Sebuah pembangunan terjadi dikarenakan adanya legalitas dalam sistem pemerintahan dan juga adanya peraturan hukum yang memayungi pelaksanaan sistem di dalam pemerintahan itu sendiri. Sisitem yang dimaksud disini terkait dengan sumber daya organisasi berupa manusa, peralatan, metoda, keuangan dan pasar atau target pelayanan yang masing-masing bergerak dan berfungsi namun satu sama lain saling berpengaruh.
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan diukur melalui berbagai macam tolok ukur namun pada dasarnya mengacu pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Saat sebuah lembaga memfokuskan kegiatan pada sarana dan prasarana maka kriteria meningkatnya kesejahteraan masyarakat diukur dari tingkat kemudahan sarana dan prasarana tersebut dalam mendukung masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder dan bahkan kebutuhan tertier-nya. Demikian pula dengan fokus-fokus kegiatan lembaga lainnya seperti perikanan, perkebunan, pertanian, tenaga kerja dan lain-lain.
Dalam sisitem pembangunan di Indonesia. pernah dilaksanakan pembangunan sentralistik. Pembangunan ini baik dari segi perencanaan maupun pelaksanaannya sangat bergntung pada pemerintah pusat. Pemerintahan di pusat negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menjadi haluan pelaksanaan pembangunan dengan mengacu pada kebutuhan negara. Oleh karenanya, sebuah kebijakan akan dikeluarkan dan mengikat secara hukum masyarakat yang ada dalam negara dari tingkat nasional sampai dengan tingkat terendah yaitu kelurahan dan desa. Pada sistem ini, seringkali terjadi penyeragaman kebijakan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh daerah tertentu meskipun daerah lain sudah tepat guna.
Reformasi kemudian mengambil peran dengan mengatur ulang formasi pembangunan. Pembangunan dipandang tidak lagi bisa bersifat sentralistik sebab kebutuhan setiap daerah berbeda. Oleh karenanya, otonomi diberlakuan dan daerah dapat melakukan pembangunan sesuai dengan kondisi sumber daya yang dimiliki daerah untuk memenuhi kebutuhan yang memang menjadi kebutuhan masyarakat di daerah. Otonomi yang tepat adalah bila diberlakukan hanya untuk tingkat Kabupaten/Kota dengan asumsi, tingkat Kabupaten/Kota lah yang memiliki masyarakat sebenarnya. Akan tetapi kenyataannya, pemerintah juga menempatkan otonomi untuk provinsi yang notabene tidak memiliki kedekatan emosional sebagaimana Kabupaten/Kota terhadap masyarakatnya.
Pemerintah provinsi seharusnya hanya mengemban tugas sebagai perpanjangan pemerintah pusat sehingga pimpinan daerahnya tidak berasal dari partai-partai politik agar tugas regulasi, koordinasi dan fasilitasi tidak diabaikan akibat adanya perbedaan kepentingan politik. Dengan pimpinan provinsi berasal dari birokrat memungkinkan sebagai pemersatu dari kabupaten/kota yang ada sehingga kebijakan pusat yang seharusnya bisa diturunkan ke tingkat kabupaten/kota tetap dapat dikaji dengan lebih seksama. Selama dua periode pemerintahan pasca reformasi, konflik kepentingan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota tidak jarang terjadi dikarenakan pimpinan daerah mengemban visi dan misi partai yang jelas berbeda satu sama lain.
Pengubahan status penetapan pimpinan daerah provinsi tentunya akan jauh lebih penting daripada pengubahan status penetapan pimpinan daerah kabupaten/kota. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kabupaten/kota lah yang secara de jure dan de facto memiliki luas wilayah dan penduduk, pemerintah daerah lah yang lebih memiliki keterikatan emosional dengan masyarakatnya. Oleh karena itu sudah seharusnya pula pimpinan daerah kabupaten/kota dipilih oleh masyarakat di wilayah tersebut.
Argumentasi di atas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap wilayah Kalimantan Selatan setelah Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan memutuskan untuk menggunakan aplikasi mutasi data keluarga online dalam upaya membuat peta keluarga agar pembangunan keluarga bisa lebih terfokus dan tepat sasaran sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan keluarga.
Pemerintahan adalah sistem besar yang terdiri dari banyak sub sistem. Berjalannya sub sistem juga sangat dipengaruhi oleh sub sistem yang lain. Diantara sekian banyak sub sistem yang bergerak, yang paling besar pengaruhnya adalah sub sistem pemerintahan itu sendiri. Dari proses input data diketahui kondisi-kondisi sebagai berikut :
- Wilayah Kelurahan dan desa tidak memiliki dusun atau rukun warga tetapi memiliki RT. Di Kalimantan Selatan terdapat 1 kabupaten yang tidak memiliki Dusun atau Rukun Warga. Padahal dilihat dari segi luas wilayah dan jumlah penduduknya sangat memungkinkan untuk membentuk RW atau Dusun.
- Wilayah Kelurahan dan desa dengan RW atau Dusun yang memiliki RT kurang dari 2 buah
Perbedaan-perbedaan dalam menentapkan dusun/ruknn warga dan rukun tetangga ini berhubungan erat dengan peraturan hukum mengenai pembentukan RW/Dusun dan RT. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang desa (“PP Desa”). Pasal 3 ayat (1) PP Desa menyatakan“Dalam wilayah desa dapat dibentuk dusun atau sebutan lain yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa.” Pembentukan Dusun/Rukun Warga didasarkan pada pelaksanaan pembangunan yang efektif dan efisien.
Dikarenakan pembangunan merupakan sesuatu yang kompleks maka pengorganisasian masyarakat mutlak diperlukan agar pelaksanaan yang kompleks tersebut menjadi lebih mudah dilakukan. Oleh karenanya, ketika sebuah daerah tidak membentuk rukun warga atau dusun melainkan langsung ke rukun tetangga maka pengorganisasian-nya tidak semudah apabila ada rukun warga / dusun sebelum rukun tetangga. Komunikasi lebih efektif menggunakan RW baru ke RT daripada langsung ke RT dengan jumlah yang banyak.
Sebaliknya dengan daerah yang jumlah RT-nya sedikit kalau dibentuk RW/Dusun maka jelas tidak akan menjadikan efektif.