Tahun anggaran 2012 sudah berakhir dan Pemerintah Indonesia memasuki tahun anggaran 2013. Ini berarti, Kabinet Pembangunan Bersatu memasuki tahun ke-4 dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Sudah menjadi tanggung jawab masing-masing lembaga penyelenggara pembangunan untuk melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan di tahun 2012 kemudian menjadikan dasar dalam merencanakan kegiatan 2013. Ada banyak cara yang dilakukan dalam rangkaian kegiatan akhir tahun dan awal tahun kerja ini. Salah satunya adalah kegiatan Rapat Kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah guna mengevaluasi dan merencanakan kegiatan, sebagai wujud pelaksanaan fungsi manajemen yang melekat pada sebuah organisasi.
Penyusunan Kontrak Kinerja Program
Evaluasi terhadap kegiatan di tahun 2012 menjadi landasan untuk menetapkan apa-apa yang akan dikerjakan dalam tahun 2013 dan hal tersebut mengacu pada tujuan dan sasaran kegiatan yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 secara umum sedangkan secara khusus diatur dalam peraturan lembaga pemerintah itu sendiri.
Hal umum yang dievaluasi adalah pencapaian target-target kinerja selama tahun anggaran berjalan. Baik dari segi pencapaian program maupun dari segi pencapaian anggaran. Secara tertulis ini dimuat dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan secara organisatoris ini terangkum dalam kegiatan Rapat Kerja.
Target kinerja yang merupakan Rencana Kerja Pemerintah tertuang di dalam Kontrak Kinerja Program (KKP) yang dipantau setiap tahunnya, untuk mencapai target dalam RPJMN 2010-2014. Untuk pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana, target terkait RPJMN tersebut adalah pencapaian visi Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015 yang dapat diraih dengan menurunkan angka TFR menjadi 2,1 dan CPR menjadi 65%. Namun sampai dengan tahun 2012 melalui kegiatan SDKI 2012 di ketahui TFR Indonesia masih stagnan di 2,6 dan CPR baru mencapai 57,9%. Dengan mengingat masa kerja pemerintahan ini efektif hanya tinggal 1,5 tahun maka angka-angka ini tentunya satu hal yang kurang menggembirakan. Oleh karenanya, harus dilakukan satu gerakan yang benar-benar nyata agar visi Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015 bisa tercapai.
KKP yang menjadi acuan penyelenggaraan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana telah ditetapkan untuk masing-masing provinsi. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Kontrak Kinerja Program Tahun 2013 sangat berbeda. Bagi sebagian pengelola program yang terbiasa dengan angka-angka besar dalam KKP, perbedaan di tahun 2013 ini merupakan "kejutan". Perbedaan angka ini dapat diartikan sebagai berikut :
- Tidak ada target untuk peserta KB Baru didalam KKP tahun 2013 merupakan gambaran bahwa pengelola program tidak lagi menjadikan Peserta KB Baru sebagai satu-satunya cara untuk menurunkan Total Fertility Rate dan Contraceptive Prevalence Rate. Secara logis TFR akan turun bila CPR naik dan yang perlu dilakukan adalah membina kesertaan ber-KB dari PUS yang sudah ber-KB. Oleh karenanya, penetapan peserta KB Aktif sebagai target KKP dengan angka yang lebih besar daripada perkiraan peserta KB Baru diharapkan akan dapat meningkatkan CPR dan menurunkan TFR.
- Adanya point penurunan Unmet Need pada KKP tahun 2013 merupakan satu pemikiran yang lebih logis mengarah pada peningkatan CPR. Pembinaan terhadap PUS Unmet Need kalau kemudian berhasil menjadi peserta KB kembali sebenarnya akan masuk dalam kelompok Peserta KB Baru. Oleh karenanya, tidak perlu ada KKP peserta KB Baru sebab dengan menurunkan angka Unmet Need dengan sendiri akan tercapai peserta KB Baru.
- Besarnya angka-angka pada pembinaan dalam kelompok kegiatan melalui bidang pemberdayaan keluarga merupakan hal penting sebab kelesatarian dan peningkatan kualitas PUS peserta KB dilakukan melalui kelompok kegiatan-kelompok kegiatan seperti BKB, BKR, BKL, UPPKS sedangkan PIK Remaja merupakan sarana untuk melakukan Pendewasaan Usia Perkawinan.
- Kecil-nya angka tahun 2013 dibanding angka KKP tahun 2012 mengandung perintah langsung yakni perlunya pembenahan pencatatan dan pelaporan sebab kegiatan pelayanan untuk akspetor MKJP yang dilakukan BKKBN sudah optimal namun adalah satu hal yang tidak logis kalau kemudian drop out kesertaan ber-KB di daerah sebanding dengan akseptor KB Baru.
Kondisi data berdasarkan hasil pendataan keluarga lebih banyak berbeda dibandingkan data berdasarkan Laporan Pengendalian Lapangan. Perbedaan ini barangkali di sebabkan ketidak fahaman terhadap pengisian formulir R/R bagi petugas lapangan KB atau bisa juga disebabkan "syndrome" evaluasi program yang dilaksanakan setiap bulan.
Dengan meletakkan pada pemahaman tersebut, maka tidak perlu menggunakan berbagai dalih atau alasan disaat menempatkan target KKP ke pengelola program di Kabupaten/Kota.
KKP dari hasil rapat kerja di tingkat nasional harus diterjemahkan, ditindak lanjuti dan dibagi ke pengelola program Kependudukan dan Keluarga Berencana di tingkat Kabupaten/Kota.
Penyusunan KKP ini merupakan satu kegiatan yang cukup penting sebab dalam proses ini bisa diketahui tingkat pemahaman pemangku jabatan terhadap tugas pokok dan fungsi dari program pembangunan kependudukan dan keluarga berencana yang menjadi tanggungjawabnya.Hal menarik yang terlihat dalam penyusunan KKP adalah menyangkut kecerdasan dan emosional.
Pembagian KKP Provinsi ke Kabupaten/Kota bukanlah pekerjaan yang gampang walau juga tidak terlalu sulit. Yang diperlukan adalah penggunaan cara hitung yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara logika maupun secara matematika. Sebuah perhitungan tentunya memerlukan data dan angka. Maka untuk menetapkan KKP turunan ke Kabupaten/Kota sudah seharusnya mempertimbangkan sisa KKP tahun sebelumnya dan data pendukung lainnya seperti hasil laporan pengendalian lapangan dan hasil pendataan keluarga. Instrumen-instrumen ini sangat penting agar "matematika" yang dipergunakan dalam menetapkan angka KKP bagi pengelola program KKB di Kabupaten/Kota bisa dijawab dengan realita di lapangan sesuai data wilayahnya masing-masing. Tehnik penetapan semacam ini akan lebih akurat daripada menggunakan penetapan KKP dengan membagi angka KKP berdasar jumlah kabupaten atau berdasar jumlah kecamatan.
Ketika seorang pengelola program menggunakan kecerdasan perhitungan membagi KKP hanya berdasar jumlah kecamatan dan jumlah kabupaten tanpa memperbandingkan data yang diperlukan dalam tugas pokok dan fungsinya maka secara kuantitas akan terwujud namun secara kualitas harusnya sangat diragukan. Boleh jadi, pencapaian target semacam inilah yang mengakibatkan pembinaan di lapangan jadi "abu-abu" sebab yang penting terpenuhi secara material tanpa memahami substansi perlunya KKP tersebut diwujudkan.
Satu contoh adalah pembentukan kelompok kegiatan dengan kriteria "paripurna". Di saat menentukan angka kelompok "paripurna" seharusnya diperbandingkan pula kondisi kelompok "dasar" dan "berkembang" yang menopang terbentuknya kelompok "paripurna" tersebut. Adalah terlalu naif ketika penetapan kriteria capaian "paripurna" hanya didasarkan pada alasan "KKP dari kelompok kegiatan adalah paripurna jadi hanya fokus pada paripurna". Analisis semacam ini bentuk kecerdasan dalam memahami tugas pokok dan fungsi kegiatan yang menjadi tanggung jawab seorang pengelola program sebab untuk meningkatkan kualitas kelompok kearah paripurna dipengaruhi ketersediaan kelompok dalam kriteria dasar dan berkembang. Dengan demikian, adanya KKP kelompok paripurna tidak bisa hanya dibagi berdasar jumlah kabupaten dan kecamatan kemudian pencapaian dillakukan dengan "sim salabim abrakadabra". Pengaruh terhadap cara menetapkan KKP pada kelompok paripurna ini sangat besar sebab tujuan dari pembentukan kelompok kegiatan bukanlah hal yang berdiri sendiri dan terpisah dari visi dan misi BKKBN.
Bina-Bina dalam Program KB
Program Kependudukan dan Keluarga Berencana tidak semata-mata mengenai alat kontrasepsi dan pelayanan kontrasepsi melainkan bersifat cycle of life sejak dari kandungan hingga menjadi lanjut usia. Hal ini penting untuk difahami sebab pelembagaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang diharapkan menjadi nilai atau life style tidak dapat dilakukan hanya dengan memberi pelayanan kontrasepsi. Oleh karenanya, perlu dilakukan kegiatan pembinaan dengan tujuan :
- Pasangan Usia Subur baru, menunda kehamilannya sampai dengan usia isteri layak untuk melahirkan dipandang dari sudut kesehatan reproduksi
- Pasangan Usia Subur yang sudah memiliki anak pertama, menjarangkan kehamilan berikutnya dengan menggunakan alat kontrasepsi juga dipandang dari sudut kesehatan reproduksi
- Pasangan Usia Subur yang sudah memiliki kesadaran bahwa 2 Anak Cukup, akan menghentikan kehamilan berikutnya sesudah melahirkan anak kedua dan menggunakan alat kontrasepsi yang efektif dan terpilih
- Pasangan Usia Subur yang sudah menggunakan alat kontrasepsi non Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang bisa meningkatkan kualitas kesertaan ber-KB nya.
Ke-empat hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan memaksimalkan kegiatan pembinaan dan BKKBN tidak hanya memberikan pembinaan hanya terfokus pada alat dan pelayanan kontrasepsi saja. Dengan menggunakan pepatah, "sekali dayung dua-tiga pulau terlewati" maka pembinaan terhadap kesertaan ber-KB ini dilakukan dengan mengikuti pola the cycle of life. Maksudnya, apa yang menjadi tujuan tersebut di atas dilakukan mengikuti siklus kehidupan dari manusia yaitu :
- Ketika seorang perempuan hamil maka pembinaan bukan hanya ditujukan kepada calon orangtua melainkan juga untuk tumbuh kembang janin di dalam kandungannya dalam kegiatan Posyandu;
- Ketika PUS memiliki anak usia 0 - 5 tahun dan 6-10 tahun maka pembinaan bukan hanya untuk kesertaan ber-KB melainkan juga untuk tumbuh kembang anaknya dalam kegiatan Bina Keluarga Balita, Posyandu dan PAUD
- Ketika PUS memiliki anak usia remaja 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah maka pembinaan bukan hanya untuk kesertaan dan peningkatan kualitas ber-KB melainkan juga untuk orangtua remaja agar memahami tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan bagi kesehatan reproduksi anak-anaknya dalam kegiatan Bina Keluarga Remaja. Di sisi lain para remaja itu diharapkan memiliki kesiapan mental, sosial, spiritual untuk mempersiapkan dan merencanakan kehidupan berkeluarga melalui program Genereasi Berencana (GenRe) dalam Pusat Informasi Kesehatan Remaja/Mahasiswa atau PIK R/M
- Ketika PUS menjadi lansia diharapkan akan menjadi lansia yang peduli terhadap generasi penerusnya dalam rangka melembagakan pentingnya norma keluarga bahagia sejahtera yang dicapai melalui Keluarga Berencana. Atau saat PUS memiliki lansia dilakukan pembinaan kesertaan ber-KB dipadukan dengan Bina Keluarga Lansia dengan harapan bisa menjadi "jembatan" antara generasi di atas dengan generasi di bawah agar tidak terjadi gap antara kelompok lanjut usia dan kelompok muda.
- Ketika PUS sudah mampu memberikan pembinaan yang optimal terhadap anggota keluarga-nya dan juga memiliki waktu luang yang memadai sebab dengan ber-KB tidak lagi direpotkan dengan mengurus bayi maka bisa melakukan kegiatan usaha ekonomi melalui program UPPKS agar dapat meningkatkan pendapatan keluarga agar semakin sejahtera. Dengan meningkatnya kesejahteraan dalam keluarga maka PUS ini memiliki kemampuan untuk menggunakan kontrasepsi modern lainnya.
Melihat pada hal tersebut maka semakin jelas bahwa kegiatan bina-bina dalam program KB mutlak sangat diperlukan. Namun, kesadaran masyarakat akan hal tersebut belum tertlalu tinggi sehingga masih memerlukan peran pemerintah. Oleh karena pemerintah menilai pentingnya program Bina-Bina dalam menjaga kelestarian ber-KB maka dibentuklah kelompok kegiatan-kelompok kegiatan dan kemudian ditetapkan sebagai bagian dari Kontrak Kinerja.
KKP Bina-Bina
Penetapan kelompok bina-bina menjadi bagian kontrak kinerja sangat logis bila pengelola program memiliki pemahaman yang baik tentang keterkaitan antara program KB melalui kelompok kegiatan. Sejak tahun 2010, kelompok kegiatan ini diberikan angka KKP namun belum secara siginifikan memberikan kontribusi terhadap pelestarian kesertaan ber-KB karena keberadaan kelompok itu sendiri diragukan oleh para pengelola program yang tidak berada di lini lapangan. Hal ini juga sangat dimaklumi sebab masyarakat memang belum memahami secara penuh tentang perlu dan pentingnya kelompok kegiatan seperti BKB, BKR, BKL, PIK dan UPPKS. Bukan hanya masyarakat, sebagian besar dari pengelola program Kependudukan dan KB juga tidak memahami perlu dan pentingnya kelompok-kelompok ini sehingga seringkali menjadi bagian yang seolah-olah terpisah dengan program Kependudukan dan Keluarga Berencana. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab pengelola program untuk kembali ke tujuan awal dari penyelenggaraan program Kependudukan dan Keluarga Berencana ini dan substansi kegiatan BKB, BKR, BKL, PIK R/M dan UPPKS dalam "menjaring dan melestarikan" peserta KB aktif sehingga LPP = 1,1 dengan TFR = 2,1 dan NRR =1 bisa terwujud.
KKP Bina-Bina saat ini masih terfokus pada peningkatan stratifikasi kelompok sehingga penetapan KKP dari tahun ke tahun adalah kelompok paripurna. Ini didasarkan pada asumsi bahwa kriteria paripurna akan meningkatkan keanggotaan dan kehadiran anggota kelompok. Asumsi ini bisa dibenarkan bila bersandar pada kartu status institus berupa K/0/BKB/10, K/0/BKR/10, K/0/BKL/10 dan K/0/UPPKS yang menetapkan bahwa kriteria kelompok paripurna adalah apabila anggotanya lebih dari 80% dari sasaran dan kehadiran anggota dalam setiap pertemuan di atas 75% dari jumlah anggota. Akhirnya, KKP ini hanya bermain di angka-angka dalam laporan namun tidak menyentuh pada tujuan dari dibentuknya kelompok kegiatan itu sendiri.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan penetapan KKP yang lebih fokus pada upaya menimbulkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelompok-kelompok kegiatan tersebut seperti :
- Kelompok BKB menjadikan Kartu Kembang Anak sebagai target KKP sebab idealnya setiap anak memiliki satu KKA sebagai alat ukur tumbuh kembang anak. Dengan menggunakan KKA sebagai target KKP dalam BKB, ada beberapa point yang bisa diperoleh yaitu a) orangtua memiliki pengetahuan tentang pentingnya tumbuh kembang anak melalui KKA sehingga besar kemungkinan timbulnya kesadaran untuk hadir dalam setiap pertemuan BKB; b) KKA sudah masuk dalam sistem R/R yang pemantauannya lebih mudah dilakukan dan fluktiatif dalam pelaporan tidak sebesar fluktuatif kehadiran anggota dalam pertemuan ; c) kader lebih memiliki "alasan" untuk melakukan kunjungan rumah dalam rangka mengoptimalkan pembinaan sebab kader juga harus memantau tumbug kembang anak melalui KKA; d) tingkat tumbuh kembang anak benar-benar akan terpantau; e) adanya kesempatan bagi daerah untuk ber-kontribusi dalam penyediaan KKA melalui APBD.
- Kelompok BKR menjadikan "jumlah remaja belum menikah" dalam keluarga sebagai target KKP sebab idealnya setiap remaja tidak melakukan pernikahan usia muda bahkan nilaman perlu bisa aktif dalam PIK Remaja. Dengan menjadikan remaja dalam sebuah keluarga sebagai target KKP kegiatan BKR, beberapa point yang mungkin terpenuhi adalah a) terpantaunya usia kawin muda di masyarakat; b) terpenuhinya harapan pendewasaan usia perkawinan baik di pedesaan maupun di perkotaan c) adanya sinergisitas antara PIK Remaja dengan BKR.
- PIK Remaja diarahkan pada target pembentukan kelompok remaja yang putus sekolah agar pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi tetap didapatkan. Ini didasarkan pada asumsi bahwa anak-anak yang bersekolah dan mahasiswa pada dasarnya lebih memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang Kesehatan Reproduksi daripada anak-anak remaja yang putus sekolah. Kecenderungannya, perkawinan usia muda terjadi justru pada anak-anak yang putus sekolah.
- Kelompok BKL hingga saat ini belum memiliki jargon untuk bisa dijadikan target KKP. Ini bukan saja disebabkan oleh kurangnya "media" dalam pembinaan keluarga lansia melainkan juga kurang terlihatnya korelasi antara keluarga yang memiliki lansia dengan program KB. Hal yang terpenting dalam kegiatan ini adalah memberdayakan para lansia baik untuk kegiatan kemasyarakatan maupun dalam kegiatan keluarga. Oleh karenanya, KKP yang tepat untuk BKL adalah jumlah lansia dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti keagamaan, sosial dan sebagainya. Artinya, aktifitas lansia dalam pembinaan kemasyarakatan dijadikan indikator keberhasilan pembinaan terhadap keluarga lansia disamping kawin perak dan kawin emas. Ini didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa hampir semua PUS yang memiliki lansia sudah memiliki kesadaran untuk menjadi akseptor KB sehingga BKL yang diharapkan menjadi sarana pembinaan kesertaan ber-KB tidak akan bisa direalisasikan pada tataran kelompok BKL.
Tulisan ini hanyalah sumbang pemikiran, semoga bermanfaat.
Salam sukses selalu untuk semuanya.