Perjalanan
saya ke Sukabumi tempo hari, menyisakan satu catatan kecil yang ingin saya
bagikan melalui blogspot saya ini.
Terus
terang, saya tidak tahu namanya. Keberadaan saya dalam kelompok diskusi dimana
beliau sebagai pembicara dikarenakan peserta diskusinya adalah para pengelola
data dan informasi dari BKKBN Pusat yang sedang melakukan stydu banding ke Jawa
Barat terkait dengan pendataan keluarga. Pembicaraan malam itu, memberi nilai
tambah sendiri bagi saya, dan sayang rasanya bila hanya menjadi milik kami yang
berdiskusi hingga lewat pukul 12.00 WIB malam itu.
TFR
STAGNAN, SIAPA YANG MENANGIS ?
Stagnan-nya
Total Fertility Rate merupakan salah satu pokok bahasan dalam diskusi singkat
tersebut. Dengan stagnanya angka TFR pada 2,6 skala nasional, satu pertanyaan
mendasar dari beliau adalah siapa yang seharusnya menangis ?
Secara
keseluruhan tentunya yang menangis adalah BKKBN. Akan tetapi, sebagai sebuah
organisasi, BKKBN memiliki unit-unit kerja. Sebagai sebuah sistem maka BKKBN
memiliki sub sistem yang bekerja dalam memenuhi target organisasi. Maka, sub
sistem manakah yang seharusnya menangis karena TFR stagnan di angka 2,6. Sub
sistem dalam sistem besar BKKBN adalah KB-KR, KS-PK, Sekretariat, Latbang,
Dalduk dan ADPIN. Sub sistem ini memiliki unit kerja yang satu sama lain saling
berkaitan. Ini gambaran dari penjelasan beliau tentang BKKBN.
Ketika
TFR Stagnan maka yang seharusnya menangis pertama kali adalah Sub Sistem KS-PK.
Hal ini dikarenakan Sub Sistem KS-PK memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan
pembinaan terhadap Pasangan Usia Subur sesuai dengan kriteria Pasangan Usia
Subur itu sendiri. Bila PUS memiliki anak Balita maka pembinaan kesertaan
ber-KB melalui BKB, bila memiliki anak Remaja maka pembinaan kesertaan ber-KB
melalui BKR dan bila memiliki anggota keluarga lansia maka pembinaan kesertaan
ber-KB melalui BKL.
Disisi
lain, TFR sangat dipengaruhi oleh ASFR yang bila dilihat pada kelompok umur
15-19 terdapat angka kelahiran yang cukup tinggi. Oleh karenanya, pembinaan terhadap Generasi
Muda yang dilakukan melalui program GenRe tidak semata-mata menumbuhkan
institusinya melainkan memberikan pembinaan kepada para remaja agar tidak
keburu meninkah.
Apabila
pembinaan melalui Sub Sistem KS-PK ini sudah benar maka yang harus menangis
kedua adalah Sub Sistem KB-KR sebab keberhasilan pembinaan yang tidak dibarengi
pelayanan juga menjadikan TFR stagnan. Yang menangis ketiga adalah Sekretariat
sebagai wadah penyediaan alat kontrasepsi.
PESERTA
KB BARU dan PESERTA KB AKTIF
Secara
nasional Peserta KB Aktif atau disebut
juga Contraceptive Prevalence Rate sesuai hasil SDKI adalah 64%. Idealnya, CPR
tidak akan sama dengan atau lebih dari 80%. Kalau ada daerah dengan capaian
lebih dari 80% maka patut dipertanyakan keabsahannya. Hal ini disampaikan
beliau berdasarkan asumsi bahwa sudah seharusnya diberi ruang sebanyak 15-20%
dari pasangan usia subur ini untuk hamil dan ingin anak segera terutama bagi
mereka yang belum punya anak atau anaknya baru satu orang. Oleh karena itu, PA yang sebesar 64% ini harus mendapatkan
pembinaan secara intensif agar bertahan di angka tersebut atau meningkat ke
angka 70% yaitu dengan melakukan pelayanan KB terhadap PUS.
Bila
target pencapaian di arahkan pada PA maka logika berpikirnya adalah program KB
mempertahankan PA dan meningkatkan PA dari PB. Sedangkan bila target pencapaian
hanya diarahkan pada PB maka logika berpikirnya adalah program KB hanya
mengejar PB yang tidak selalu memberi nilai tambah pada PA. Penggambaran lain
dalam hal ini adalah apabila BKKBN menggarap PA maka dengan sendirinya akan
menggarap PB sebab penambahan PA itu sendiri berasal dari PB.
Apabila
PA tidak bertambah atau PB tidak mendukung ke arah penambahan PA maka yang
menangis pertama kali adalaha Sub Sistem KB-KR dalam pelayanan diikuti Sub
Sistem Sekretariat dalam penyediaan alat kontrasepsi.
PERIHAL
DATA
Ada
protes kecil dari para pengelola Data dan Informasi sebab dengan stagnan-nya
TFR di 2,6 yang ditunjuk bersalah justru laporan yang diolah di bagian Data dan
Informasi. Hasil penayangan dalam laporan bulanan dianggap “sampah” dan menjadi
biang kerok stagnan-nya TFR di 2,6.
Bapak
yang lama bertugas di Bina Program, pernah menjabat sebagai Kepala BKKBN
Kabupaten dan pensiun di HOTL ini menyayangkan adanya pihak yang menyebutkan
data sebagai penyebab stagnan-nya TFR. Hal ini dikarenakan, Sub Sistem ADPIN bertugas dalam mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data yang diperoleh dari hasil pelayanan dan pembinaan. Dengan demikian, apabila ada kekeliruan dalam pengolahan dan penyajian data harus dilihat pada input datanya.
Apabila data yang disajikan adalah
“sampah” sehingga menyebabkan TFR stagnan maka sumber data adalah gudang
sampah. Dengan perbaikan sistem pencatatan pelaporan yang menggunakan Informasi
Tehnologi dan dilakukan secara online maka sumber data yang dikatagorikan
gudang sampah bisa jadi Perwakilan BKKBN di Provinsi dan bisa jadi SKPD-KB
Kabupaten/Kota. Bagaimana cara melihat gudang sampah tersebut ?
CATATAN
KECIL DARI SAYA
Pencatatan dan pelaporan berbasis IT yang dikembangkan Sub Sistem ADPIN memiliki 2 cara input data dari sumber data yang sama. Sumber data adalah SKPD-KB Kabupaten/Kota. Bila sebuah provinsi sudah melakukan pencatatan dan pelaporan secara online langsung dari operator Kabupaten/Kota maka sumber data itu jelas dari Kabupaten/Kota. Maka provinsi yang 100% Kabupaten/Kota nya melakukan pencatatan pelaporan secara online memiliki 100% gudang sampahnya berada di Kabupaten/Kota.
Cara input data lainnya adalah online dari provinsi sebab Kabupaten/Kota di wilayah tersebut belum seluruhnya online. Ada yang sudah 80% online, ada yang sudah lebih 30-50% online dan ada yang dibawah 30% online. Pada wilayah dengan sistem online semacam ini, memiliki gudang sampah 80% di Kabupaten/Kota dan 20% di provinsi ; 30-50% memiliki gudang sampah di Kabupaten/kota dan 70-50% di provinsi; Kurang dari 30% memiliki gudang sampah di Kabupaten/Kota dan 70% memiliki gudang sampah di provinsi.
Saya
ingin mengambil sedikit peribaratan yang dikemukan Buya HAMKA dalam sebuah buku
yang ditulis beliau mengenai Falsafah Hidup.
Janganlah
kau tunjukkan jari pada orang lain untuk menyalahkan orang itu dan membernakan
dirimu sendiri sebab sejatinya ada tiga jari lain yang menunjuk dirimu sendiri.
Saya
menambahkan sedikit pada bagian akhirnya, tiga jari lain yang menunjuk dirimu
sendiri dan diperkuat oleh jempol.
Makna
yang terkandung dalam ungkapan Buya HAMKA tersebut adalah dengan menyalahkan
orang lain sebanyak satu kali tunjukan maka ada tiga kesalahan yang menunjuk ke
arah dirimu sendiri. Arti ringkasnya, sebelum menyalahkan orang lain,
introspeksi lah dulu secara menyeluruh.