SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Minggu, 10 April 2011

Pendewasaan Usia Perkawinan Dalam Perlindungan Anak Oleh : Dra. Uniek M. Sari


Berdasar Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Propinsi Kalimantan Selatan berada di urutan ke-2 terbesar angka penduduk usia kawin muda. Yang dimaksud usia kawin muda adalah usia isteri saat melangsungkan perkawinan pertama yang masih di bawah 20 tahun. Data ini sejalan dengan data Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan yang diungkapkan dalam seminar SDKI bulan Maret 2011 lalu bahwa di dalam Riskesdas 2010, Kalimantan Selatan berada pada posisi tertinggi kedua se Indonesia untuk angka usia kawin muda. Dengan peringkat tersebut, sudah seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak akan dampak terhadap perkawinan usia muda. Salah satu yang bisa dikaitkan dengan angka perkawinan usia muda adalah angka perceraian. Contoh yang terjadi di Kota Banjarmasin, terungkap di tahun 2010 terjadi + 1.100 perceraian dari + 6.500 perkawinan. Dengan perbandingan yang amat sederhana ditemukan 169 perceraian dari 1000 perkawinan. Angka tersebut terlihat kecil namun dampak yang ditimbulkan dari perceraian ternyata sangat kompleks baik menyangkut ibu dan anak maupun bapak dan anak.
Hal yang paling berpengaruh terhadap terjadinya perkawinan usia muda adalah orangtua. Ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Bab II Syarat-Syarat Perkawinan pasal 6 ayat 2 yang berbunyi Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dari bunyi ayat pada pasal tersebut jelas bahwa usia kawin yang diharapkan berdasar UU No. 1 tahun 1974 adalah di atas usia 21 baik laki-laki maupun perempuan. Kalau belum mencapai usia 21 tahun maka HARUS mendapat izin kedua orangtua baik pihak laki-laki maupun orangtua pihak perempuan.
Dengan kata lain, ketika sepasang remaja berniat untuk mengukuhkan cinta dalam sebuah ikatan rumah tangga maka orangtua punya tanggungjawab moril untuk menolak atau memberi izin apabila anak yang masih berusia di bawah 21 tahun. Seringkali, orangtua dihadapkan pada pilihan yang membingungkan, antara menolak permintaan ijin  dengan meluluskan permintaan ijin anak untuk menikah. Alasan klasik yang disampaikan adalah kekhawatiran apabila menolak memberikan ijin maka anak akan melakukan hal yang membuat malu keluarga seperti hubungan seks pra nikah.
Kekhawatiran tersebut sangat bisa dimaklumi sebab hubungan seks di luar nikah hukumnya haram, apalagi mayoritas penduduk di Kalimantan Selatan beragama Islam. Di dalam hukum Islam tidak ada batasan usia berdasarkan lama-nya hidup melainkan hanya dalam batas ketentuan akil baligh dan berakal baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sehingga criteria kawin usia muda justru tidak di temukan dalam hukum Islam. Dari hal tersebut maka dapat digambarkan salah satu hal yang melatar belakangi terjadinya kawin usia muda di Propinsi Kalimantan Selatan, disamping nilai ekonomi dan budaya masyarakat-nya.
Namun demikian, hal ini bukan serta merta menjadi landasan untuk “permissive” terhadap perkawinan usia muda apalagi bila dikaitkan dengan angka perceraian seperti telah diungkapkan sebelumnya. Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi masukkan bagi para orangtua dalam ikut serta mengatasi terjadinya perkawinan usia muda adalah dengan melihat pada kriteria anak, cara mengisi waktu luang dan pentingnya informasi tentang kesehatan reproduksi.
1.       Kriteria “anak
Definisi “anak” berikut ini diambil dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 yakni Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian, ketika seseorang masih berusia 18 tahun barulah batasan anak ini tidak diberlakukan.
Selama masih dalam kriteria “anak” maka orangtua memiliki kewajiban seperti tertuang dalam Bab III Hak dan Kewajiban Anak dengan pasal-pasal sebagai berikut : 
  • Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.  
  • Pasal 9 Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 
  • Pasal 13 ayat 1 Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
    1)       diskriminasi;
    2)       eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
    3)        penelantaran;
    4)       kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
    5)       ketidakadilan; dan
    6)       perlakuan salah lainnya.
Dalam kaitannya dengan perkawinan usia muda maka sangat besar kemungkinan orangtua melanggar pasal-pasal tersebut bila si anak masih berusia di bawah 18 tahun.
Sedangkan sebuah perceraian kerap memunculkan perlakuan negative seperti termaktub dalam pasal 13 tersebut di atas.
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 13 ayat 1 ditetapkan dalam bab yang sama pasal 2 yang berbunyi Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Peraturan tentang perlindungan hak anak tersebut mengingatkan para orangtua dalam rangka melindungi hak anak-anak sebagaimana tujuan dari diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Anak di dalam Bab II Azas dan Tujuan pasal 3 yang berbunyi Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

2.       PIK-Remaja dan Bina Keluarga Remaja
Dalam dua undang-undang yang mengikat warga Negara secara hukum ini terdapat rentang usia antara 18 tahun (batas usia anak-anak) sampai usia 21 tahun (batas minimum usia perkawinan) yang tidak masuk dalam salah satu Undang-Undang tersebut. Di sisi lain, kelompok umur antara 18 sampai dengan 21 tahun adalah kelompok usia yang rawan dalam kehidupan social. Kelompok ini bukan anak-anak dan bukan pula penduduk usia dewasa sehingga dapat dikatagorikan sebagai remaja. Kenakalan remaja, prilaku sosial yang menyimpang dan pelanggaran hukum kerap terjadi di kelompok usia ini, sehingga sangat wajar kalau kemudian para orangtua khawatir terhadap anak-anak tersebut.
Lahirnya sebuah Undang-Undang akan dibarengi dengan Undang-Undang lainnya sehingga ada jalan keluar untuk setiap permasalahan yang ditimbulkan akibat munculnya Undang-Undang tersebut. Salah satunya adalah Undang-Undang nomor 52 tentang PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN  DAN PEMBANGUNAN KELUARGA  yang merupakan revisi atas UU No. 10 tahun 1992 dimana dalam salah satu kegiatan yang terkait dengan remaja adalah Bina Keluarga Remaja bagi para orangtua dan kegiatan Pusat Informasi Kesehatan Remaja bagi para remaja. Di dalam kelompok Bina Keluarga Remaja, orangtua akan diberi informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan tumbuh kembang para remaja serta upaya pembinaannya. Sedangkan dalam kegiatan PIK-Remaja akan diberikan informasi tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, dan pengaruh pergaulan bebas terhadap kesehatan reproduksi remaja.

3.       Peran Pemerintah Daerah
Orangtua dan remaja adalah warga masyarakat yang dalam pelaksanaan tatanan hukum tidak akan terlepas dari pemerintah. Dalam kaitannya dengan perundang-undangan yang diungkapkan di atas maka Pemerintah Daerah dengan hak otonomi-nya mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya pendewasaan usia perkawinan sehingga bisa lepas dari peringkat terbesar penduduk usia kawin muda. Peranan Pemerintah Daerah dalam hal membantu masyarakat melaksanakan Pendewasaan Usia Perkawinan adalah dengan cara :
  •      Merealisasi “janji politik saat berkampanye” yakni berupa pendidikan gratis untuk semua jenjang pendidikan dan lebih diutamakan bagi keluarga miskin sebab perkawinan usia muda lebih banyak dilakukan oleh keluarga miskin akibat tuntutan ekonomi yang putus sekolah. Pendidikan gratis memungkinkan anak-anak mendapat hak pendidikan hingga tingkat SMA sehingga bukan saja membantu meningkatkan kualitas SDM melainkan juga membantu pendewasaan usia perkawinan. 
  •     Memberi beasiswa “ala” Supersemar yakni prioritas bagi yang bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan, berasal dari keluarga pra sejahtera dan sejahtera I alasan ekonomi serta orangtua-nya menjadi peserta KB lestari minimal 10 tahun. 
  •     Memfasilitasi kegiatan Bina Keluarga Remaja dan Pusat Informasi Kesehatan Remaja dalam bentuk legalitas institusi berupa surat keputusan dan tenaga pengelolaan yang dapat dihandalkan Pemerintah Daerah dalam membina generasi muda.
Remaja juga generasi muda adalah generasi penerus bangsa……memberikan perhatian yang optimal untuk masa depan para generasi muda berarti melakukan investasi bagi masa depan yang jauh lebih baik. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi berbagai pihak untuk membantu terwujudnya Pendewasaan Usia Perkawinan di masyarakat Kalimantan Selatan, demi terwujudnya Sumber Daya Manusia ber-Kualitas di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Email

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...