SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Rabu, 26 Desember 2012

MENILAI KINERJA STAFF

Remunerasi yang dicairkan disetiap lembaga pemerintahan menyisakan satu permasalahan yang tidak ringan sebab indikator kinerja PNS yang mendapatkan remunerasi harus benar-benar jelas dan bisa diukur. Dari Peraturan Presiden yang memberikan tunjangan kinerja bagi PNS di beberapa Departemen atau Lembaga Pemerintahan tidak dapat memberikan indikator kinerja yang bisa diukur sehingga remunerasi hanya diukur dari golongan kepangkatan dan kehadiran. Ini memberikan gambaran betapa sulitnya mempertahankan penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya, BKKBN yang mendapat remunerasi pada akhir tahun 2012 harus mewaspadai hal tersebut dengan menetapkan indikator kinerja yang benar-benar bisa diukur.

Mengacu pada Pedoman Penilaian Indikator Kinerja yang ada di lingkungan Pemerintah Daerah (Departemen Dalam Negeri), indikator kinerja meliputi beberapa aspek dan pengukuran sebagai berikut :

1. Aspek Produktifitas Kerja yang diukur adalah aktifitas dalam bekerja dengan pengukuran 
Skor 1 bila pelaksanaan tugas telah mencapai 25 %
Skor 2 bila pelaksanaan tugas telah mencapai 26 - 49 %
Skor 3 bila pelaksanaan tugas telah mencapai 50 - 79 %
Skor 4 bila pelaksanaan tugas telah mencapai 80 - 100 %

2. Aspek  Prilaku Kerja yang diukur adalah
    a. Disiplin dengan rincian kegiatan :
        1) Apel kerja yang dibuktikan dengan absensi manual dengan pengukuran
Skor 0 bila tidak mengikuti apel pagi akumulasi 8 kali atau lebih dalam satu (1) bulan
Skor 1 bila tidak mengikuti apel pagi akumulasi 6 s.d. 7 kali dalam satu (1) bulan
Skor 2 bila tidak mengikuti apel pagi akumulasi 4 s.d. 5 kali dalam satu (1) bulan
Skor 3 bila tidak mengikuti apel pagi akumulasi 2 - 3 kali dalam satu (1) bulan
Skor 4 bila tidak mengikuti apel pagi 0 kali dalam satu (1) bulan

        2) Menggunakan atribut pakaian dinas dengan pengukuran
Skor 1 bila tidak menggunakan atribut pakaian dinas akumulasi 6 hari atau lebih dalam 1 bulan
Skor 2 bila tidak menggunakan atribut pakaian dinas akumulasi 4 s.d. 5 hari  dalam 1 bulan
Skor 3 bila tidak menggunakan atribut pakaian dinas akumulasi 1 s.d. 3 hari  dalam 1 bulan
Skor 4 Sehari - hari menggunakan atribut lengkap pada pakaian dinas  

        3) Masuk jam kerja tepat waktu dibuktikan dari absensi handkey dengan pengukuran
Skor 0 bila keterlambatan masuk kerja akumulasi 8 kali atau lebih dalam 1 (satu) bulan
Skor 1 bila keterlambatan masuk kerja akumulasi 6 s.d 7 kali dalam 1 (satu) bulan
Skor 2 bila keterlambatan masuk kerja akumulasi 4 s.d 5 kali dalam 1 (satu) bulan
Skor 3 bila keterlambatan masuk kerja akumulasi 2 - 3 kali dalam 1 (satu) bulan
Skor 4 bila keterlambatan masuk kerja 0 kali dalam 1 (satu) bulan

        4) Pulang jam kerja tepat waktu dibuktikan dari absensi handkey dengan pengukuran
Skor 0 bila keterlambatan pulang kerja akumulasi 8 kali atau lebih dalam 1 (satu) bulan
Skor 1 bila keterlambatan pulang kerja akumulasi 6 s.d 7 kali dalam 1 (satu) bulan
Skor 2 bila keterlambatan pulang kerja akumulasi 4 s.d 5 kali dalam 1 (satu) bulan
Skor 3 bila keterlambatan pulang kerja akumulasi 2 - 3 kali dalam 1 (satu) bulan
Skor 4 bila keterlambatan pulang kerja 0 kali dalam 1 (satu) bulan

       5) Tingkat kehadiran yang dibuktikan dengan absensi manual pada atasan langsung dengan pengukuran
Skor 1 bila bekerja selama kurang dari  4,4 jam/hari atau + 22 jam/minggu atau kurang 98 jam/bulan
Skor 2 bila bekerja selama 4,5 jam - 5,4 jam/hari atau 22,5 - 27  jam/minggu atau 99 - 120 jam/bulan
Skor 3 bila bekerja selama 5,5 jam - 7,4 jam/hari atau 27,5 - 37  jam/minggu atau 121 - 164 jam/bulan
Skor 4 bila bekerja lebih dari 7,5 /hari atau lebih dari 37,5 jam/minggu atau lebih dari 165 jam/bulan

       6) Penjatuhan hukuman disiplin dengan pengukuran
Skor 0 bila pernah dijatuhi hukuman disiplin berat
Skor 1 bila pernah dijatuhi hukuman disiplin sedang
Skor 2 bila pernah dijatuhi hukuman disiplin ringan lebih dari 1 kali
Skor 3 bila pernah dijatuhi hukuman disiplin ringan 1 kali
Skor 4 bila Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin

   b.  Sikap Kerja dengan rincian kegiatan
       1) Integritas dengan pengukuran
Skor 1 bila ketaatan pada peraturan untuk memenuhi tuntutan organisasi terlihat rendah
Skor 2 bila ketaatan pada peraturan untuk memenuhi tuntutan organisasi terlihat sedang
Skor 3 bila ketaatan pada peraturan untuk memenuhi tuntutan organisasi terlihat tinggi
Skor 4 bila ketaatan pada peraturan untuk memenuhi tuntutan organisasi terlihat sangat tinggi

       2) Loyalitas dengan pengukuran
Skor 0 bila menghindari perintah/kebijakan Pimpinan tanpa alasan
Skor 1 bila menghindari perintah/kebijakan Pimpinan tetapi memberikan alasan 
Skor 2 menjalankan perintah atasan tanpa melakukan analisa normatif  
Skor 3 menjalankan perintah atasan dan telah melakukan analisa normatif  
Skor 4 menjalankan perintah atasan dan secara aktif memberikan masukan atas kebijakan tersebut
       3) Kerjasaman dengan pengukuran
Skor 1 bila suka bekerja sendiri
Skor 2 bila bekerja cenderung mendominasi kelompok
Skor 3 masih mampu menjalin kerjasama dengan tim namun masih memilih-milih tim kerja
Skor 4 mampu berbagi pekerjaan dalam kelompok kerja
      4) Inisiatif dengan pengukuran
Skor 1 bila kadang masih membutuhkan pengawasan dalam mengerjakan pekerjaan
Skor 2 bila tidak menyerah jika rencananya menemui hambatan, berusaha menciptakan jalan alternatif
Skor 3 bila cepat dalam mengambil keputusan dalam mengantisipasi krisis yang muncul
Skor 4 bila secara aktif melakukan tindakan antisipatif atau menciptakan peluang dalam pekerjaan

      5) Tanggungjawab dengan pengukuran
Skor 1 bila lebih sering mengerjakan pekerjaan pribadi dari pada yang menjadi tupoksinya
Skor 2 bila sering menunda-nunda pekerjaan sehingga tidak tepat waktu
Skor 3 bila cenderung ingin menyelesaikan pekerjaan meskipun harus lembur sekalipun,
Skor 4 bila menjalankan pekerjaan secara sistematis sehingga setiap pekerjaannya selalu tepat waktu
      6) Orientasi pada pelayanan dengan pengukuran
Skor 1 bila terlihat kurang ramah dan kurang bergairah dalam memberikan pelayanan
Skor 2 bila keramahan dan cepat tanggap dalam memberikan pelayanan namun pada orang tertentu saja
Skor 3 bila ramah namun kurang cepat tanggap dalam memberikan pelayanan 
Skor 4 bila ramah dan cepat tanggap dalam memberikan pelayanan
Aspek-aspek tersebut di atas dapat diberlakukan untuk semua pegawai negeri sipil. Dengan melihat pada aspek-aspek yang sudah disebutkan maka setiap atasan langsung mempunyai dasar hukum untuk memberikan penilaian kinerja bagi stafnya masing-masing.

Pembuatan daftar penilaian dapat menggunakan aplikasi dalam komputer yang bisa menghubungkan satu file dengan file lainnya.

Adapun penilaian kinerja untuk yang menduduki jabatan dapat dilakukan dengan menambah aspek kepemimpinan.

   c. Aspek Kepemimpinan dengan rincian kegiatan
       
      1) Conceptual Skill dengan pengukuran
Skor 1 bila kemampuan menyusun perencanaan kerja rendah
Skor 2 bila kemampuan menyusun perencanaan kerja cukup
Skor 3 bila kemampuan menyusun perencanaan kerja tinggi
Skor 4 bila kemampuan menyusun perencanaan kerja sangat tinggi
      2) Delegating
Skor 1 bila pendelegasian tugas tidak proporsional/kurang merata kepada seluruh bawahan
Skor 2 bila pendelegasian tugas diberikan hanya kepada bawahan tertentu saja
Skor 3 bila ada pendelegasian tugas namun masih terlalu mengintervensi
Skor 4 bila pendelegasian tugas sesuai dengan deskripsi tugas
      3) Decission Making
Skor 1 bila kemampuan pengambilan keputusannya rendah/lambat
Skor 2 bila ragu dalam mengambil keputusan, sering lambat, atau menunggu hasil konsultasi dengan atasan
Skor 3 bila cepat tanggap dalam mengambil keputusan namun kadang kurang akurat
Skor 4 bila cepat tanggap dan tepat dalam mengambil keputusan
     4) Communication
Skor 1 bila kurang mampu menyampaikan komunikasi kepada bawahan/pelanggan
Skor 2 bila cukup mampu menyampaikan komunikasi kepada bawahan/pelanggan
Skor 3 bila mampu menyampaikan komunikasi kepada bawahan/pelanggan
Skor 4 bila kemampuan komunikasi verbalnya sangat cakap
     5) Coordinating
Skor 1 bila kemampuan koordinasinya rendah
Skor 2 bila kemampuan koordinasinya cukup/sedang
Skor 3 bila kemampuan koordinasinya tinggi
Skor 4 bila kemampuan koordinasinya sangat tinggi

     6) Controling and Evaluating
Skor 1 bila jarang melakukan kontrol dan evaluasi terhadap kinerja bawahan
Skor 2 bila Monitoring dan evaluasi dilakukan setelah ada perintah atasan
Skor 3 melakukan kontrol dan evaluasi pekerjaan bawahan namun tidak ada laporan tertulis
Skor 4 bila melakukan kontrol dan evaluasi atas pekerjaan bawahan dan ada laporan tertulis.

Sedangkan di dalam aplikasi Multi Reform Feedback mengenai perilaku budaya CUK, indikator kinerja telah ditetapkan sebagai berikut :
a. Budaya Cerdas
No
Pernyataan
1
2
3
4
TIDAK PERNAH
JARANG
SERING
SELALU
1.
Melakukan pekerjaan sebatas arahan pimpinan.




2.
Melakukan pekerjaan dengan cara-cara yang sudah biasa dilakukan (business usual).




3.
Memahami kaitan antara pekerjaan sehari-hari dengan sasaran unit kerja.




4.
memberi  ide-ide yang bermanfaat dalam penyelesaian pekerjaan sehari-hari




5.
Membuat rencana pekerjaan pribadi dengan memperhatikan prioritas/kepentingan




6
Menetapkan rencana pribadi yang menunjang sasaran pencapaian kinerja unit kerja




7
berinisiatif dalam memperbaiki proses kerja di unitnya




8
bekerja secara sistematis dan terorganisir untuk mencapai tujuan kerja di unitnya




9
Mampu untuk manganalisa data dan mencari alternative solusi terhadap permasalahan di unit kerja




10
mampu memahami hubungan antara aktivitas kerja saat ini dengan tujuan jangka panjang di unit kerjanya




11
memahami keterkaitan antara aktivitas kerja di unitnya dengan aktivitas kerja di  unit lain




12
mampu mengimplementasikan gagasan yang disampaikannya




13
mampu mengantisipasi masalah yang akan muncul di lingkungan organisasi yang terkait dengan unit kerjanya




14
Mampu bertindak inovatif yang berdampak terhadap keberhasilan pencapaian misi dan visi organisasi






b. Budaya Ulet
No
Pernyataan
1
2
3
4
TIDAK PERNAH
JARANG
SERING
SELALU
1.
Hadir tepat waktu sesuai ketentuan hari dan jam kerja




2.
Bersedia untuk mengerjakan pekerjaan diluar jam kerja, dengan tetap memperhatikan aturan jam kerja kantor




3.
Menunjukkan sikap positif dalam bekerja dalam setiap situasi




4.
Gigih, tangguh dalam menyelesaikan tugas, cepat bangkit dari kegagalan




5.
Memiliki semangat dalam memperbaiki kesalahan




6.
Mampu bekerja dalam tekanan, tetap focus menyelesaikan pekerjaan




7.
Menyelesaikan tugas tepat waktu sesuai dengan target




8.
Bekerja sesuai dengan SOP




9.
Memberikan pelayanan kepada stakeholder sesuai target yang telah disepakati




10
Memberikan pelayanan melampaui harapan stakeholder





c. Perilaku Kemitraan
No
Pernyataan
1
2
3
4
TIDAK PERNAH
JARANG
SERING
SELALU
1.
Menjadi anggota kelompok secara pasif




2.
Bekerjasama karena perintah atasan




3.
Aktif memberikan ide untuk menyelesaikan tugas kelompok




4.
Mampu berbagi informasi terkini kepada tim kerja




5.
Terlibat dan mau melibatkan orang lain dalam menyelesaikan tugas




6.
Menciptakan suasana kerja yang kondusif dalam tim




7
Memiliki komitment yang tinggi dalam menyelesaikan tugas kelompok




8
Bersedia menggantikan tugas rekan kerja jika yang bersangkutan berhalangan




9
Bersedia mengikuti prosedur kerja yang telah disepakati oleh tim




10
Memotivasi dan mendukung mitra kerja




11
Mampu menghargai pendapat orang lain




12
Menjalin dan memelihara kualitas hubungan dengan jejaring/mitra kerja




13
Ikut bertanggung jawab atas kegagalan pencapaian tugas kelompok




14
Mampu memahami dan memenuhi kebutuhan dari mitra kerja




15
Mampu meningkatkan jejaring/mitra kerja baik jumlah maupun kualitasnya




16
Memanfaatkan jejaring untuk keberhasilan program sesuai dengan misi dan visi organisasi






Dengan mengamati apa yang menjadi acuan bagi Kementerian Dalam Negeri pada penetapan indikator kinerja kemudian dipadukan dengan uraian kerja masing-masing pejabat maka tidak akan ada permasalahan di tahun 2013 saat remunerasi benar-benar diterapkan berdasar indikator kinerja. 

Sayangnya, banyak pegawai yang merasa nyaman berada di kotak yang dipandangnya aman padahal perubahan lingkungan akan kian membuatnya tersudut dan bahkan binasa. Jalan keluarnya adalah perbaikan kompetensi oleh organisasi dimana pegawai itu bertugas dan lebih utama oleh dirinya sendiri.

Tulisan ini hanya sumbangsih pemikiran agar setiap atasan langsung memiliki landasan yang kuat dalam menilai kinerja staf-nya dan bukan didasar atas kepentingan yang bersifat sangat pribadi.

Semoga bermanfaat.

Senin, 24 Desember 2012

JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KB DALAM NEW INISIATIF

Teori Kependudukan

Thomas Robert Maltus (1798) seorang ahli di bidang ekonomi yang juga seorang pendeta terkenal di Inggris berpandangan bahwa penduduk memiliki kemampuan luar biasa untuk berkembang. Jika pertumbuhan penduduk tersebut tidak dikendalikan maka akan mengikut deret pola ukur, sedangkan pertumbuhan ekonomi dan pangan akan mengikuti deret hitung. Oleh karenanya Maltus berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk harus dikendalikan dan dia menyebutkan ada 2 cara pengendaliannya, yaitu :
  1. Positive Check :  yaitu cara pengendalian yang tidak moralis dan tidak dapat dikontrol seperti perang, wabah, atau perlakuan manusia lainnya yang tidak berperikemanusiaan.  
  2. Preventive Check : yaitu dengan pengekangan moral dalam membatasi kelahiran (birth control ). dan untuk ini cara yang dianjurkan adalah dengan menunda atau pendewasaan perkawinan (PUP)

John Stuart Mill ( ahli filsafat dan ekonom Inggris ) menerima pendapat Malthus dengan mengasumsikan bahwa :
  • Laju pertumbuhan penduduk melampaui makanan 
  • Manusia dapat mempengaruhi perilaku demografinya 
  • Manusia dengan produktifitas tinggi, cenderung ingin keluarga kecil 
  • Kekurangan pangan dapat diatasi dengan migrasi dan impor
Landasan teori tersebut menjadi acuan Pemerintah Indonesia dalam menetapkan kebijakan pembangunan  dengan menempatkan pengendalian penduduk melalui program Keluarga Berencana. Program ini memiliki ttujuan umum adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan lain meliputi pengaturan kelahiran, pendewasaan usia perkawinan, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. 
Dapat disimpulkan bahwa tujuan program KB adalah: 
  • Memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa; 
  • Mengurangi angka kelahiran untuk menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa; 
  • Memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB dan KR yang berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. 
Sejarah BKKBN

  1. Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dibentuk dengan tugas mencakup dua hal, yakni melembagakan KB dan mengelola segala jenis bantuan untuk KB. Setahun LKBN berdiri, proses pengenalan KB kepada masyarakat berlangsung memuaskan dan tidak menghadapi tantangan yang berarti, sehingga pemerintah memutuskan mengambil alih menjadi program pemerintah dan menetapkan program KB nasional merupakan bagian integral dari program pembangunan nasional dan masuk dalam program pembangunan lima tahunan.
  2. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 8 Tahun 1970 didirikan untuk melaksanakan dan mengelola program KB nasional dimaksud, pemerintah membentuk BKKBN dengan pertimbangan bahwa program perlu ditingkatkan dengan cara lebih memanfaatkan dan memperluas kemampuan fasilitas dan sumber yang tersedia. Pelaksanaan program perlu mengikutsertakan seluruh masyarakat dan pemerintah secara maksimal serta diselenggarakan secara teratur, terencana dan terarah demi terwujudnya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan tugasnya, BKKBN bertanggung jawab kepada presiden, yang sehari-hari didampingi oleh Musyawarah Pertimbangan KB Nasional.Berdasarkan Keppres Nomor 8 Tahun 1970, wilayah program meliputi enam provinsi di Jawa Bali yakni : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali.
  3. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1972  menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung di bawah presiden dengan fungsi membantu presiden dalam menetapkan kebijaksanaan pemerintah di bidang program KB nasional dan mengkoordinasikan pelaksanaan program KB nasional.Penanggung jawab umum penyelenggaraan program KB nasional berada di tangan presiden, sedangkan Ketua BKKBN bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dalam Keppres ini, wilayah program diperluas dengan sepuluh provinsi di luar Jawa Bali I yakni : DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat. Disamping itu, Keppres ini menyatakan bahwa Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II adalah Penanggung Jawab Umum penyelenggaraan program KB nasional di daerahnya masing-masing.
  4. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 38 Tahun 1978 dengan tugas utama untuk dapat melaksanakan pokok-pokok kebijaksanaan program KB nasional dan program kependudukan seperti tercantum dalam GBHN 1978 maka perlu penyesuaian dan peningkatan organisasi BKKBN dan wilayah program KB diperluas lagi ke sebelas provinsi lainnya di Luar Jawa Bali II, yakni : Riau, Jambi, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya, Timor Timur.
  5. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 64 Tahun 1983 dengan melihat pada GBHN 1983 dirumuskan bahwa program KB nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera, dengan cara mengendalikan kelahiran untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia. Untuk itu dilakukan penyempurnaan organisasi BKKBN yang dilandasi pertimbangan bahwa penyelenggaraan program KB nasional sebagai bagian integral pembangunan nasional oleh karenanya perlu ditingkatkan dengan jalan lebih memanfaatkan dan memperluas kemampuan fasilitas dan sumber daya yang tersedia dan untuk lebih menjamin tingkat kesejahteraan rakyat yang memadai, dengan mempercepat penurunan kelahiran. 
  6. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun 1993 dilandaskan pada pertimbangan bahwa untuk mempercepat terwujudnya keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera perlu lebih meningkatkan peran serta semua pihak, pemerintah dan masyarakat secara terkoordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam pelaksanaan gerakan KB nasional dan pembangunan keluarga sejahtera.
  7. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 20 Tahun 2000 penyempurnaan kembali organisasi BKKBN dilandaskan pada pertimbangan bahwa program KB harus seiring dengan perkembangan program KB, pembangunan nasional, era reformasi dan globalisasi. Dasar Pertimbangan keluarnya Keppres ini adalah untuk mempercepat terwujudnya keluarga berkualitas, maju, mandiri dan sejahtera, dipandang perlu untuk meningkatkan peran serta semua pihak secara terkoordinasi, terintegrasi dan tersinkronisasi dalam program KB nasional dan pembangunan KS serta pemberdayaan perempuan. Status BKKBN dalam Keppres ini merupakan lembaga pemerintah non departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden dan dipimpin oleh seorang kepala yang dijabat oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
  8. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 166 Tahun 2000 dengan mempertimbangkan tuntutan reformasi dalam bidang pemerintahan, dikeluarkan Keppres RI Nomor 166 Tahun 2000 yang diperbaharui dengan Keppres RI Nomor 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen yang di dalamnya termasuk BKKBN.Dalam Keppres ini BKKBN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang KB dan KS sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.BKKBN sebagai lembaga pemerintah non departemen berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, dan dipimpin oleh seorang kepala yang dijabat dan dikoordinasikan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
  9. BKKBN Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 103 Tahun 2001 yang diikuti dengan Keputusan Presiden RI Nomor 110 Tahun 2001. Dalam Keppres ini dikukuhkan kembali bahwa BKKBN tetap mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang keluarga berencana dan keluarga sejahtera sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BKKBN sebagai lembaga non departemen dipimpin oleh seorang kepala dan berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui koordinasi Menteri Kesehatan RI. Berdasarkan Keppres ini, maka sebagian kewenangan BKKBN telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Demikian pula kelembagaan BKKBN kabupaten/kota telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota per-Januari 2004. Dengan diserahkannya kelembagaan ini, maka lembaga yang menangani program KB di kabupaten/kota bentuknya bervariasi, ada yang berbentuk dinas/badan merger, ada yang berbentuk kantor KB.
Sejarah panjang program KB yang berakhir dengan diserahkannya sebagian kewenangan BKKBN kepada pemerintah daerah sangat berpengaruh besar terhadap Petugas Lapangan KB yang merupakan bagian dari kewenangan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Keberhasilan program KB di skala Nasional tidak terjadi dengan sendirinya melainkan ada peran penting dari Petugas Lapangan KB yang menjadi ujung tombak pelaksanaan program di lini lapangan. Adanya perubahan BKKBN berdasar Keppres nomor 103 Tahun 2011 yang menjadi landasan hukum penyerahan kewenangan BKKBN ke Pemerintah Daerah, diikuti dengan terbitnya surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI nomor KEP/120/M.PAN/9/2004 tanggal 2 September 2004 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Keluarga Berencana dan Angka Kredit-nya. Tugas pokok dan fungsi Petugas Lapangan Keluarga Berencana walaupun sudah menjadi pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah mengacu pada SK Kepmenpan tahun 2004 ini.

Namun terbitnya UU Nomor 52 tahun 2009 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 yang mengubah nomeklatur BKKBN dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menjadi landasan fundamental perlunya dilakukan penyempurnaan Surat Keputusan Menpan nomor KEP/120/M.PAN/9/2004 tersebut. Bukan hanya nomenklatur yang berubah melainkan beberapa tugas pokok dan fungsi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana mengalami penyempurnaan sehingga hal ini juga mengharuskan adanya perubahan tugas pokok dan fungsi petugas lapangan KB di Indonesia. Payung hukum kinerja petugas lapangan KB adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Berdasar pada pemikiran tersebut, jabatan fungsional KB dapat dirumuskan ke dalam ketentuan-ketentuan baru yang sejalan dengan perubahan lingkungan internal dan eksternal program KB. Berikut beberapa pemikiran saya mengenai tugas pokok dan fungsi PKB/PLKB yang seharusnya mendapat perhatian pemerintah dalam hal ini Kemenpan RI.



Jabatan Fungsional KB dan Angka Kredit
Selama ini, jabatan fungsional Penyuluh KB hanya dilihat berdasarkan latar belakang pendidikannya saja. Tugas pokok dan fungsi dalam jabatan fungsional Penyuluh KB ditetapkan berdasar satuan angka kredit yang dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan dan penyempurnaan. Beberapa hal yang bisa dijadikan acuan dalam rangka mempertajam jabatan fungsional Penyuluh KB dan nantinya bisa dijadikan sebagai kerangka dalam penentuan angka kredit bagi petugas lapangan KB dapat dilihat berdasarkan azas keadilan.

1.    Jabatan Fungsional PKB Berdasar Geografi, Demografi dan Pemerintahan
           a.     Berdasar Georgrafi
Jabatan fungsional PKB harus melihat pada kondisi geografi sebab wilayah binaan petugas lapangan satu daerah dengan daerah lainnya sangat berbeda. Oleh karenanya, seorang PKB yang ditempatkan di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan (Galciltas) harus memiliki angka kredit yang berbeda dengan petugas lapangan KB yang berada di daerah perkotaan. Geografis bukan hanya menyangkut letak sebuah wilayah melainkan karakteristik penduduk di wilayah tersebut. Secara logis dapat disebutkan semakin jauh dari perkotaan semakin berat tantangan pembinaan, penyuluhan dan pelayanan. 
         b.    Berdasar Demografi
Jabatan fungsional PKB harus melihat pada jumlah penduduk yang di bina-nya. Seorang PKB yang memiliki  jumlah penduduk lebih banyak akan berbeda angka kreditnya dengan yang memiliki jumlah penduduk lebih sedikit. Kriteria penduduk berdasar program KB dapat dilihat dari :
1)    Jumlah Pasangan Usia Subur
2)    Jumlah Wanita Usia Subur
3)    Jumlah Unmet Need
4)    Jumlah Keluarga Punya Balita
5)    Jumlah Keluarga Punya Remaja
6)    Jumlah Keluarga Punya Lansia
7)    Jumlah keluarga yang berusaha
8)    Jumlah penduduk usia remaja
9)    Jumlah penduduk lanjut usia
10) Jumlah keluarga berdasar tahapan KS
Perbedaan ini sangat penting sebab merupakan sasaran kegiatan sehingga secara logis bisa disebutkan semakin besar angka demografi nya semakin besar sasaran kegiatan maka semakin berat tantangan pembinaan, penyuluhan dan pelayanan.
            c.     Berdasar Pemerintahan
Hal ini sangat berpengaruh sebab ada kalanya seorang PKB membina beberapa wilayah pemerintahan yakni Desa dan Kelurahan. Seorang PKB dengan wilayah binaan yang lebih banyak tentunya akan mendapat angka kredit lebih besar daripada yang wilayah binaannya hanya beberapa desa/kelurahan. Secara logis dapat dikatakan bahwa semakin banyak wilayah binaan maka semakin berat tantangan untuk melakukan pembinaan, penyuluhan dan pelayanan.

2. Jabatan Fungsional Berdasar Kompetensi
  • Pejabat fungsional penyuluh KB dengan latar belakang pendidikan SLTA pada komposisi managerial dapat disejajarkan dengan Lower Manager dimana persentasi terbesar dari aktifitasnya adalah 60% operational skill, 30% conceptual skill dan 10% managerial skill. Pada tataran ini maka gugus tugas fungsional lebih banyak pada kegiatan penyuluhan kegiatan operasional seperti penyuluhan, pembinaan dan pelayanan. Oleh karenanya, persentasi angka kredit pada kelompok jabatan ini lebih besar di kegiatan operasional yakni 100% sedangkan kegiatan konseptual dan manajerial mendapat angka 30-40% dari total perolehan.
  • Pejabat fungsional penyuluh KB dengan latar belakang pendidikan Strata-1 pada komposisi managerial dapat disejajarkan dengan Midle Manager dengan persentasi aktifitas 40% operational skill, 40% conceptual skill dan 20% managerial skill. Artinya, saat melakukan kegiatan operasional, pejabat fungsional dalam kelompok ini mendapat nilai kredit sebesar 60% dari total kegiatan dan 40% dari analisa (konseptual) sedangkan untuk kegiatan managerial diberi nilai 30-40% dari total perolehan.
  • Pejabat fungsional penyuluh KB dengan latar belakang pendidikan Strata-2 pada komposisi managerial dapat disetarakan dengan Top Manager dengan persentasi aktifitas sebanyak 10% operational skill, 50% conceptual skill dan 30% managerial skill. Artinya, kelompok jabatan ini lebih banyak melakukan kegiatan mengorganisiri dan membuat konsep atau perencanaan kegiatan di lapangan sehingga persentasi perolehan angka kredit pada sisi perencanaan, analisa dan pengorganisasian sebesar 100% sedangkan kegiatan operasional hanya 30-40% dari total perolehan.
Pembedaan tersebut bisa diaplikasaikan terhadap pelaksanaan pekerjaan, penetapan angka kredit dan pemberian tunjangan jabatan.
Hal terpenting yang selama ini diabaikan adalah ketersediaan Tim Penilai Angka Kredit di Kabupaten/Kota. Padahal, angka kredit merupakan indikator kinerja pejabat fungsional Penyuluh Keluarga Berencana. BKKBN Pusat dan jajaran hingga ke Perwakilan Provinsi, memiliki tanggungjawab moril untuk keberadaan Tim Penilai Angka Kredit bagi PKB/PLKB ini.

Tulisan ini hanya sumbangsih pemikiran saya atas upaya perbaikan kondisi Petugas Lapangan KB di Seluruh Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Senin, 10 Desember 2012

INDIKATOR KINERJA DALAM REMUNERASI


Keputusan Remunerasi


Remunerasi atau Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2008 yakni dengan terbitnya Perpres No 19 tahun 2008 dan Surat Keputusan: 70/KMA/SK/V/2008 pada bulan Mei 2008 MA mulai membayar tunjangan khusus kinerja Hakim dan PNS di lingkungan MA. Dan Perpres tersebut berlaku surut mulai September 2007. Setelah itu diikuti dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2009 tentang tunjangan kinerja pegawai negeri sipil atau PNS di lingkungan Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Selanjutnya terbit Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden di tahun 2010 yang terkait dengan Remunerasi yaitu
  • Nomor 69 untuk Kemenko Perekonomian
  • Nomor 70 untuk Kemenko Polhukam
  • Nomor 71 untuk Kemenko Kesra
  • Nomor 72 untuk TNI
  • Nomor 73 untuk POLRI
  • Nomor 75 untuk Kemen PAN
  • Nomor 76 untuk Bappenas
  • Nomor 77 untuk BPKP
Sedangkan selama tahun 2011 sudah diterbitkan Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden untuk Kemenkumham dan Kejaksaan. Terakhir, pada tahun 2012 Presiden sudah menanda tangani 20 Keputusan Presiden untuk remunerasi di 20 Kementerian dan Lembaga Negara. Salah satu lembaga non kementerian yang mendapat remunerasi adalah BKKBN dengan nomor Keputusan Presiden Nomor 115 tahun 2012 yang ditanda tangani tanggal 17 Nopember 2012.

Tolok Ukur Remunerasi
Pemberian remunerasi di Kementerian dan Lembaga Negara Non Kementerian di dasarkan pada :
  1. Keberhasilan Kementerian dan Lembaga Negara Non Kementerian itu dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan sesuai laporan dalam Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
  2. Keberhasilan dalam pengelolaan anggaran yang ditunjukan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian(WTP).
Berdasar pada ketentuan tersebut maka sudah sangat wajar apabila pembayaran remunerasi terhadap pegawai di lingkungan yang menerima remunerasi ini juga harus punya dasar yang terkait dengan pengelolaan dan kinerja di bidang tugasnya. Pembayaran remunerasi di BKKBN adalah mengacu pada UU no 53 tahun 2010 mengenai disiplin Pegawai Negeri Sipil dengan ketentuan :
  •  20% dilihat dari kehadiran berdasarkan absensi menggunakan handkey. Point ini harus menjadi perhatian khusus sebab diantara sekian banyak pegawai ada yang mampu memenuhi target kehadiran 100% akan tetapi hanya berdasar absensi  , dilihat sedangkan berdasarkan kehadiran sesungguhnya bisa jadi di bawah 50%. 
  •  20%penerapan budaya CUK. Budaya kerja Cerdas Ulet dan Kemitraan sebenarnya bukanlah budaya kerja yang baru di lingkungan BKKBN. Pada pertengahan tahun 90-an, budaya CUK lebih ditekankan pada cara kerja kader di lini lapangan agar program KB yang dilakukan oleh para kader ini diterima oleh berbagai kalangan. Budaya yang diperuntukkan bagi kader ini tidak memiliki indikator sebagaimana budaya CUK yang saat ini diangkat sebagai indikator penilaian dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di BKKBN.
  •  60% dilihat dari kinerja. Kinerja memiliki persentasi terbesar dan sangat menentukan dalam pemberian remunerasi. Ini merupakan antisipasi terhadap pegawai yang datang ke kantor hanya untuk melakukan absensi sebab kontroling kinerja dilakukan secara berjenjang dari eselon 4 sampai dengan Kepala. 
Hal yang cukup menggelitik adalah ketika ada pertanyaan, bagaimana cara mengukur kinerja staf atau bawahan ?

Penerapan Budaya CUK dalam Kinerja
Peraturan Kepala BKKBN nomor  78 tahun 2012 tentang Uraian Pekerjaan menyebutkan Tugas Pokok dan Tugas Tambahan dari pejabat eselon III dan eselon IV  yang dibagi atas :
  1. Aktifitas yang meliputi kegiatan dari penyiapan, pembinaan, fasilitasi dan monitoring dari sebuah kegiatan.
  2. Peranan yakni dapat melakukan apa yang menjadi tugasnya sesuai dengan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen.
  3. Kewenangan yakni terkait dengan batasan tugas pokok dalam unit kerja dalam rangkaian sinkronisasi kegiatan.
  4. Indikator Prestasi yaitu terpenuhi apa yang menjadi kewenangan, peranan dalam pelaksanaan aktifitas kegiatan.
Berdasar uraian pekerjaan di dalam Peraturan Kepala tersebut sebenarnya tidak ada kendala bagi atasan dalam melakukan monitoring terhadap kinerja bawahan sehingga remunerasi yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Namun demikian, pelaksanaan monitoring terhadap bawahan tidak bisa dilakukan begitu saja melainkan perlu alat ukur yang lebih valid lagi.

Terkait dengan alat ukur maka budaya CUK yang sudah disosialisasikan bisa dijadikan alat ukur monitoring staf. Budaya CUK yang dikembangkan memiliki 42 indikator dan ini merupakan tehnik penilaian kinerja pegawai, pengganti DP-3. Kegiatan penilaian dengan menggunakan budaya CUK sudah menggunakan perkembangan Informasi dan Tehnologi sehingga bisa diakses sampai ke Pusat. Hal tersebut merupakan point penting yang bisa dipergunakan sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja bawahan sehari-harinya.

Seperti diketahui bersama bahwa dalam menetapkan sebuah indikator, penggunaan skala likert dengan interval 1 sampai dengan 5 akan lebih mudah. Indikator di dalam budaya CUK dalam aplikasi MRF yang sudah diterapkan BKKBN sepertinya tidak terlepas dari penggunaan skala Likert ini. Oleh karenanya, disaat sebuah indikator prestasi akan diukur pada hari H dapat dilakukan dengan menetapkan skala likert dari masing-masing aktifitas dan peranan yang dilakukan oleh bawahan. 

Berdasar keseluruhan pemikiran saya ini sebenarnya tinggal para pemegang kewenangan yang memberikan tugas pokok dan tugas tambahan kepada staf dengan mengacu pada Peraturan Kepala BKKBN Pusat Nomor 78 tahun 2012 menerapkan skala dalam penetapan nilai indikator budaya Cerdas, Ulet dan Kemitraan. Dengan demikian, tidak ada lagi pemikiran agar remunerasi ditetapkan berdasar golongan kepangkatan dengan alasan tidak ada indikator kinerja yang jelas untuk staf.


Semoga bermanfaat.

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...