SCROLL

SELAMAT DATANG DI Uniek M. Sari's BLOG

Jumat, 16 November 2012

MEMAHAMI ASSESSMENT

Demi pengembangan mutu kompetensi para pekerjanya, banyak organisasi yang kini mengembangkan apa yang disebut sebagai competency-based Human Resource Development.  Pendekatan ini seharusnya menjadikan elemen kompetensi sebagai salah satu pilar dalam mendongkrak produktivitas karyawan  sekaligus memekarkan kinerja bisnis. Pengembangan kompetensi karyawan secara konstan dengan demikian merupakan sebuah rute panjang yang mesti ditempuh dengan penuh kesungguhan. Tantangannya adalah bagaimana cara mengukur level kompetensi seorang karyawan, dan metode apa yang sebaiknya digunakan untuk keperluan itu. Disinilah kita kemudian bersinggungan dengan sebuah metode yang acap disebut sebagai assessment center.
Assessment center sejatinya bukan merujuk pada sebuah bangunan, atau center, namun pada sebuah metode pengukuran kompetensi. Secara spesifik, assessment center mencoba menggali level kompetensi seseorang melalui serangkain jenis tes (multiple test), dan biasanya juga dilakukan oleh lebih dari satu penilai (rater). Berdasar sejumlah riset empirik, assessment center diketahui memiliki validitas yang tinggi dalam memprediksi level kompetensi individu.
Perlu juga segera ditambahkan bahwa metode assessment center ini hanya digunakan untuk menguji jenis kompetensi soft (soft competency) atau sering juga disebut sebagai managerial competencies (contohnya kompetensi leadership, communication skills, problem solving skills, team skills, dan sejenisnya); dan tidak ditujukan untuk mengukur kompetensi fungsional (seperti marketing research skills, interviewing skills, programming skills, dan sejenisnya).

Jenis tes yang digunakan dalam metode assessment center bervariasi, dan biasanya mencakup sejumlah tes berikut. Yang pertama dan lazim digunakan adalah apa yang disebut sebagai Inbox Tes (atau sering juga disebut sebagai in basket test). Dalam tes ini, peserta dihadapkan pada sejumlah email yang masuk ke dalam inbox-nya. Isi email identik dengan situasi sehari-hari yang dihadapi oleh peserta (jika level peserta adalah manajer, maka tipikal isi emailnya tentu juga akan relevan dengan keseharian mereka).

Sebagai misal isi emailnya bisa berupa instruksi dari atasan untuk menyiapkan bahan meeting manajemen bulanan; atau juga keluhan dari rekan kerja tentang lemahnya koordinasi antar bidang; atau juga sekedar undangan seminar dari event organizer di luar. Tugas peserta adalah memilah, menganalisa dan kemudian memberikan respon terhadap serangkaian email tersebut. Tes ini biasanya digunakan untuk menguji kompetensi peserta dalam melakukan pemilahan prioritas dan juga kemampuan dalam analytical thinking and decision making.

Jenis tes lain yang acap digunakan adalah group discussion, dimana para peserta (biasanya lima hingga enam orang) diminta duduk berkelompok dan mendiskusikan tema tertentu yang telah ditentukan oleh penilai. Dari tes ini penilai akan melakukan observasi dan kemudian menilai kompetensi peserta dalam aspek communication skills dan juga interpersonal skills.

Selain itu dalam asessment center, para peserta juga diberi tes case analysis. Jenis tes ini biasanya berupa kasus yang identik dengan situasi yang dihadapi oleh sebuah perusahaan – misal kasus tentang cara melakukan proses change management di sebuah perusahaan yang hampir kolaps. Para peserta kemudian diminta untuk menganalisa dan merumuskan rekomendasi secara tertulis. Melalui tes ini para peserta diuji kompetensinya dalam melakukan analytical thinking, dan juga writing skills mereka (melalui rekomendasi yang mereka susun secara tertulis).

Biasanya, hasil rekomendasi case analysis ini juga harus dipresentasikan oleh peserta, sehingga penilai juga bisa menguji kompetensi mereka dalam aspek presentation skills dan influencing skills (mempengaruhi orang lain untuk percaya dengan rekomendasi dan argumentasi yang disusunnya).

Demikianlah, melalui serangkain tes tersebut para penilai (biasanya berjumlah tiga orang) akan melakukan observasi dan penilaian menyeluruh mengenai sejumlah kompetensi yang dianggap kritikal. Keseluruhan proses assessment center ini biasanya memakan waktu antara satu hingga dua hari, tergantung jumlah dan tingkat kesulitas tes yang digunakan.

Melalui metode assessment center inilah, pihak manajemen kemudian bisa mengetahui dengan cukup akurat potret kompetensi para karyawannya. Dan dari sinilah kemudian bisa disusun sejumlah employee development plan yang relevan. Ujungnya tentu agar segenap karyawan bisa terus berkembang  level kompetensinya.

Berdasar pada keseluruhan uraian mengenai assessment di atas memberikan indikasi bahwa organisasi-organisasi modern akan menggunakan assessment pada saat melakukan perencanaan Sumber Daya Manusia. Namun tidak semua hasil assessment kemudian bisa dijadikan landasan dalam penetapan seseorang dalam sebuah kedudukan dan jabatan. Ini disebabkan, hasil assessment masih dipengaruhi kondisi kesehatan saat seseorang di tes assessment.

Kamis, 15 November 2012

LEGAL ASPECT 4 LINI LAPANGAN



Legal aspek bukanlah konsep baru dan selama Diklat PIM III konsep ini semakin sering didengar dalam materi-materi yang disampaikan Drs. Sugiyanto, widyaiswara BKKBN Pusat, terutama tentang Pemerintahan, Pembangunan dan Administrasi Publik.

Amandemen UUD 45 pada pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan Indonesia adalah negara hukum memberikan kepastian bahwa tindakan berdasarkan hukum akan lebih diakui di Indonesia. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan kalau saat ini, legal aspek atau aspek legalisasi dari sudut pandang hukum menjadi satu hal yang penting di Indonesia.

DAMPAK OTONOMI

Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah diberlakukan dalam rangka menjawab tantangan pemerataan pembangunan di Indonesia. Ini dikarenakan secara geografis Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas terbagi dalam beberapa pulau besar, kecil dan kepulauan. Undang-Undang ini memberikan kebebasan bagi tiap-tiap daerah untuk memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia sesuai kearifan lokal untuk kepentingan masyarakat di daerah itu sendiri.

Pemberlakuan Undang-Undang ini diikuti dengan penetapan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagi an Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Konsekwensi penyerahan kewenangan ini tentunya berdampak pada komponen pelaksana kewenangan itu sendiri.

Program Keluarga Berencana merupakan salah satu yang kewenangannya termasuk diserahkan ke Pemerintah Daerah. Ketika program Keluarga Berencana diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah maka komponen pelaksana program itu sendiri juga menjadi bagian yang diserahkan ke Pemerintah Daerah. Komponen pelaksana program yang menjadi kewenangan daerah adalah dari organisasi unit kerja di tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan petugas di lini lapangan.

Ideal-nya, dengan dilaksanakan otonomi daerah dan penyerahan kewenangan ke daerah maka program keluarga berencana akan lebih baik lagi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pasca program Keluarga Berencana di otonomi-kan, banyak hal yang kemudian muncul sebagai dampaknya. Hal yang paling nyata terlihat adalah menurunnya angka kehadiran keluarga dalam kegiatan pembinaan melalui kelompok kegiatan. Padahal dari kesertaan dalam kelompok kegiatan ini ada banyak manfaat bagi keluarga yang bermuara pada pelayanan KB dalam rangka pengendalian TFR sebagai target Pembangunan Kependudukan dan KB secara nasional.

Menurunnya angka kehadiran keluarga dalam kelompok kegiatan disebabkan banyak faktor namun yang lebih dominan adalah ketidak tersediaannya anggaran atau yang bersifat operasional guna mendukung berjalannya institusi measyarakatan itu sendiri.


PERUBAHAN MINDSET

Penerapan UU no 32 tahun 2007 dan PP no 38 tahun 2007 berakibat adanya perubahan lingkungan intern maupun ekstern dalam pelaksanaan program Keluarga Berencana. Dengan lahirnya UU no 52 tahun 2009 tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana yang ditindak lanjuti dengan lahirnya Peraturan Presiden no 62 tahun 2010 tentang BKKBN memberikan kepastian bahwa program KB terkait dengan masalah kependudukan sehingga sebagian besar kewenangannya juga masih berada di BKKBN Pusat. Hal ini bila dikaitkan dengan ketersediaan anggaran akan tetap memiliki permasalahan sebab dari APBN tidak lagi untuk memberikan dana operasional sampai di level lini lapangan. 

Perubahan lingkungan ini seharusnya diikuti pula dengan perubahan mindset di tingkat pembuatan kebijakan terutama dalam melahirkan kebijakan disesuaikan pula dengan perubahan yang terjadi di negara Indonesia.

Dengan dibuatnya kepastian bahwa Indonesia adalah negara hukum maka dalam pelaksanaan program KB yang menyangkut lini lapangan haruslah memperhatikan legal aspect. Beberapa kebijakan dalam menanggulangi permasalahan terkait dengan lini lapangan pasca otonomi yang dapat dilakukan oleh para pengambil kebijakan adalah :

  1. Membuat instrumen legal aspect mengenai mekanisme pengelolaan program sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni dengan menggunakan UU 52/2009 sebagai landasan hukum untuk melahirkan peraturan atau keputusan Presiden mengenai program kegiatan. Ini didasarkan pada asumsi bahwa BKKBN adalah lembaga non departemen yang dalam peraturan Hukum Administrasi Negara hanya akan memiliki legal aspect kalau didasarkan pada Keputusan Presiden. Berikutnya, menggunakan Perpres no 62/2010 sebagai landasan hukum untuk melahirkan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota. Ini didasarkan pada asumsi bahwa peraturan gubernur dan peraturan bupati/walikota memiliki kekuatan dalam legal aspect pelaksanaan program KB di tingkat Kabupaten/Kota.
  2. Membuat instrumen legal aspect untuk institusi penunjang program Kependudukan dan KB dengan mendaftarkan institusi-institusi tersebut ke Pemerintah Daerah khususnya ke Badan Kesatuan Bangsa dan Pelindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) di Kabupaten/Kota. Institusi tersebut bisa dimasukkan ke dalam kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Ikatan Penyuluh KB,    Kelompok Kegiatan (Poktan) seperti BKB, BKR, BKL dan UPPKS,  Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) seperti PPKBD maupun Sub PPKBD. Dengan terdaftarnya institusi-institusi tersebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat sangat memungkinkan untuk mendapatkan dukungan operasional melalui anggaran yang tersedia.
Tulisan ini dibuat atas dasar kepedulian terhadap program Kependudukan dan KB di lapangan yang terengah-engah pasca otonomi daerah karena mindset pengelolaannya yang belum berubah. Hal-hal penting terkait tulisan ini adalah 
  • Ikatan Penyuluh KB yang sudah memiliki ketetapan organisasi dari tingkat Kabupate/Kota. Propinsi dan Pusat dapat membuat legal aspect sesuai dengan posisi institusi ini berada
  • Institusi lainnya harus didahului dengan pembuatan organisasi induk di Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.
SEMOGA BERMANFAAT

PROGRAM UNTUK SEMUA LAPISAN



KB UNTUK SIAPA ?

Berdasar Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyebutkan bahwa program Keluarga Berencana dilaksanakan dalam rangka mengendalikan kuantitas, peningkatan kualitas dan mobilitas penduduk. Penempatan nomenklatur Kependudukan dimaksudkan bahwa pengendalian kuantitas penduduk dilakukan melalui pelayanan alat kontrasepsi, peningkatan kualitas penduduk melalui pembinaan keluarga sesuai dengan siklus usia seperti BKB bagi keluarga yang punya Balita, BKR bagi keluarga yang punya remaja dan persiapan berkeluarga bagi remaja, BKL bagi keluarga yang punya lansia dan persiapan lansia peduli, UPPKS bagi PUS yang memiliki kegiatan usaha. Pembinaan keluarga ini pada akhirnya juga mengarah pada kesertaan ber-KB bagi keluarga yang menjadi anggota kelompok kegiatan.
Idealnya menurut UU No. 52 tahun 2009, program KB diperuntukkan bagi semua keluarga Indonesia dari segala lapisan. Namun sesuai kebijakan yang telah ditetapkan, implementasi program KB lebih di arahkan pada keluarga Pra Sejahtera I dan Keluarga Sejahtera I. Hal ini memberikan gambaran bahwa program KB lebih terfokus pada Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Bahkan secara geografis program KB ini lebih diarahkan pada wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan.
Dengan kondisi tersebut maka bisa diambil kesimpulan bahwa program KB hanya diperuntukkan bagi  keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I yang berada di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Melihat pada hal tersebut, ada pernyataan yang cukup menggelitik yaitu bahwa program KB tidak diperuntukkan bagi keluarga mampu.

HAK AZASI MANUSIA

Memiliki anak adalah hak azasi setiap pasangan usia subur. Akan tetapi, hak pasangan usia subur ini juga dihadapkan pada hak azasi perempuan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan di bidang kesehatan reproduksi. Oleh karenanya, kesehatan reproduksi bagi perempuan diupayakan menjadi dasar bagi PUS saat membuat kesepakatan mengenai jumlah anak diinginkan. Dalam konteks kesehatan reproduksi bagi perempuan maka jumlah kelahiran sehat adalah saat perempuan berusia dia atas 20 tahun dan di bawah 35 tahun sedangkan jarak kehamilan satu dengan yang lain minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun. Dengan demikian, idelanya setiap Pasangan Usia Subur hanya akan memiliki 2 sampai dengan 3 orang anak.
Berdasar kesehatan reproduksi ini jelas bahwa sebenarnya program KB dalam hal pengaturan jumlah penduduk bukan hanya diperuntukkan bagi keluarga pra sejahtera dan KS I di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan melainkan untuk semua lapisan.
Hal lain harus dipertimbangkan adalah kemampuan sarana dan prasarana sosial yang mampu disediakan pemerintah sangat terbatas. Keterbatasan sarana dan prasarana sosial ini mengharuskan setiap keluarga untuk memperhatikan hak azasi manusia satu sama lain. 
Logika berpikir yang bisa dipergunakan adalah bahwa ketika sebuah keluarga mampu memiliki 4 (empat) orang anak maka dengan kemampuan finansial akan memungkinkan anak-anak tersebut mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Hal ini tentunya menggeser anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan fasilitas sarana dan prasarana pendidikan sehingga walaupun keluarga tidak mampu hanya memiliki 2 (dua) orang anak tetap tidak akan bisa mendapat fasilitas pendidikan karena dikalahkan secara finansial oleh keluarga mampu.
Dengan logika berpikir semacam ini maka jelas bahwa toleransi keluarga mampu terhadap keluarga tidak mampu ( baca : pra sejahtera dan keluarga sejahtera I ) adalah dengan memberikan hak azasi anak dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah anak dari keluarga mampu secara ideal dan tepat.
Dari keseluruhan uraian ini menjawab pernyataan bahwa program Keluarga Berencana tidak diperuntukkan bagi keluarga mampu dapat dibantah.

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman di lapangan dalam menggarap program KB di wilayahnya masing-masing.

Selasa, 08 Mei 2012

ANGGARAN UNTUK MEKANISME OPERASIONAL LINI LAPANGAN

Seorang teman menitipkan artikel ini di wall facebook saya.

REVIVALISASI >< REVITALISASI

REVIVALISASI berasal dari Bahasa Inggris ; REVIVA : Hidup Kembali. Dalam konteks artikel ini, REVIVAL : Menghidupkan Kembali sedangkan konsep “ REVIVALISASI “ : Gerakan untuk menghidupkan kembali / Membangkitkan kembali.
Pengertian MEKOP ( Nomenklatur ) BKKBN : Bekerja atau berfungsinya berbagai ” Komponen Operasional Program KB ” secara teratur, terencana dan terus menerus yang satu sama lain saling berkaitan, saling mempengaruhi dan saling menguntungkan secara sinergis dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan. Atau prinsip inti dari MEKOP adalah ” Terselenggaranya berbagai pertemuan Interen dan Ekteren serta pelayanan KIE dan Pelayanan alat kontrasepsi dan sarana KB ”
Dari kedua konsep REVIVALISASI dan MEKANISME OPERASIONAL LINI LAPANGAN dimaksudkan sebagai Gerakan untuk menghidupkan kembali / Membangkitkan kembali Operasional Lini Lapangan tentang Program Keluarga Berencana Nasional. Konsep ini sangat berbeda jauh dengan yang sering digaungkan selama ini dengan konsesp REVITALISASI atau  MENGUTAMAKAN atau MENGEDAPANKAN lagi sebuah program yakni Mekanisme Operasional Lini Lapangan. Ini dikarenakan kerangka pikir REVIVALISASI MEKANISME OPERASIONAL  LINI LAPANGAN merupakan satu gagasan untuk usaha gerakan dalam membangkitkan atau menghidupkan kembali agar berfungsinya berbagai komponen operasional program KB secara teratur, terencana dan terus menerus yang satu sama lain saling berkaitan, saling mempengaruhi dan saling menguntungkan secara sinergis dalam mencapai Visi dan Misi Program KB.

INDIKATOR MEKANISME OPERASIONAL 

” REVIVALISASI MANAGEMEN OPERASIONAL LINI LAPANGAN ” perlu dikondisikan di semua tingkatan, sesuai dengan Estimasi / Proyeksi Program KB sejak digagas dari awal bahwa setelah pencapaian kesertaan Pasangan Usia Subur menggunakan alat KB telah mencapai di atas 70 % atau Fhase III (Phase Pelembagaan), maka konsentrasi kegiatan akan lebih banyak di tingkat Kecamatan dan Desa ( di tingkat teknis operasional) atau Mekanisme Operasional lebih dominan di tingkat Kecamatan dan Desa.

Mekanisme Operasional Tingkat Kecamatan ditandai dengan adanya :
1. Pertemuan Interen
    Rapat pertemuan petugas (Staff meeting)
2. Pertemuan Eksteren
    a) Rapat teknis pelayanan KB. (Pelayanan kontrasepsi dan pelayanan PUP )
    b) Rapat Koordinasi Program KB tingkat Kecamatan
    c) Rapat / Pertemuan Forum Pos KB Desa

Dalam kegiatan pertemuan tersebut di bahas hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan KIE di POKTAN, Rencana Pelayanan Kontrasepsi, Pelayanan pemberdayaan Keluarga dan pelayanan PUP serta jadwal kegiatan terintegrasi lainnya seperti penyuluhan tentang KDKRT, Penyuluhan Pemberdayaan Perempuan dan penyuhan tentang perlindungan anak.

Mekanisme Operasional Tingkat Desa ditandai dengan adanya kegiatan :
1) Pertemuan Interen :
    Pertemuan Petugas ( PKB / PLKB ) dengan perangkat Desa dan RW, RT
2) Pertemuan Eksteren
    a) Pertemuan Institusi Masyarakat Pedesaan ( IMP ) atau pertemuan Pos KB dan Sub KB Desa.
    b) Rapat Koordinasi atau Rapat Minggon tingkat Desa
 

Tujuan dari berjalannya Mekanisme Operasional antara lain :
  1. Tersampaikannya informasi teknis maupun politis yang berkaitan dengan pengelolaan Program KB atau Program-program pembangunan lainnya kepada pengelola program di Desa 
  2. Terbentuknya kesepakatan operasional dari berbagai unsur terkait dalam pelaksanaan program KB di daerah 
  3. Berlangsungnya pengelolaan Program KB secara terencana, terstruktur dan terus menerus.
EMPAT PILAR REPRESENTATIF UNTUK REVIVALISASI

Hal pokok yang dipandang perlu menjadi pertimbangan untuk dilaksanakannya REVIVALISASI MEKOP sangat berkaitan dengan pencapaian Visi dan Misi Program KB sebab dengan Revivalisasi maka akan dapat terwujud bila dilandaskan pada 4 pilar sebagai berikut :

1. KELEMBAGAAN YANG JELAS DAN KUAT.
  • Kelembagaan Formal baik secara vertikal yakni Pemerintah, BKKBN Pusat, Perwakilan  BKKBN 
  • Propinsi maupun SKPD-KB di Kabupaten/Kota hingga ke Lini Lapangan yakni Petugas Lapangan  KB
  • Kelembagaan Non Formal seperti PKBI, LKBI, LKB TNI/POLRI dan PPKBD ( Pos KB, Sub Pos KB, Kelompok KB )

    Dengan kelembagaan yang jelas ini maka akan berlaku fungsi manajemen terdiri dari POAC.

2. ADANYA PEMERAN DAN PERANANNYA
    Setiap bagian dari pelaksanaan kegiatan memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas.

 3. ADANYA MEKANISME OPERASIONAL ( MEKOP )
     Sesuai dengan pengertian dan indikaor yang sudah dikemukakan sebelumnya.

4. TERSEDIANYA DUKUNGAN DANA DAN SARANA
     Dana yang cukup mulai dari tingkat pusat sampai tingkat RT
     Dengan Sumber Dana berasal dari APBN, APBD, BLN dan Dana dari sumber lain.
 

SASARAN POKOK REVIVALISASI
1. Masalah Perencanaan
2. Masalah Operasional
3. Masalah Ketenagaan
4. Masalah Keuangan
5. Masalah Pencatatan dan Pelaporan / R/R


MEKOP DALAM PP 32/2007 (analisa saya )

Uraian ini sebenarnya memiliki kesinambungan dengan tulisan saya sebelumnya yakni Program KB dalam Pemda. Apabila Pemerintah Daerah menjalankan Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2007 dan menempatkan Kependudukan sebagai pilar penting dalam pembangunan di daerahnya maka tidak ada pertentangan dalam pelaksanaan Revivalisasi Mekanisme Operasional. Sayangnya, kondisi ideal ini belum terwujud karena hanya Pemerintah Daerah di Pulau Jawa saja yang memiliki perhatian khusus terhadap kondisi penduduk di wilayahnya dibanding Pemerintah di luar Jawa. Inipun tidak dikaitkan dengan upaya pengaturan kelahiran melainkan lebih berorientasi pada mobilisasi penduduk ke daerah yang tidak padat penduduk. Hal ini nampak jelas dengan masih disuarakannya ketidak adilan bagi pelaksana program KB di tingkat Kecamatan dan Kelurahan/Desa,

Kondisi tersebut lebih disebabkan adanya dualisme dalam pelaksanaan program Kependudukan dan KB Nasional. Dari sudut pandang program pembangunan, kegiatan Kependudukan dan KB dilihat sebagai program Nasional. Ini tercermin dari terbitnya UU No. 52 tahun 2009 dan Peraturan Presiden No 62 tahun 2010. Dengan berasumsi pada peraturan hukum ini maka hampir seluruh Pemerintah Daerah tidak menganggarkan kegiatan Kependudukan dan KB pada APBD dan bergantung pada dukungan dana APBN murni termasuk operasional hingga ke lini lapangan.

Di sisi lain, berdasar UU no 32 tahun 2004 yang merupakan perubahan UU no 22 tahun 1999 menyebutkan salah satu hal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaannya adalah Sumber Daya Manusia termasuk di dalamnya Pegawai Negeri Pusat yang diperbantukan ke daerah dan warga masyarakat lainnya yang membantu pelaksanaan pembangunan di daerah. Dalam persepsi ini dikaitkan pula dengan PP no 32 tahun 2007 tentang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera menjadi kewenangan Pemerintah Daerah mengandung pengertian bahwa anggaran kegiatan seharusnya berada pada APBD.

Pada perbedaan pandangan ini berdampak pada terabaikannya MEKOP ke dalam penetapan anggaran. Padahal MEKOP merupakn ruh dari pelaksanaan program Kependudukan dan KB. Kalau hasil dari SDKI 2007 menyatakan gebyar program KB sudah mulai sirna maka hal yang bisa dilakuka untuk menggebyarkan lagi program KB dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
  1. Promosi program berskala Nasional baik dalam bentuk roadshow, pameran gelanggang dagang dan seremonial yang tidak menyalahi Keputusan Presiden tentang Pengelolaan APBN
  2. Advokasi dan KIE ke Stakeholder Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk membantu penempatan anggaran pada APBD.
Dengan cara demikian maka dana promosi tidak harus dilakukan dengan gebyar hingga ke lini lapangan melainkan optimalisasi Advokasi ke pemangku kebijakan anggaran di Kabupaten/Kota dan Menteri Keuangan.

Jumat, 04 Mei 2012

Program KB dalam UU Pemda

Pasal 18 Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:
  1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan cara dekosentrasi dan desentralisasi serta tugas pembantuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Daerah yang dibentuk berdasarkan cara desentralisasi dan dekosentrasi adalah daerah Propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan cara desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan cara desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
  3. Pembagian Daerah diluar daerah Propinsi dibagi habis kedalam Daerah Otonom. Dengan demikian, wilayah adiministrasi yang berada didalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
  4. Kecamatan yang menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekosentrasi menurut Undang-undang ini kedudukannya di ubah menjadi Perangkat Daerah Kabupaten dan perangkat Daerah Kota.
Pemerintahan Daerah menurut Ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

Dalam negara  kesatuan, kekuasaan pemerintahan berada dalam satu tangan pemerintah,  tetapi dengan asas desentralisasi kekuasaan pemerintahan itu dapat didistrubusikan kepada  pemerintah daerah.  Dalam kaitannya dengan pemencaran kekuasaan pemerintahan itu sepanjang sejarah pemerintahan daerah di Indonesia  telah dikenal berbagai model  dalam rangka apa yang menjadi urusan pusat dan apa yang menjadi urusan daerah. 
 
Pembagian urusan antara pusat dan daerah sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007.  Secara substansi dan filofis tentu ada perbedaan yang mendasar antara  konsep pembagian kewenangan dan konsep pembagian urusan, meskipun dalam prakteknya bagi pemerintah daerah tidak dirasakan. Hal ini terutama kalangan pemerintah daerah lebih fokus pada adanya urusan. Padahal terdapat suatu perbedaan yang mendasar mengelola pemerintahan daerah dibawah konsep pembagian kewenangan dengan konsep pembagian urusan. 
Untuk Program Kependudukan dan KB di tingkat Pusat dan Propinsi mengacu pada UU No 52 tahun 2009, namun untuk pengelolaan program KB tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 lampiran pada huruf L sebagai berikut :


L. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELUARGA BERENCANA
DAN KELUARGA SEJAHTERA

SUB BIDANG
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
1.  Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi
























































































1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi.

b.Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.


c. ―




2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.

b.  ―





 
 
3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.

b.  ―


c.  ―




d.  ―


e.  ―

    f.





g.  ―

h.   ―




4.a.   Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.

b.     






c.     




5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi.
 b. 
1.a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota.
 
b.  Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.

c.  Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota.

2.a.    Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB,  sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran “Unmet Need”, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota.

b.  Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.

3.a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
 
b. Pemantauan tingkat drop out  peserta KB.

c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB.

 d. Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB.

 e. Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi.

f. Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).

 g. Pembinaan penyuluh KB.

 h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.

4.a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota.

b.Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas  keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.

c.Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota.

5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.

 b.  Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.
2.   Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) 


1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

  b. Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

b.  ―




 
3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

 b.     






 
c.     ―

 


d.       ―




e.       ―




f.  ―


 
4.   Pendayagunaan SDM pengelola,  pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi.
1.a.  Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.

b.  Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.

2.a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.



   b.Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.

3.a.  Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.

 b.  Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota.
  c.   Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
  d.  Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
   e.  Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.

   f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.

4. Pemanfaatan tenaga SDM pengelola,  pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.

3.   Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga

1.a.  Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.

b.   



2.a.  Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.

b.  ―



3.a. Pengelolaan operasional   ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.

  b.   ―




c.   ―




d.        ―





 

e.       ―

 

f.  ―




g.  ―

1.a.    Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
 
b. Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

2.a.    Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.


 b.    Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota.

3.a.  Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra-melahirkan skala kabupaten/ kota.

  b.Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.


 c. Pelaksanaan model-model kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.

  d. Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan,   kewirausahaan dan manajemen usaha   bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota.

 e. Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.

 f.  Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota.

g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.

4.   Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas


1.a.    Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.

b.    ―



 
2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan  keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.

b.       




c.       ―



 d.       ―


 
e.       ―

 

f.  ―

  
3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.


b.    Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.

c.       ―
 
d.       ―

e.       ―

 
f.  ―


g.       ―


h.       ―


i.  ―



j.


k.       ―



1.a.    Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.


b. Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.

2.a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan   keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.

 b.    Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.

c.    Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.

d.    Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB.

e.    Pendayagunaan pedoman  pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.

f.     Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional.
 
3.a.    Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama.

b.    Penyediaan dan pemberdayaan tenaga  fungsional penyuluh KB.


 
c.    Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.

d.    Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional.

e.    Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional.

f.     Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.

g.    Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.

h.   Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.

i.     Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.

j.     Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota.
 
k.    Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.

5. Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.

   b.  Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi.

2.a.  Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE  skala nasional.

b.  ―

 3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.

b.       




c.       ―




 d.       ―



1.a.    Penetapan kebijakan dan  pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

 b.  Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota.

2.a.    Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

b.Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.

3.a.Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.
 
 b. Pelaksanaan KIE  ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.

 c. Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.

 d. Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi.



6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga
1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.

b.    Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.

2.a.   Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.


 
3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.

b.  ―



c.  ―



d.   ―




e.    ―




1.a.    Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

b. Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

 
2.a.    Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

 b. Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.

3.a.Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional.



 b. Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.

 c. Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.

 d. Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.

 e. Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi  data dalam pelaksanaan e-government dan melakukan diseminasi informasi.


7. Keserasian Kebijakan Kependudukan


1.    Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.



2.    Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.


 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi.

   b.  ―
1.    Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota.

2.    Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.

3.a.   Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah  kabupaten/kota.

 b. Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.

8.  Pembinaan


1. Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi  pelaksanaan program KB nasional.
1. Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota.

Mengacu pada tabel di atas maka jelas beberapa kegiatan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera yang sudah di serahkan kewenangannya ke Pemerintah Daerah, seharusnya mendapat porsi di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Namun kenyataannya, tidak semua daerah merasa perlu untuk menempatkan program KB dalam APBD selain program-program dari sektor riil. Hal ini disebabkan Kependudukan dan KB bukan investasi yang bisa diambil dalam 5 tahun melainkan dalam jangka panjang. Sedangkan kepentingan pada pengampu jabatan di Pemerintah Daerah adalah investasi lima tahunan untuk dipetik dalam Pilkada.

Akan tetapi bila melihat pada terbitnya UU No 32 Tahun 2004 dimana hierarchi tata pemerintahan di atur sangat jelas, seharusnya ketika Pemda tidak dapat melakukan koordinasi dengan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi maka akan dikenakan sanksi dalam pengalokasian dana pembangunan. Tentunya, program KB termasuk dalam ketentuan ini bila mengacu pada PP 32 tahun 2007.

Entri yang Diunggulkan

MENILIK KELEMBAGAAN (Pengamatan dari 3 bagian)

S aya sudah pernah menulis mengenai kelembagaan BKKBN dalam artikel di  https://uniek-m-sari.blogspot.com/2015/02/uu-no-23-tahun-2014-dan-kk...