Pasal 18 Undang-undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam
penyusunan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:
- Sistem Ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan cara dekosentrasi dan desentralisasi serta tugas pembantuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Daerah yang dibentuk berdasarkan cara desentralisasi dan dekosentrasi adalah daerah Propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan cara desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan cara desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
- Pembagian Daerah diluar daerah Propinsi dibagi habis kedalam Daerah Otonom. Dengan demikian, wilayah adiministrasi yang berada didalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
- Kecamatan yang menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekosentrasi menurut Undang-undang ini kedudukannya di ubah menjadi Perangkat Daerah Kabupaten dan perangkat Daerah Kota.
Pemerintahan Daerah menurut Ketentuan
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut
Asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati
atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
Dalam
negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan berada dalam satu tangan
pemerintah, tetapi dengan asas desentralisasi kekuasaan pemerintahan
itu dapat didistrubusikan kepada pemerintah daerah. Dalam kaitannya
dengan pemencaran kekuasaan pemerintahan itu sepanjang sejarah
pemerintahan daerah di Indonesia telah dikenal berbagai model dalam
rangka apa yang menjadi urusan pusat dan apa yang menjadi urusan daerah.
Pembagian
urusan antara pusat dan daerah sebagaimana dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007. Secara substansi dan filofis tentu ada
perbedaan yang mendasar antara konsep pembagian kewenangan dan konsep
pembagian urusan, meskipun dalam prakteknya bagi pemerintah daerah tidak
dirasakan. Hal ini terutama kalangan pemerintah daerah lebih fokus pada
adanya urusan. Padahal terdapat suatu perbedaan yang mendasar mengelola
pemerintahan daerah dibawah konsep pembagian kewenangan dengan konsep
pembagian urusan.
Untuk Program Kependudukan dan KB di tingkat Pusat dan Propinsi mengacu pada UU No 52 tahun 2009, namun untuk pengelolaan program KB tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 lampiran pada huruf L sebagai berikut :
L. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG
KELUARGA BERENCANA
DAN KELUARGA SEJAHTERA
SUB BIDANG
|
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
|
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
|
1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan
Kesehatan Reproduksi
|
1.a. Penetapan
kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan
masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak
skala provinsi.
b.Pemberian dukungan operasional
jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan
masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak
skala provinsi.
c. ―
2.a. Pemberian
dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB,
peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi,
serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
b. ―
3.a.Pengelolaan
jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan
masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak
skala provinsi.
b. ―
c. ―
d.
―
e. ―
f.
g. ―
h. ―
4.a.
Penyediaan
sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.
b.
―
c.
―
5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi
pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi.
b.
|
1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan
KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi,
serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota.
b.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan
KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB,
peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi,
serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
c.
Penetapan dan pengembangan jaringan
pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit
skala kabupaten/kota.
2.a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan,
sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran “Unmet Need”, sasaran
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup
ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota.
b. Penyerasian
dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan
reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan
reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
3.a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB,
peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi,
serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
b. Pemantauan
tingkat drop out peserta KB.
c.
Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh
KB.
d. Perluasan
jaringan dan pembinaan pelayanan KB.
e. Penyelenggaraan
dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan
reproduksi.
f. Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya
peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan,
terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
g. Pembinaan
penyuluh KB.
h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan
gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB
dan kesehatan reproduksi.
4.a. Penyediaan sarana
dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang
yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota.
b.Pelaksanaan
distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan
pelayanannya dengan prioritas keluarga
miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.
c.Penjaminan
ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri
skala kabupaten/kota.
5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak
reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.
b. Pelaksanaan
informed choice dan informed consent dalam program KB.
|
2.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
|
1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS,
IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
b. Pemberian
dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala
provinsi.
2.a. Fasilitasi
pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan
HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
b. ―
3.a. Pengelolaan
KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
b.
―
c.
―
d.
―
e.
―
f. ―
4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR
termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor
pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi.
|
1.a. Penetapan
kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
b. Penyelenggaraan dukungan operasional KRR,
pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.
2.a.Penetapan perkiraan
sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala
kabupaten/kota.
b.Penyerasian dan penetapan kriteria serta
kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya
NAPZA skala kabupaten/ kota.
3.a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk
pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR
termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor
pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota.
c. Penetapan
fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA
baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
d. Pelaksanaan
KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah
dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
e. Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan
HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.
f .Penetapan prioritas kegiatan KRR
termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.
4.
Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR
termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor
pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
|
3.
Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan
dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
b.
―
2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma,
standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan
keluarga skala provinsi.
b. ―
3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala
provinsi.
b. ―
c. ―
d.
―
e.
―
f. ―
g. ―
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan
dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan
dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
2.a. Penyerasian penetapan kriteria
pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
b. Penetapan sasaran Bina
Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL)
skala kabupaten/ kota.
3.a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk
pendidikan pra-melahirkan skala kabupaten/ kota.
b.Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan
keluarga skala kabupaten/kota.
c. Pelaksanaan model-model kegiatan
ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
d. Pembinaan teknis peningkatan
pengetahuan, keterampilan,
kewirausahaan dan manajemen usaha
bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi
dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota.
e. Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi
para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.
f. Pelaksanaan
kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta
pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota.
g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga
skala kabupaten/kota.
|
4.
Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan
penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala
provinsi.
b.
―
2.a.Fasilitasi pelaksanaan
pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring
program skala provinsi.
b.
―
c.
―
d.
―
e.
―
f. ―
3.a.
Pengelolaan operasional penguatan
pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
b.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan
pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan
penelitian.
c.
―
d.
―
e.
―
f. ―
g.
―
h.
―
i. ―
j. ―
k.
―
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan
pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
b.
Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil
berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
2.a.Penetapan perkiraan
sasaran pengembangan penguatan pelembagaan
keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
b.
Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian
angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.
c.
Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran
Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.
d.
Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan
fungsional penyuluh KB.
e.
Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi
masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.
f.
Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran
serta mitra program KB nasional.
3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana
dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis
tokoh masyarakat dan tokoh agama.
b.
Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB.
c.
Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.
d.
Penyediaan dukungan operasional IMP dalam
program KB nasional.
e.
Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam
program KB nasional.
f.
Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan
mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.
g.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan
pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.
h.
Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
i.
Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih
terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.
j.
Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan
dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota.
k.
Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan
kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.
|
5.
Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi (KIE)
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi
dan KIE skala provinsi.
b. Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala
provinsi.
2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan
advokasi dan KIE skala nasional.
b. ―
3.a.
Pengelolaan pengembangan advokasi dan
KIE skala provinsi.
b.
―
c.
―
d.
―
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
b. Penyelenggaraan
operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota.
2.a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE
skala kabupaten/kota.
b.Penyerasian dan
penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
3.a.Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling
program KB dan KRR.
b. Pelaksanaan
KIE ketahanan dan pemberdayaan
keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.
c. Pemanfaatan
prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR,
ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil
berkualitas.
d. Pelaksanaan
promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan
perlindungan hak-hak reproduksi.
|
6. Informasi
dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga
|
1.a.
Penetapan kebijakan dan pengembangan
informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
b.
Fasilitasi operasional pengelolaan
informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
2.a.
Fasilitasi pelaksanaan pedoman
pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala
provinsi.
3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta
data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
b. ―
c. ―
d. ―
e. ―
|
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi
serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
b. Penyelenggaraan informasi serta data mikro
kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
2.a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan
informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
b. Informasi
serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
3.a.Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen
program KB nasional.
b. Pemutakhiran,
pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.
c. Pengelolaan data dan informasi program KB
nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.
d. Pemanfaaan
data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.
e. Pemanfaatan operasional jaringan
komunikasi data dalam pelaksanaan e-government
dan melakukan diseminasi informasi.
|
7.
Keserasian
Kebijakan Kependudukan
|
1.
Pelaksanaan kebijakan terpadu antara
perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan
pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
2. Pengkajian
dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika
kependudukan di provinsi.
3.a.
Penyerasian isu kependudukan ke dalam
program pembangunan di provinsi.
b.
―
|
1. Penyelenggaraan
kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu
antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas)
dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota.
2. Pengkajian
dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika
kependudukan di daerah kabupaten/kota.
3.a.
Penyerasian
isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota.
b.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan
daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah
kabupaten/kota.
|
8. Pembinaan
|
1. Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi,
asistensi, fasilitasi, dan supervisi
pelaksanaan program KB nasional.
|
1.
Monitoring, evaluasi, asistensi,
fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota.
|
Mengacu pada tabel di atas maka jelas beberapa kegiatan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera yang sudah di serahkan kewenangannya ke Pemerintah Daerah, seharusnya mendapat porsi di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Namun kenyataannya, tidak semua daerah merasa perlu untuk menempatkan program KB dalam APBD selain program-program dari sektor riil. Hal ini disebabkan Kependudukan dan KB bukan investasi yang bisa diambil dalam 5 tahun melainkan dalam jangka panjang. Sedangkan kepentingan pada pengampu jabatan di Pemerintah Daerah adalah investasi lima tahunan untuk dipetik dalam Pilkada.
Akan tetapi bila melihat pada terbitnya UU No 32 Tahun 2004 dimana hierarchi tata pemerintahan di atur sangat jelas, seharusnya ketika Pemda tidak dapat melakukan koordinasi dengan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi maka akan dikenakan sanksi dalam pengalokasian dana pembangunan. Tentunya, program KB termasuk dalam ketentuan ini bila mengacu pada PP 32 tahun 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Email