ABSTRAK
Presiden Republik
Indonesia telah menugaskan Kepala BKKBN RI sebagai Ketua Pelaksana Percepatan
Penurunan Stunting. Penurunan angka stunting ditargetkan turun dari 27,6% pada
tahun 2019 menjadi 14% pada tahun 2024. Penugasan ini didasarkan pada peran dan
fungsi BKKBN yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dalam melaksanakan
tugas tersebut, BKKBN telah memiliki kelompok kegiatan yang apabila
dimaksimalkan perannya maka dapat menjadi tempat pembinaan keluarga guna
mencegah kejadian stunting di Indonesia. Dari salah satu hasil penelitian
diketahui bahwa ternyata partisipasi keluarga dalam kegiatan kelompok BKB masih
rendah. Padahal kelompok BKBmerupakan kelompok yang potensial dalam
menangulangi kasus stuntuing.Artikel ini menguraikan tentang keutamaan dan
keunggulan dari Kelompok BKB yang memiliki peran untuk pembinaan dan pengasuhan
Balita bagi keluarga yang memiliki Balita agar menjadi sebuah kegiatan yang dibutuhkan
oleh keluarga yang memiliki Balita.
Kata kunci: penurunan, stunting, bina, keluarga, balita
PENDAHULUAN
Stunting masih menjadi isu menarik untuk dikaji terutama pada bidang
kesehatan anak balita di Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri
Koordinasi bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada rapat terbatas tanggal 25 Januari 2021 bahwa
penanganan stunting di Indonesia hingga
2024 merujuk pada Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Keluarga Berencana.
Ketetapan dalam rapat terbatas tersebut disampaikan
Presiden Indonesia
saat membuka Rapat
Kerja Nasional Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga
Berencana (Bangga Kencana) dan BKKBN ditunjuk sebagai Ketua
Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting.
Indonesia menurut World Health Organization (WHO) pada 2018 menempati
rangking ketiga (Gambar 1) negara dengan angka prevalensi stunting tertinggi di
Regional Asia Tenggara pada tahun 2005-2017 yaitu 36,4 persen, berada di bawah Timor
Leste (50,5 persen) dan India (38,4 persen).
Pada tahun 2019 angka tersebut berhasil ditekan hingga mencapai
27,6 persen. Angka tersebut masih jauh dari
angka prevalensi stunting yang ditargetkan pada tahun 2024 yaitu 14 persen.
Sumber
: Child Stunting Data Visualizations Dashboard, WHO, 2018 (dalam Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2018)
Gambar 1.
Rata-Rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-2017
Merebaknya pandemi Covid-19 pada awal
2020 di Indonesia diperkirakan akan berdampak pada kenaikan angka prevalensi stunting.
Hal ini akan menambah berat target angka prevalensi stunting untuk dicapai.
Banyak sumber tentang definisi stunting, antara lain
Ni’mah dan Nadhiroh (2015) menuliskan bahwa stunting atau gagal tumbuh adalah
suatu kondisi yang menggambarkan status gizi kurang yang memiliki sifat kronis
pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak sejak awal masa kehidupan yang
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur kurang dari
minus dua standar deviasi berdasarkan standar pertumbuhan menurut WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study).
Stunting menurut Kementerian kesehatan (Tim Nasional Penanggulangan
Kemiskinan Sekretaris Wakil Presiden, 2017) adalah anak
balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan
kurang dari 3SD (severely stunted). Sehingga, anak lebih pendek dari anak
normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, yaitu tinggi
badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari
standar usianya.
Definisi stunting menurut Atmarita (2018)
adalah suatu kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi pada saat periode
kritis dari proses tumbuh dan kembang mulai janin. Untuk Indonesia, saat ini
diperkirakan ada 37,2 persen dari anak usia 0-59 bulan atau sekitar 9 juta anak
dengan kondisi stunting, yang berlanjut sampai usia sekolah 6-18 tahun.
Menurut Bappenas (2018) stunting
adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis terutama
dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Determinan
Stunting/Peran penting BKB
Ruaida (2018)
menuliskan bahwa kekurangan
gizi dapat terjadi akibat kemiskinan, akan tetapi memperbaiki gizi di masa awal
kehidupan manusia sebenarnya
dapat membangun fondasi
yang kuat dalam
membantu meningkatkan
individu, keluarga dan
bangsa keluar dari
kemiskinan. Sejak 1000
hari antara kehamilan sampai di
usia dua tahun merupakan Window of Opportunity, yakni kesempatan yang
singkat untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan. Barker et al., (2007) menuliskan bahwa diet makanan yang kaya zat gizi akan membantu anak-anak
tumbuh untuk memenuhi kebutuhan potensi fisik dan kognitif yang optimal.
Kondisi anak stunting merupakan
kondisi kekhususan yang harus ditangani secara bersama-sama dan lebih
menekankan pada peran dan fungsi keluarga. Hal ini diperkuat oleh beberapa hasil kajian yang melihat hubungan erat antara orangtua, keluarga dan lingkungan dalam
mengatasi permasalahan anak, termasuk stunting.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan dkk (2018) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
tingkat asupan energi, rerata durasi sakit, berat badan lahir, tingkat
pendidikan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada
anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur
Kota Padang.
Penyebab stunting dikemukakan oleh Tejo (2019) bahwa kemiskinan,
kesehatan sanitasi dan lingkungan adalah faktor lain yang memiliki konsekuensi
stunting pada anak balita. Selain itu Danila dkk (2018) menemukan bahwa keadaan
sosial ekonomi masyatakat, karakteristik ibu saat hamil, pola asuh juga
lingkungan dan kondisi geografis (kepadatan penduduk, kondisi iklim dan
sanitasi yang tidak memadai) merupakan faktor penyebab stunting pada balita.
Hasil kajian Ni’mah dan
Nadhiroh
(2015) ditemukan bahwa pendidikan
ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita, sedangkan
pendidikan ayah tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Wiyani (2018) menuliskan bahwa orangtua di rumah memiliki peran dan tanggung jawab nomor satu dalam mendidik
anak.
Sutarto dkk (2018) dalam hasil penelitiannya mengemukakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
adalah 1) Praktek pengasuhan
yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan
gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan; 2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan
ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post
Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas; 3) Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan
bergizi. Penyebabnya karena harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal; 4) Kurangnya akses ke air
bersih dan sanitasi.
Budiyanto (2017) menuliskan baik orangtua maupun guru mungkin membutuhkan dukungan dan
dorongan untuk belajar bekerjasama sebagai mitra sejajar (framework for action Salamanca Statement,1994). Hasil penelitian
Etschedit (2002) menunjukkan bahwa peran keluarga dalam sekolah tidak hanya
memperkuat siswa dalam penyelesaian masalah akademik semata, tetapi juga dapat
mempertegas penelusuran dokumen literature-literature sosial, komunikasi
interpersonal dan sangat menguntungkan individu.
Jean Piaget (dalam Pebria, 2019) menuliskan bahwa anak lahir dengan segala keunikan
potensi yang antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama, bahkan anak kembar
sekalipun. Maka dari itu, tugas orangtua adalah menyiapkan lingkungan yang
memungkinkan potensi-potensi yang dimiliki anak untuk bisa berkembang dengan
maksimal.
Dari ulasan tentang stunting dan
pentingnya peran keluarga dalam penurunan stunting, merupakan keputusan yang tepat saat Presiden menetapkan Kepala BKKBN sebagai Ketua Percepatan Penurunan Stunting
di Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsi BKKBN yaitu meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui Pembinaan Ketahanan Keluarga. Salah satu
kelompok Pembinaan Ketahanan Keluarga yang berkaitan dengan pembinaan anak di bawah usia 5 tahun
yaitu kelompok Bina Keluarga Balita (BKB).
Bina Keluarga Balita merupakan layanan penyuluhan bagi keluarga dan
anggota keluarga lainnya dalam mengasuh dan membina tumbuh kembang anak melalui
kegiatan stimulasi fisik, mental, intelektual, emosional, spiritual, sosial dan
moral untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka
meningkatkan kesertaan dan kemandirian dalam ber-KB bagi Pasangan Usia Subur
(PUS) Kelompok Kegiatan.
Kelompok BKB adalah wadah kegiatan penyuluhan bagi keluarga dan anggota
keluarga lainnya dalam mengasuh dan membina tumbuh kembang anak melalui
kegiatan stimulasoi fisik, mental, intelektual, emosional, spiritual, sosial
dan moral.
Oktriyanto (2016) dalam
tulisannya mengemukakan bahwa
keikutsertaan keluarga dalam kelompok Bina Keluarga Balita (BKB), pada analisis
ini keluarga yang pernah ikut BKB lebih sedikit dibandingkan keluarga
tidak pernah ikut
BKB, tercermin dari hanya 14,40
persen keluarga yang pernah
ikut BKB dari
jumlah total responden keluarga
yang mempunyai anak
usia 0-6 tahun. Keikutsertaan
dalam kelompok BKB
yang rendah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu keluarga tidak tahu tentang kelompok BKB dan keluarga yang tahu kelompok BKB tetapi tidak ikut. Alasan tidak ikut dalam
kelompk BKB meskipun tahu kelompok BKB yaitu lokasi kelompok BKB jauh, sibuk, dan capek kerja
dan sebagainya. Hasil analisis
menunjukkan bahwa,
partisipasi keluarga yang
pernah ikut BKB dalam
pengasuhan dan tumbuh
kembang anak dari semua aspek (aspek fisik, jiwa maupun
sosial) lebih baik daripada keluarga yang tidak ikut kelompok BKB. Apabila kondisi yang tergambar dari hasil
penelitian ini apabila tidak segera diatasi maka dikhawatirkan akan memberi
pengaruh terhadap keberhasilan BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting
dengan target pada tahun 2024 hanya tinggal 14 persen dari 27,6 persen di tahun 2019.
Artikel ini disusun untuk memberikan gambaran peran
Kelompok BKB Terintegrasi dalam membantu menurunkan angka stunting di Indonesia
dengan cara mengkaji indikator stratifikasi Kelompok Bina Keluarga Balita yang
terdapat dalam Peraturan Kepala BKKBN Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Bina Keluarga Balita
Holistik Integratif
Dari hasil kajian tersebut diharapkan artikel ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu masukan guna memperkuat peran Kelompok BKB Terintegrasi
dalam pelaksanaan percepatan penurunan angka stunting dan pencegahan kejadian
stunting di Indonesia.
PEMBAHASAN
Keutamaan Kelompok BKB
Penetapan Kelompok Bina Keluarga Balita sebagai institusi kemasyarakatan
yang memiliki peran terhadap penurunan kejadian stunting sehingga pada akhir
RPJMN tahun 2024 menjadi 14 persen dikarenakan kelompok ini berada di
level terbawah yakni tingkat desa/kelurahan, anggota kelompok terdiri dari
keluarga memiliki Balita dan pembinaannya bersifat holistik integratif.
Kajian dalam artikel ini melihat
pada form Kriteria Kelompok BKB HI yang disandingkan dengan formulir K/0/BKB/15
yang merupakan formulir potensi wilayah bagi Penyuluh Keluarga Berencana dan
harus diinput ke aplikasi pencatatan dan pelaporan secara rutin setiap awal
tahun guna mendapatkan gambaran tentang stratifikasi kelompok Bina Keluarga
Balita. Kedua formulir merupakan lampiran dalam Peraturan Kepala BKKBN Nomor 12
Tahun 2018 bahawa dalam pengelolaannya kelompok Bina Keluarga Balita Holistik
Integratif.
Dengan melihat indikator-indikator pada stratifikasi kelompok Bina Keluarga
Balita tersebut maka kemudian dapat dinilai kualitas kelompok tersebut. Hal ini
untuk memberikan kepastian apakah pencegahan kejadian stunting bisa dilakukan
melalui kelompok Bina Keluarga Balita ?
Berdasar Peraturan Kepala BKKBN Nomor 12 Tahun 2018 bahwa dalam
pengelolaannya kelompok Bina Keluarga Balita Holistik Integratif terbagi atas 2
(dua) kriteria yaitu dasar/rintisan dan paripurna.
Masing-masing kriteria terdapat indikator-indikator yang harus dipenuhi.
Pertama, pada formulir K/0/BKB/15 terdapat
informasi tentang jumlah kader Kelompok BKB dengah struktur kepengurusan
terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Kader sebanyak 6 kelompok umur.
Dalam indikator stratifikasi kelompok BKB hal tersebut sangat jelas sehingga
kualitas kelompok BKB dapat dideteksi dari ketersediaan kader Kelompok BKB. Hanya saja yang perlu
diperhatikan adalah pengertian kader terlatih.
Kedua, pada formulir K/0/BKB/15 akan diketahui
jumlah keluarga balita yang ikut kegiatan BKB. Daftar nama ini sesuai dengan
hasil pendataan keluarga yang dilakukan setiap 5 tahun sekali. Apabila hanya
mengacu pada jumlah keluarga yang ikut kelompok BKB berdasar hasil pendataan
keluarga maka kualitas layanan pembinaan di kelompok tersebut tidak dapat
diukur. Sebab, jumlah keluarga sasaran kegiatan BKB juga dihasilkan dari
kegiatan pendataan keluarga dan cakupan keluarga yang ikut BKB dibandingkan
dengan keluarga sasaran merupakan persentasi yang seyogyanya menjadi indikator dalam stratifikasi Kelompok
BKB.
Dengan adanya indikator cakupan keluarga yang ikut BKB dibandingkan dengan
total sasaran maka dapat diketahui jumlah keluarga yang terpapar
informasi Tumbuh Kembang Anak dalam Kelompok BKB.
Ketiga, dalam formulir K/0/BKB/15 diperoleh
data tentang Ketersediaan Sarana dan Prasarana. Sarana dan Prasarana yang
penting dalam kegiatan BKB adalah 1) BKB Kit yang akan dipergunakan
kader untuk penyuluhan; 2) Alat Permainan Edukatif yang akan diperagakan kader
dan dipergunakan orangtua sebagai media interaksi dengan anak-anak Balitanya
di rumah dan 3) Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipergunakan
untuk mengukur Tumbuh Kembang Anak berdasar kelompok umur.
Dalam stratifikasi kelompok BKB HI, ketersediaan Kartu Kembang Anak (KKA) hanya untuk
mengetahui dipergunakan atau tidak dipergunakan dalam penyuluhan. Padahal, KKA merupakan sarana
untuk mengukur kemajuan kemampuan anak dalam proses tumbuh kembangnya.
Rincian dari KKA adalah 1) Terdapat bagian Tugas Perkembangan untuk anak
dari usia 1 bulan sampai dengan 36 bulan. Bagian ini berada di sisi sebelah
kiri. Tugas perkembangan yang pada saat ibu Balita mengajak anaknya ke Kelompok
BKB yang dipantau oleh kader; 2) Bagian tengah adalah grafik yang menunjukkan
tingkat kemampuan Balita berdasar kelompok umurnya dalam hitungan bulan. Grafik
itu diperoleh dan dicatat oleh kader setelah melihat kemampuan Balita dalam
melaksanakan tugas perkembangan. Terdapat 3 bagian dari grafik tersebut yang
diberi batas garis berwarna merah. Pada Balita yang belum dapat melaksanakan tugas
perkembangan maka kader akan memberi titik di bawah garis merah; 3) Bagian
Pesan-Pesan diberikan kepada keluarga Balita yang dapat mengerjakan tugas
pertumbuhan maupun yang belum dapat mengerjakan tugas pertumbuhan.
Bagi keluarga yang Balitanya sudah dapat mengerjakan tugas pertumbuhan akan
diberi pesan yang harus dilakukan terhadap anaknya selama sebulan untuk dilihat
lagi perkembangannya pada bulan berikutnya. Sedangkan kepada keluarga yang balitanya belum dapat
mengerjakan tugas pertumbuhan maka pesan-pesan diberikan selain mengejar
ketertinggalan pada bulan sebelumnya juga pesan-pesan untuk membina balitanya agar bisa
mengerjakan tugas pertumbuhan pada bulan berikutnya.
Gambar 2 Kartu Kembang Anak
Dalam melaksanakan pesan-pesan tersebut maka keluarga membutuhkan sarana
untuk bisa berinteraksi dengan balitanya yaitu mempergunakan Alat Permainan
Edukatif (APE).
Dengan memahami bagian-bagian dari KKA ini maka
ketersediaan KKA tidak hanya dinilai sebatas dipergunakan atau tidak
dipergunakan melainkan seharusnya dimiliki oleh seluruh
keluarga yang memiliki Balita. Oleh karenanya, indikatir stratifikasi kelompok
BKB HI tentang ketersediaan KKA seyogyanya dihitung berdasar cakupan berapa
banyak keluarga yang ikut BKB memiliki KKA.
Keempat, Selain KKA, formulir K/0/BKB/15
juga memuat tentang informasi kepemilikan Alat Permainan Edukatif (APE). Pada indikator
stratifikasi Kelompok BKB HI diberikan batasan sama dengan atau lebih dari 2
jenis. Padahal, fungsi APE adalah sebagai media interkasi antara
orangtua dengan anak balita-nya sehingga tidak dapat dibatasi minimal 2 jenis
melainkan minimal 5 kelompok umur. Artinya, 1 kelompok umur memiliki 1 jenis
APE karena sebagai media interaksi tentunya APE antara Balita usia 0-1 tahun
berbeda dengan APE Balita usia 3-4 tahun.
Hal yang harus ditegaskan terkait APE di kelompok BKB ini adalah
ketersediaan APE berasal dari inovasi atau pengembangan kreatifitas anggota
kelompok BKB guna menghilangkan asumsi mahalnya ikut Kelompok BKB karena APEnya
harus membeli. Padahal APE ini yang dipergunakan oleh keluarga yang memiliki balita untuk
berinteraksi dengan anaknya di rumah.
Alat Permainan Edukatif itu sendiri juga dapat dibagi ke dalam beberapa
katagori yang berkaitan dengan pertumbuhan Balita seperti 1) Kemampuan
penglihatan berupa permainan yang mengandung warna-warna dan bergerak. Apabila
anak Balita tidak tertarik dengan permainan warna dan gerakan ini maka bisa
menjadi peringatan dini bagi keluarga atas kesehatan mata balitanya; 2)
Kemampuan pendengaran berupa permainan yang menimbulkan bunyi dan bisa
dipindahkan ke kiri atau ke kanan. Apabila balita tidak beraksi
terhadap bunyi yang ditimbulkan maka bisa menjadi peringatan dini bagi keluarga
berkaita dengan kesehatan telinga Balita-nya; 3) kemampuan berkomunikasi karena
semua jenis alat permainan dapat dipergunakan untuk berbicara dan mengajak balitanya
berkomunikasi. Dari hal tersebut maka dapat diukur juga kemampuan anak balita dalam
berkomunikasi.
Integrasi Dalam
Pencegahan Stunting
Apriluana dan
Fikawati (2018) menuliskan
bahwa stunting akan menyebabkan dampak jangka
panjang yaitu terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, serta
kognitif. Anak yang terkena stunting hingga usia 5 tahun akan sulit untuk
diperbaiki sehingga akan berlanjut hingga dewasa dan dapat meningkatkan risiko
keturunan dengan berat badan lahir yang rendah (BBLR).
Dengan
demikian, kondisi stunting bukan hanya berhubungan dengan badan pendek dan
kurus melainkan juga berkaitan dengan perkembangan mental, intelektual dan
kognitif.
Kondisi
pertumbuhan fisik anak tidak dapat di deteksi secara dini saat anak baru
dilahirkan karena ada anak yang lahir dengan berat badan dan tinggi yang normal
namun kemudian memiliki pertumbuhan badan yang tidak maksimal tapi di sisi lain
pertumbuhan mental, intelektual dan kognitifnya berkembang sesuai dengan
peningkatan umur anak. Oleh karenanya, pencegahan kejadian stunting perlu
dilakukan secara bersama-sama dan secara terintegrasi.
Akan
tetapi, pola integrasi harus benar-benar dipahami sehingga tidak memberikan pengaruh
antara satu program dengan program yang lain. Pola integrasi Kelompok BKB
Holistik Integratif dapat dilakukan dengan institusi kemasyarakatan yang
sama-sama berfokus dalam penyiapan sumber daya manusia sejak usia Balita
seperti Posyandi dan PAUD.
Posyandu
dan kelompok BKB dapat
terintegrasi pada kegiatan pemantauan kesehatan dasar anak dan tumbuh kembang
anak. Kalau di Posyandu, seorang anak memiliki buku montioring pengukuran berat
badan, tinggi badan dan pemberian kesehatan dasar berupa imunisasi, vitamin dan
makanan tambahan maka di dalam BKB dilakukan pemantauan tumbuh kembang anak
melalui KKA.
Keterpaduan
antara Posyandu dan kelompok BKB
bukan pada proses penyuluhannya karena kegiatan penyuluhan di kelompok BKB
dilakukan oleh kader yang dibagi berdasar kelompok umur seperti 0-1, 1-2, 2-3, 3-4, dan 4-5 tahun. Sedangkan di Posyandu hanya
tersedia 1 meja untuk kegiatan integrasi. Oleh karenanya, kegiatan yang bisa
diintegrasikan dalam waktu bersamaan antara Posyandu dan Kelompok BKB hanyalah
pada kegiatan pemantauan. KMS untuk pemantauan
kesehatan dasar anak dan KKA untuk memantau Tumbuh Kembang Anak.
PAUD dan
Kelompok BKB juga merupakan dua kegiatan yang terfokus pada anak balita namun memiliki perbedaan
yang cukup signifikan untuk dapat diintegrasikan. Perbedaan
mendasar antara BKB dengan PAUD adalah dalam penggunaan Alat Permainan Edukatif (APE). Kalau di PAUD, APE diperuntukkan bagi
anak dalam rangka pembinaan dan pengasuhan psikomotik kasar dan psikomotorik
halus anak maka dalam BKB, APE justru harus dipelajari oleh keluarga
karena dipergunakan sebagai media interaksi.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 18 tahun 2018 tentang Penyediaan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini bahwa
fokus kegiatan adalah pada anak dan tidak ada pemilahan berdasar kelompok umur.
Dengan demikian jelas sekali bahwa pembinaan orangtua Balita di PAUD tidak
spesifik sesuai kelompok umur Balita sebagaimana yang dilakukan di Kelompok BKB yakni berdasar
kelompok umur.
Integrasi
yang dapat dilakukan Kelompok BKB dan PAUD adalah pada proses penyuluhan baik
materi tentang peran orangtua terhadap tumbuh kembang anak, pemanfaatan APE di
rumah dan di PAUD serta memaksimalkan potensi-potensi anak dalam lingkungan
sosial di PAUD.
PENUTUP
Berdasar hasil pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan yang
mendukungan percepatan penurunan stunting dan pencegahan kejadian stunting di
Indonesia.
Peran BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting dapat dilaksanakan dengan
memaksimalkan peran Kelompok Bina Keluarga Balita. Ini dikarenakan Kelompok BKB berada di level lini lapangan
yang bersentuhan langsung dengan keluarga-keluarga yang memiliki Balita. Hal
lain yang menjadi keunggulan dari Kelompok BKB ini adalah pola pembinaan yang
sepenuhnya memaksimalkan peran keluarga dalam pembinaan sumber daya manusia.
Sebagai
kelompok yang diidentifikasi berperan penting dalam proses penurunan angka
stunting dan pencegahan kejadian stunting di Indonesia, harus ada penguatan
yakni dengan mempertajam indikator-indikator stratifikasi yang merupakan
keutamaan dan keunggulan dari Kelompok BKB. Keunggulan dan keutamaan
tersebut adalah cakupan kesertaan keluarga yang memiliki Balita untuk menjadi
anggota Kelompok KBK,
ketersediaan alat pemantauan yaitu Kartu Kembang Anak (KKA) dan ketersediaan media interkasi
yaitu Alat Permainan Edukasi (APE) yang murah sehingga keluarga-keluarga tidak terbebani untuk terlibat dalam
pembinaan tumbuh kembang anak melalui Kelompok BKB.
Namun
demikian, penurunan angka stunting dan pencegahan kejadian stunting tidak
dapat berdiri sendiri dilakukan BKKBN melalui Kelompok BKB melainkan harus terintegrasi
dengan institusi kemasyarakatan yang memiliki sasaran kegiatan yang sama yaitu
Anak Balita seperti Posyandu dan PAUD.
Hanya saja,
dalam pelaksanaan proses integrasi, sebaiknya disesuaikan dengan tujuan
masing-masing institusi kemasyarakatan sehingga satu sama lain bisa sinergi
tanpa mengurangi keutamaan masing-masing institusi.
Posyandu
dengan kesehatan dasar bagi anak dan balita, PAUD dengan peningkatan kemampuan
anak sedangkan Kelompok BKB dengan peningkatan kemampuan orangtua dalam membina anak balita.
Sesuai dengan hasil kajian dalam artikel ini
maka untuk penguatan kelompok BKB dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut (1) memperkuat peran Kelompok BKB HI dengan menajamkan indikator-indikator
stratifikasi kelompok terutama cakupan anggota kelompok, ketersediaan KKA dan
ketersediaan APE pengembangan; (2) meninjau kembali lampiran Peraturan kepala BKKBN Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Bina
Keluarga Balita Holistik Integratif yaitu pada indikator stratifikasi
menyangkut KKA dan APE juga pada formulir K/0/BKB/15 untuk
penambahan data jumlah sasaran kelompok Bina Keluarga Balita agar dapat
terpantau besaran cakupan kegiatan pembinaan keluarga melalui BKB.
DAFTAR PUSTAKA
Apriluana, G. dan
S. Fikawati. 2018. Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap Kejadian Stunting pada Balita
(0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia Tenggara. Media Litbangkes, 28 (4):
247-256
Atmarita.
2018. Asupan Gizi Yang Optimal Untuk Mencegah Stunting. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan. Semester I 2018. Jakarta, Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI
Baiti, N. 2020. Pola Asuh
dan Komunikasi Orang Tua Terhadap Perkembangan Bahasa Anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(1) : 42-50
Budiyanto. 2017. Pengantar Pendidikan Inklusif
Nernasis Budaya Lokal. Jakarta Prenadamedia
Group.
Danila, I.D. Pawa, A.
Choiruni, dan A. Wijayanti. 2018. Geospatial Analysis Pada Prevalensi
Stunting di Kabupaten Manggarai. Berita Kedokteran Masyarakat, UGM Public
Health Symposium, 34(11).
Mitra. 2015. Permasalahan Anak Pendek
(Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kajian
Kepustakaan). Jurnal
Kesehatan Komunitas, 2(6): 254-261
Ni’mah, K. dan S. R. Nadhiroh. 2015. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita. Media Gizi Indonesia, 10 (1):
13–19
Oktriyanto. 2016.
Partisipasi Kelurga Anggota Bina
Keluarga Balita (BKB)Dalam Pengsuhan dan Tumbuh Kembang Anak Usia 0-6 Tahun. Jurnal Kependudukan Indonesia, 11(2): 133-142
Pebria, A. 2019. How Maximizing Child Potential,
Cara Ampuh Memaksimalkan Potensi Anak. Jakarta PT. Elex Media
Komputindo
Peraturan Kepala BKKBN Nomor 12
Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Bian Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI)
Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2018 Tentang Penyediaan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini
Rahmadhita, K. 2020. Permasalahan
Stunting dan Pencegahannya, Jurnal Ilmiah Kesehatan
Sandi Husada, 11(1): 225-229
Ruaida, N. 2018. Gerakan
1000 Hari Pertama Kehidupan Mencegah Terjadinya Stunting (Gizi Pendek) di
Indonesia. Global Health Science, 2(2): 139-151
Setiawan, E., M.
Rizanda, dan Masrul. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2): 275-284
Sutarto, D. Mayasari dan R. Indriyani. 2018. Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya. Jurnal
Agromedicine 5(1): 540-545
Tejo,
M. 2019. Stunting Balita Indonesia dan Penanggulangannya. Bidang Kesejahteraan
Sosial, Kajian Singkat Terhadap Aktual Dan Strategis (Info Singkat), XI(22/II):
13-18
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga.
Wiyani, N. A. 2018. Manajemen Program
Pembiasaan Bagi Anak Usia Dini, Yogyakarta Gava Media.
ABSTRACT