Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang intim dan biasanya terkait dengan hubungan seksual.
Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan sebagai landasan untuk membentuk keluarga.
Asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah:
- Ibahah (boleh),
- Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada)
- Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan),
- Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga),
- Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupi keluarganya.
HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, Islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian dilihat dari kondisi orang yang melaksanakan perkawinan dan tujuan perkawinan, maka perkawinan itu dapat dikenakan hukum sebagai berikut :
Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial (ekonomi) dan juga khawatir jath kedalam perzinaan. Pernikahan diharapkan untuk menjaga diri dari zina sehingga hukumnya wajib.
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial (ekonomi) dan juga khawatir jath kedalam perzinaan. Pernikahan diharapkan untuk menjaga diri dari zina sehingga hukumnya wajib.
Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Seseorang menjadi haram untuk menikah bila tidak mampu memberi nafkah secara materi dan tidak mampu melakukan hubungan seksual, kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasang annya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi yakni pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi.
Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah (dibenci) sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah keluarga melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Syarat-syarat pengantin lelaki ada lima perkara:
1. Berumur baligh, bila masih kecil, maka bapak atau kakek qabulnya.
2. Berakal, bila hilang akalnya, maka bapak qabulnya.
3. Tidak senasab atau sesusuan (radla) dengan pengantin wanita
4. Dengan kehendak sendiri (ikhtiar). Tidak sah bila dipaksa.
5. Menentukan dan mengetahui nama wanita yang akan dinikahi, mengetahui akan status calon istrinya, perawan atau janda dan sudah lepas ‘iddah.
Syarat-syarat pengantin wanita :
1. Berusia baligh
2. Berakal
3. Tidak Senasab dan tidak Sesusuan dengan pengantin lelaki
4. Kehendak sendiri, tanpa adanya paksaan selain wali mujbir bapak/kakek
5. Mengetahui lelaki yang akan menikahi dirinya.
Didalam syarat mempelai pria dan wanita berdasar hokum Islam hanya disebutkan bahwa mempelai yang akan dinikahkan sudah baligh. Keadaan baligh dalam syarat ini adalah sudah masuk usia subur yakni bisa membuahi dan dibuahi, tanpa ada batasan usia. Karena perbaikan gizi dan pengaruh positif dari kesehatan menyebabkan seseorang bisa saja sudah baligh pada usia 9-10 tahun.
Apakah negara permisive dengan hal tersebut ?
Undang-Undang no 1 tahun 1974 pasal 1 merupakan landasan bahwa negara lebih memberi kebebasan kepada mereka yang berusia di atas 21 tahun untuk menikah. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat ijin dari orangtua. Pasal 7 menjadi landasan bahwa negara menyetujui perkawinan dengan usia terendah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Artinya, ketika orangtua mau membuat ijin dan ketika KUA mau menikahkan harus melihat apakah yang akan menikah sudah masuk dalam range usia 16 atau 19 tahun.
Dengan demikian, tidak ada kontra indikasi makna undang-undang perkawinan tersebut. Masyarakat hingga saat ini berlindung pada angka 16 dan 19 tanpa memahami makna sebenarnya dari kalimat dalam undang-undang ini.
Adapun UU no 23 tahun 2002 menjadi batasan bagi orangtua dan KUA bahwa saat yang akan menikah masih berusia 16 tahun maka sebenarnya yang bersangkutan masih masuk kriteria anak-anak yang memiliki hak-hak yang dilindungi oleh negara. Pelanggaran terhadap hak-hak anak ini mendapat sanksi hukum penjara dan denda. (Baca artikel UU Perlindungan Anak dalam Perkawinan dalam blogspot ini)
Dari dua Undang-Undang ini jelas bahwa negara memiliki ketegasan dalam menetapkan usia kawin pertama bagi masyarakatnya. Keputusan berada di tangan orangtua dan lembaga yang memberi ijin pernikahan. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan penyuluhan yang tepat bagi remaja dan orangtua terkait Undang-Undang Pernikahan dan UU Perlindungan Anak ini.
Selain itu, kajian terhadap pertumbuhan kesehatan reproduksi, tingkat kematangan emosi dan tingkat kesiapan ekonomi yang akan menikah dapat dilihat pada kuadran-kuadran berikut ini :
Undang-Undang no 1 tahun 1974 pasal 1 merupakan landasan bahwa negara lebih memberi kebebasan kepada mereka yang berusia di atas 21 tahun untuk menikah. Bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat ijin dari orangtua. Pasal 7 menjadi landasan bahwa negara menyetujui perkawinan dengan usia terendah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Artinya, ketika orangtua mau membuat ijin dan ketika KUA mau menikahkan harus melihat apakah yang akan menikah sudah masuk dalam range usia 16 atau 19 tahun.
Dengan demikian, tidak ada kontra indikasi makna undang-undang perkawinan tersebut. Masyarakat hingga saat ini berlindung pada angka 16 dan 19 tanpa memahami makna sebenarnya dari kalimat dalam undang-undang ini.
Adapun UU no 23 tahun 2002 menjadi batasan bagi orangtua dan KUA bahwa saat yang akan menikah masih berusia 16 tahun maka sebenarnya yang bersangkutan masih masuk kriteria anak-anak yang memiliki hak-hak yang dilindungi oleh negara. Pelanggaran terhadap hak-hak anak ini mendapat sanksi hukum penjara dan denda. (Baca artikel UU Perlindungan Anak dalam Perkawinan dalam blogspot ini)
Dari dua Undang-Undang ini jelas bahwa negara memiliki ketegasan dalam menetapkan usia kawin pertama bagi masyarakatnya. Keputusan berada di tangan orangtua dan lembaga yang memberi ijin pernikahan. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan penyuluhan yang tepat bagi remaja dan orangtua terkait Undang-Undang Pernikahan dan UU Perlindungan Anak ini.
Selain itu, kajian terhadap pertumbuhan kesehatan reproduksi, tingkat kematangan emosi dan tingkat kesiapan ekonomi yang akan menikah dapat dilihat pada kuadran-kuadran berikut ini :
1. Kuadran I
Usia 20 tahun ke atas
Alat Reproduksi sdh berfungsi baik
Emosi Sudah Matang
Tamat SMA & bekerja
2. Kuadran II
Usia 17-19 tahun
Alat Reproduksi sdh berfungsi baik
Emosi dlm proses pematangan
Baru tamat SMA
3. Kuadran III
Usia 14-16 tahun
Alat Reproduksi berfungsi tapi belum sempurna
Emosi masih labil
Baru Tamat SMP
4. Kuadran IV
Usia 11-14 tahun
Alat Reproduksi belum sempurna fungsinya
Emosi sangat labil
Baru Tamat SD
Dari kuadran-kuadran I sampai dengan IV ini bila diintegrasikan dengan hukum Islam dalam perkawinan yang sudah disebutkan sebelumnya dapat diketahui. Dengan dasar pemikiran berdasar kuadran ini, orangtua yang akan menikahkan anaknya akan mengetahui berada dalam status hukum yang bagaimana sehingga dapat memberi keputusan yang tepat bagi anak-anaknya dalam pernikahan dan perkawinan.
Demikian, tulisan ini hanyalah sumbangsih pemikiran untuk program pengentasan kemiskinan melalui penyiapan generasi berencana dengan tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Email