan Lembaga Negara Non Kementerian di dasarkan pada :
- Keberhasilan Kementerian dan Lembaga Negara Non Kementerian itu dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan sesuai laporan dalam Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
- Keberhasilan dalam pengelolaan anggaran yang ditunjukan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian(WTP).
Berdasar pada ketentuan tersebut maka sudah sangat wajar apabila pembayaran remunerasi terhadap pegawai di lingkungan yang menerima remunerasi ini juga harus punya dasar yang terkait dengan pengelolaan dan kinerja di bidang tugasnya. Pembayaran remunerasi di BKKBN adalah mengacu pada UU no 53 tahun 2010 mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil dengan ketentuan :
- 20% dilihat dari kehadiran berdasarkan absensi menggunakan handkey. Point ini harus menjadi perhatian khusus sebab diantara sekian banyak pegawai ada yang mampu memenuhi target kehadiran 100% akan tetapi hanya berdasar absensi , dilihat sedangkan berdasarkan kehadiran sesungguhnya bisa jadi di bawah 50%.
- 20%penerapan budaya CUK. Budaya kerja Cerdas Ulet dan Kemitraan sebenarnya bukanlah budaya kerja yang baru di lingkungan BKKBN. Pada pertengahan tahun 90-an, budaya CUK lebih ditekankan pada cara kerja kader di lini lapangan agar program KB yang dilakukan oleh para kader ini diterima oleh berbagai kalangan. Budaya yang diperuntukkan bagi kader ini tidak memiliki indikator sebagaimana budaya CUK yang saat ini diangkat sebagai indikator penilaian dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di BKKBN.
- 60% dilihat dari kinerja. Kinerja memiliki persentasi terbesar dan sangat menentukan dalam pemberian remunerasi. Ini merupakan antisipasi terhadap pegawai yang datang ke kantor hanya untuk melakukan absensi sebab kontroling kinerja dilakukan secara berjenjang dari eselon 4 sampai dengan Kepala.
Hal yang cukup menggelitik adalah ketika ada pertanyaan, bagaimana cara mengukur kinerja staf atau bawahan ?
Penerapan Budaya CUK dalam Kinerja
Peraturan Kepala BKKBN nomor 78 tahun 2012 tentang Uraian Pekerjaan menyebutkan Tugas Pokok dan Tugas Tambahan dari pejabat eselon III dan eselon IV yang dibagi atas :
- Aktifitas yang meliputi kegiatan dari penyiapan, pembinaan, fasilitasi dan monitoring dari sebuah kegiatan.
- Peranan yakni dapat melakukan apa yang menjadi tugasnya sesuai dengan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen.
- Kewenangan yakni terkait dengan batasan tugas pokok dalam unit kerja dalam rangkaian sinkronisasi kegiatan.
- Indikator Prestasi yaitu terpenuhi apa yang menjadi kewenangan, peranan dalam pelaksanaan aktifitas kegiatan.
Berdasar uraian pekerjaan di dalam Peraturan Kepala tersebut sebenarnya tidak ada kendala bagi atasan dalam melakukan monitoring terhadap kinerja bawahan sehingga remunerasi yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Namun demikian, pelaksanaan monitoring terhadap bawahan tidak bisa dilakukan begitu saja melainkan perlu alat ukur yang lebih valid lagi.
Terkait dengan alat ukur maka budaya CUK yang sudah disosialisasikan bisa dijadikan alat ukur monitoring staf. Budaya CUK yang dikembangkan memiliki 42 indikator dan ini merupakan tehnik penilaian kinerja pegawai, pengganti DP-3. Kegiatan penilaian dengan menggunakan budaya CUK sudah menggunakan perkembangan Informasi dan Tehnologi sehingga bisa diakses sampai ke Pusat. Hal tersebut merupakan point penting yang bisa dipergunakan sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja bawahan sehari-harinya.
Seperti diketahui bersama bahwa dalam menetapkan sebuah indikator, penggunaan skala likert dengan interval 1 sampai dengan 5 akan lebih mudah. Indikator di dalam budaya CUK dalam aplikasi MRF yang sudah diterapkan BKKBN sepertinya tidak terlepas dari penggunaan skala Likert ini. Oleh karenanya, disaat sebuah indikator prestasi akan diukur pada hari H dapat dilakukan dengan menetapkan skala likert dari masing-masing aktifitas dan peranan yang dilakukan oleh bawahan.
Berdasar keseluruhan pemikiran saya ini sebenarnya tinggal para pemegang kewenangan yang memberikan tugas pokok dan tugas tambahan kepada staf dengan mengacu pada Peraturan Kepala BKKBN Pusat Nomor 78 tahun 2012 menerapkan skala dalam penetapan nilai indikator budaya Cerdas, Ulet dan Kemitraan. Dengan demikian, tidak ada lagi pemikiran agar remunerasi ditetapkan berdasar golongan kepangkatan dengan alasan tidak ada indikator kinerja yang jelas untuk staf.
Semoga bermanfaat.